Rachmat Gobel dan Presiden Jokowi diskusi ketahanan pangan

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Rachmat Gobel dan Presiden Jokowi diskusi ketahanan pangan
Visi Menteri Perdagangan Indonesia Rachmat Gobel terkait ketahanan pangan

Tak banyak media yang memberitakan, bahwa hari Sabtu (25/10), Presiden Joko “Jokowi” Widodo menerima pengusaha Rachmat Gobel. Pemilik Grup Panasonic Gobel yang selama ini lebih dikenal sebagai pengusaha industri manufaktur elektronik itu bertemu Pak Jokowi di Istana Merdeka, sekitar pukul 13:00 WIB. Dia ditelepon staf protokol Jokowi sekitar Pukul 11:00 WIB.

Pembicaraan berlangsung santai tapi serius. “Pak Jokowi menanyakan kegiatan saya di hari Sabtu. Saya bilang, biasanya saya di Mojokerto, melihat pabrik penggilingan padi,” kata Rachmat, ketika saya hubungi Sabtu malam. Bulan lalu, Rachmat Gobel memulai operasional pabrik pengolahan gabah dan beras modern, dengan bendera PT Lumbung Padi Indonesia. Pabrik yang menggunakan teknologi dari Jepang ini berdiri di atas lahan seluas 5,1 hektar di Desa Jasem, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

PT Lumbung Padi mampu menyerap gabah kering panen sebanyak 150 ton pertahun, dan akan ditingkatkan menjadi 250 ton per tahun. Ekspansi ke pabrik pengolahan gabah sebenarnya sejalan dengan visi ayah Rachmat, almarhum Haji Thayeb Gobel, pendiri grup National Panasonic Gobel. “Ayah saya sudah menggariskan untuk berusaha di bidang manufaktur elektronik dan pertanian. Dulu, PT National Gobel memproduksi traktor tangan dan mesin pengering gabah ukuran kecil,” ujar Rachmat, yang di PT Lumbung Padi menjabat sebagai presiden komisaris.

Pembicaraan dengan Jokowi lantas berkembang soal pentingnya pengembangan industri nasional, dengan tumpuan pada tiga sektor: Pertanian, perkebunan, dan kelautan. “Tiga sektor ini fondasi ekonomi kita. Ini soal kedaulatan pangan. Food security adalah bagian penting dari national security. Jadi harus jadi prioritas,” kata Rachmat.

Dalam pembicaraan tadi siang, Rachmat  menangkap kesan, Presiden Jokowi punya komitmen kuat dalam membangun industri yang menjamin ketahanan pangan. Sehari setelah pertemuan itu, Rachmat dipilih Jokowi sebagai Menteri Perdagangan dalam Kabinet Kerja periode 2014-2019. (BACA: Kabinet Kerja Jokowi)

Berikut cuplikan wawancara saya dengan Rachmat Gobel Sabtu malam:

Ketahanan pangan yang Anda maksud, apakah berarti kita tidak impor?

Ketahanan pangan bukan soal tidak impor atau kurangi impor. Ini soal bagaimana kita memastikan mendorong inovasi proses maupun teknologi yang menghasilkan nilai tambah. Indonesia adalah negara yang kaya sumber daya alam, termasuk yang terbarukan seperti pertanian. Tapi, perhatian terhadap sektor ini kurang. Contoh, dalam hal buah. Saat proses tanam, kemudian pemeliharaan, panen, lantas pengemasan, untuk dibawa ke tempat pemasaran, harusnya ada teknologi yang diterapkan untuk memastikan ada nilai tambah. Tanpa itu, buah bisa rusak, berkurang nilai ekonomis maupun secara vitamin. Akhirnya kalah bersaing dengan buah impor yang mendapatkan perlakuan panen dan pascapanen yang lebih baik. Harganya pun jadi lebih mahal dibanding buah impor.

Ini Anda sampaikan ke Presiden tadi siang?

Iya. Pak Jokowi sudah lama memikirkan ini. Beliau bertanya, mengapa ya Pak Rachmat, pengusaha kita enggan investasi di pertanian sehingga punya nilai tambah? Jawaban saya, karena situasinya tidak didorong ke sana. Saya orang yang cenderung menganggap investasi termasuk di pertanian sebaiknya dilakukan oleh swasta saja. Tidak harus menjadi program yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tapi ‘suasana’ harus mendukung. Misalnya aspek perpajakan, khususnya pajak pertambahan nilai (PN). Jangan sedikit-sedikit kena PPN. Padahal baru mulai investasinya. Akibatnya pengusaha enggan. Lebih baik impor. Lebih murah jatuhnya. Seperti pedagang saja.

