Kabinet Kerja Jokowi mengecewakan dan jauh dari harapan publik

Tasa Nugraza Barley

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kabinet Kerja Jokowi mengecewakan dan jauh dari harapan publik

EPA

Komposisi Kabinet Jokowi dinilai terlalu banyak kompromi sebagai transaksi politik

Enam hari setelah pelantikannya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan nama-nama menteri yang akan mengisi kabinet di dalam pemerintahannya. Jokowi menamakan kabinet pemerintahannya Kabinet Kerja, sebagai sebuah simbol untuk menunjukkan bahwa tugas utama para menteri adalah bekerja untuk rakyat. 

Beberapa nama yang ditunjuk untuk mengisi posisi menteri memang pantas, misalnya Direktur Food and Agriculture Organization (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indroyono Sesilo, sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman atau Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI), Ignasius Jonan, selaku Menteri Perhubungan. Keduanya dianggap sudah mampu membuktikan ketangguhan di bidangnya masing-masing. 

Namun nama-nama lainnya menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana kompromi politik yang dilakukan baik oleh Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam menyusun kabinet pemerintahan mereka. Banyaknya nama yang terkesan “titipan” ini mengecewakan dan jauh dari harapan publik, terutama masyarakat yang selama ini mendukung Jokowi.  

Memang betul ada beberapa pencapaian yang harus diapresiasi dari proses pembentukan Kabinet Kerja ini. Kenyataan bahwa ada 8 menteri perempuan di dalam kabinet ini, sebuah rekor baru di dalam sejarah pemerintahan Indonesia, patut mendapatkan apresiasi. Sudah saatnya memang perempuan mendapatkan porsi lebih banyak di dalam pemerintahan. Begitu juga dengan fakta bahwa ada 20 orang menteri yang berusia di bawah 45 tahun, sebuah langkah yang menunjukkan komitmen Jokowi untuk memberikan peran yang lebih besar kepada para pemimpin muda.  

Namun seperti yang sudah diungkapkan oleh beberapa pengamat, prestasi tersebut hanyalah prestasi kuantitatif. Kualitas tentu lebih penting. 

Walau masih sangat dini untuk menilai kinerja kabinet baru, namun setidaknya Jokowi sudah memberikan alasan kepada banyak pihak, terutama para lawan politiknya, untuk bersuara keras dan melempar kritik. Suka atau tidak, kritikan ini sangat valid, mengingat bahwa kabinet yang bersih dan tanpa transaksi politik adalah salah satu jargon yang selalu digunakan oleh kubu Jokowi selama masa kampanye pemilihan presiden, bahkan menjadi salah satu alasan bagi banyak masyarakat untuk memberikan suara mereka kepada Jokowi.  

Begitu banyaknya menteri baru dengan latar belakang politik menjadi bukti nyata bahwa kabinet Jokowi sarat akan kepentingan dan transaksi politik. Total ada 15 menteri baru yang datang dari partai politik pendukung Jokowi, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Satu hal yang cukup mengejutkan adalah bahwa baik PDI-P dan PKB sama-sama mendapatkan empat jatah kursi di dalam kabinet.

Yang cukup mengkhawatirkan adalah bahwa Jokowi memberikan beberapa posisi strategis kepada orang-orang partai, salah satunya tentu Puan Maharani yang ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Puan, yang merupakan anak dari Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, mungkin saja sudah memiliki pengalaman yang panjang sebagai seorang politisi, namun tidak di dalam pemerintahan. Sehingga adalah wajar apabila banyak pihak mempertanyakan kepantasan Puan mendapatkan satu posisi menteri koordinator yang bertugas mengawasi dan mengkoordinasi kementrian-kementerian di bawahnya. 

Beberapa media massa menggembor-gemborkan bahwasanya Kabinet Kerja juga telah membuat satu rekor baru di Indonesia, yaitu kabinet dengan kalangan profesional terbanyak dalam sejarah. Ini mungkin benar, tapi sedikit menyesatkan. Kenyataannya adalah dari 20 nama profesional tersebut ada delapan tokoh dengan kedekatan politik, enam di antaranya memiliki kedekatan dengan PDI-P. Rini Mariani Soemarno (Menteri Badan Usaha Milik Negara) dan Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan), misalnya, yang keduanya sudah lama dikenal memiliki kedekatan dengan Megawati.

Seperti yang dituduhkan oleh para lawan politiknya di masa kampanye, Jokowi sepertinya memang tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang beberapa tokoh di balik pencalonannya sebagai presiden. Ketika itu, para lawan politiknya mencoba menjatuhkan reputasi Jokowi dengan selalu mempertanyakan kemampuannya sebagai seorang pemimpin. Komentar-komenter bahwa ia hanyalah seorang petugas partai dijadikan sebagai pembenaran bahwa Jokowi bukan pemimpin yang kuat dan dapat diandalkan, satu tuduhan yang secara mati-matian selalu dibantah oleh kubu Jokowi. 

Melihat banyaknya kompromi politik di balik pembentukan Kabinet Kerja, tidak mengejutkan apabila banyak pihak yang menuduh bahwa Megawati memiliki peran yang sangat kuat dalam proses seleksi para menteri baru. Sekretaris Jenderal PDI-P Tjahjo Kumolo, misalnya, tanpa ragu mengatakan kepada awak media bahwa ia harus melapor kepada Megawati, yang ia sebut sebagai “bos,” sesaat setelah dirinya diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri. 

Sejak awal sebetulnya kita tidaklah terlalu berharap bahwa kabinet di bawah kepemimpinan Jokowi akan benar-benar terbebas dari segala transaksi politik. Bagi mereka yang melek politik, tentu mereka paham bahwa tidak ada free lunch di dalam politik. Tapi sebagai seorang politisi yang menjanjikan semangat baru, masyarakat berharap Jokowi mampu setidaknya mengurangi berbagai tekanan politik tersebut demi terciptanya sebuah pemerintahan yang betul-betul pro-rakyat. Melihat komposisi kabinet yang ada, impian itu sepertinya punah, minimal untuk saat ini. 

Pada akhirnya, harus dipahami bahwa walau mungkin Jokowi kurang berhasil melewati tes pertamanya sebagai presiden, ia masih memiliki waktu yang panjang untuk membuktikan bahwa dirinya memang layak memimpin bangsa ini. Sebagai pemimpin Kabinet Kerja, adalah tugas utama Jokowi untuk memastikan para menterinya dapat bekerja secara efektif dan secepat mungkin memberikan hasil nyata kepada masyarakat. Kesuksesan Jokowi lainnya adalah apabila ia berani mengganti menteri yang tidak berprestasi atau terlibat kasus korupsi. 

Saat ini, kita hanya bisa menunggu. —Rappler.com

Tasa Nugraza Barley adalah seorang konsultan komunikasi yang pernah menjadi jurnalis selama dua tahun di sebuah koran berbahasa Inggris di Jakarta. Ia suka membaca buku dan berpetualang, dan ia sangat menikmati cita rasa kopi tubruk yang bersahaja. Follow Twitternya di @barleybanget

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!