Anda juga anggota Komite Inovasi Nasional (KIN). Menurut Anda apa yang harus dilakukan untuk inovasi di bidang industri pertanian?

Yang mendukung nilai tambah. Tadi contohnya buah. Di bidang beras, bagaimana memastikan semua prosesnya efisien, tidak ada yang terbuang (zero waste). Beras hasil giling, misalnya, punya beragam ukuran. Yang lebih kecil atau pecah-pecah bisa menjadi tepung beras, bihun beras, minyak beras, bekatul, produk makanan ringan. Sekam diolah menjadi bio massa. Energi terbarukan ramah lingkungan. Gabah itu tidak boleh menunggu lebih dari lima jam sebelum dikeringkan, lantas digiling. Kualitas turun kalau lebih dari waktu itu. Harga turun, vitamin turun.

Inovasi lain yang yang penting adalah, bagaimana memastikan produk yang diolah tersedia sepanjang tahun. Padi tersedia sepanjang tahun. Bagaimana dengan buah? Padahal pabrik harus beroperasi 24 jam sehari, minimal 360 hari dalam setahun. Buahnya bisa panen sepanjang tahunkah? Maka kita harus meninjau prosesnya sejak awal. Bibit atau benih. Pupuk. Sampai dipasarkan. Di semua tahapan produksi harus efisien. Pabrik saya bisa meningkatkan produktivitas hasil 30 persen. Padahal sebelumnya itu angka loss alias terbuang dalam proses produksi. Jadi, kalau kita bicara ancaman krisis pangan, maka sangat penting pembangunan industri untuk sektor pertanian menjadi prioritas. Juga perkebunan dan kelautan. Bahan-bahannya ada. Kekayaan alam kita. Kok kita kalah dengan Thailand? Karena ada komitmen pemerintah menyediakan lingkungan usaha yang mendukung. Kebijakan yang sesuai. Ini jawaban saya ke Presiden Jokowi. Dan, jangan lupa, ini sektor-sektor yang bisa menyerap tenaga kerja banyak. Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menurut saya antara lain memastikan pangan cukup dan terjangkau seluruh rakyat. Food security adalah bagian penting national security. Ini fondasi ekonomi kita.

Apa tanggapan Presiden?

Pak Jokowi sudah memelajari itu. Saya kan juga memonitor visi beliau saat debat calon presiden. Rasanya sih sama. Konsep Trisakti juga begitu kan? Kemandirian ekonomi. Bisa berdaulat atas kekuatan sendiri. Bukan berarti sama sekali tidak impor. Tapi kita harus terus-menerus inovasi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk. Apalagi di bidang pertanian, perkebunan dan kelautan. Ini kita bicara visi industri ya.

Rachmat Gobel dan Dekan Fakultas Hukum Harvard University, Martha L Minow, pada 22 Okt ober 2012. Foto oleh Ricky Rachmadi

Apakah mengembangkan inovasi industri ini sudah bisa dilakukan sendiri oleh orang Indonesia? Negara mana yang bisa menjadi benchmark?

Kita harus belajar dari negara manapun yang lebih berhasil. Kita kan harus menyediakan makanan bagi 250 juta rakyat. Sebelum mendirikan pabrik pengolahan gabah saya melakukan riset selama empat tahun. Menyangkut teknologi, sistem, dan mekanisme kerja. Saya memilih teknologi dari Jepang, karena prinsipnya kami membeli teknologi sekaligus sistemnya. Bahkan dalam bekerjasama pun kita harus memikirkan apa nilai tambahnya buat kita? Ini juga prinsip Bung Karno. Ketika ayah saya mendapat tugas dari Presiden Soekarno untuk menyediakan pesawat televisi untuk keperluan sebagai tuan rumah Ganefo, di tahun 1962, ayah saya didorong mendirikan pabrik di Indonesia. Kerjasama dengan Jepang. Nilai tambahnya, kita bikin pabrik. Kita menyerap dan menguasai teknologinya. Kita menyerap tenaga kerja. Pajaknya untuk negara kita juga. Ini prinsip. Pola memberikan penugasan kepada pengusaha swasta sebagaimana yang dilakukan Bung Karno menurut saya harus dilakukan dengan konsisten. Pengusaha jadi punya arah, dan semangat untuk inovasi. Dulu kami produksi radio tabung, lalu meningkat ke radio transistor. Itu ada campur-tangan inovasi. Harganya pun lebih baik. Sekarang era digital, semua peralatan elektronik juga harus digital. Konsumen menghendaki kualitas lebih baik. Produsen mendapat harga yang lebih baik. Karena inovasi. Nilai tambah.

Saya memilih teknologi Jepang karena secara investasi di awal mungkin agak mahal, tapi dalam jangka menengah dan panjang jadinya ekonomis. Karena sistem terintegrasi penuh, layanan purna jualnya juga bagus. Buat apa kita hanya mengandalkan teknologi murah, campur-campur dari beragam merek, tapi di tengah jalan bermasalah. Layanan purna jual tidak memuaskan. Mesin atau pabrik ujung-ujungnya jadi barang rongsokan. Tidak bisa dipakai. Jatuhnya mahal kan?

Untuk produk lain, bisa kita lihat ke negara lain. Misalnya, kita harus belajar dari Brasil bagaimana industri pengolahan tebu. Efisien. Menghasilkan gula, juga menghasilkan energi terbarukan.

(Catatan: pada tanggal 25 Januari 2012, Rachmat Gobel diangkat menjadi ketua Masyarakat Ekonomi Terbarukan Indonesia (METI). Dia mendapatkan sejumlah penghargaan karena komitmennya atas pengembangan energi terbarukan. Tahun lalu saya mengikuti perjalanan Rachmat Gobel ke AS dan Jepang. Di AS, Rachmat meneken kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Harvard dalam hal pengembangan hukum yang mendukung konservasi lingkungan dan energi terbarukan. Rachmat juga menjadi pembicara kunci dalam komitmen Indonesia dalam perubahan iklim dan lingkungan hidup yang dilakukan di USINDO, lembaga kajian US-Indonesia di Washington DC. Saya, yang saat itu menjadi pemimpin redaksi ANTV diminta menjadi salah satu panelis. Di Jepang, Rachmat mengajak saya dan sejumlah pemimpin redaksi untuk bertemu dengan sejumlah pejabat dan tokoh penting menyangkut komitmen inovasi industri energi terbarukan. Kami juga berkunjung ke komplek pabrik panel surya green city, yang didirikan Panasonic di Kansai Energy Park, Osaka.)

Anda bicara soal perlunya menciptakan lingkungan yang mendukung pengusaha melakukan inovasi dan investasi. Di bidang energi terbarukan ada contohnya?

Ketika kita ke Jepang, Mbak Uni melihat sendiri bagaimana pabrik panel tenaga surya dioperasikan. Bahkan pabrik pembuat batere tenaga surya pun dijalankan dengan dukungan energi tenaga surya. Indonesia ini negara dengan curah matahari hampir sepanjang tahun. Potensinya besar. Bahan pasir yang ideal untuk ‘menangkap’ tenaga surya juga kita punya. Kok Malaysia yang justru membangun pabrik batere itu? Ceritanya pada tahun 2010, pihak Panasonic menawarkan ke Indonesia, untuk membangun pabrik batere untuk panel surya. Membuat batere ini bagian yang paling krusial. Sudah bertemu dengan pemerintah. Pak SBY pun sudah tahu. Malaysia mendengar informasi ini. Pemerintahnya langsung mengirim utusan bertemu pihak Panasonic di Jepang. Singkat cerita justru Panasonic investasi di Malaysia. Mengapa? Ya karena situasi di sini kurang mendukung. Kurang responsif. Tidak berpikir jauh ke depan. Makanya tadi saya katakan ke Pak Jokowi, urusan investasi seperti ini diserahkan ke pengusaha saja. Swasta. Pemerintah menciptakan kondisi yang mendukung. Bukan cuma soal perijinan. Suku bunga bank yang tinggi juga tidak mendukung. Kalau menggunakan duit APBN ujung-ujungnya cuma beli mesin. Bukan menghasilkan nilai tambah. Yang penting juga, pengusaha diberi penugasan. Tanggung jawab. Persis seperti tugas dari Presiden Sukarno ke ayah saya.

Bagaimana kesan Anda bertemu dan berdiskusi soal pengembangan industri dengan Presiden Jokowi?

Beliau orang yang mau belajar dan mau mendengar. Saya baru paham bahwa dalam setiap ‘blusukan’ itu adalah cara beliau mendengar dari orang yang ditemui. Saya sampaikan ke Pak Jokowi, kita perlu 100 pabrik seperti yang saya bangun di Mojokerto, untuk Indonesia. Yang modern dan terintegrasi. Di Thailand pabrik seperti Lumbung Padi Indonesia jumlahnya banyak. Di Indonesia kok baru satu? Ini tantangannya. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan chief editor news and current affairs di ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis

Artikel ini sebelumnya diterbitkan di blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!