Matinya anak-anak kita

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Matinya anak-anak kita

EPA

Dalam rangka menyambut hari Ibu yang melahirkan anak-anaknya, Arman Dhani mengenang kematian anak-anak di Peshawar-Pakistan, Palestina, hingga Paniai-Papua. Mengapa orang dewasa gagal ‘melindungi’ anak-anak?

 

Ketika Amerika Serikat menjatuhkan sanksi embargo total pada Irak, negara itu harus membayar sangat mahal. Kurang lebih setengah juta anak-anak meregang nyawa karena mal-nutrisi dan kekurangan makanan. Tapi apakah dunia peduli?

US Secretary of State Madeleine Albright dalam satu wawancara bersama CBS mengatakan bahwa kematian 567.000 balita adalah harga yang pantas untuk demokrasi. Bahwa kematian itu memang pilihan yang sulit, namun atas nama tegaknya demokrasi dan kedamaian dunia hal itu adalah harga yang sepadan. Tapi kita tahu, nyawa seorang anak terlalu berharga untuk dikorbankan atas nama idiologi apalagi atas nama tuhan.

Madeleine Albright sadar bahwa 567.000 kematian itu terjadi pada anak di bawah usia lima tahun. Statistik mengatakan angka ini lebih banyak daripada jumlah kematian anak balita ketika bom Hirosima dan Nagasaki dijatuhkan. Tapi apakah itu penting? Kematian adalah kematian, lebih dari itu kematian ini terjadi pada anak-anak yang bahkan belum mampu mengeja namanya sendiri. Apa yang lebih berharga daripada masa depan anak-anak ini, sehingga seseorang atau sekelompok negara merasa berhak membantai sekian banyak nyawa atas nama demokrasi?

Bahwa kematian 567.000 balita adalah harga yang pantas untuk demokrasi. Bahwa kematian itu memang pilihan yang sulit, namun atas nama tegaknya demokrasi dan kedamaian dunia hal itu adalah harga yang sepadan.

US Secretary of State Madeleine Albright dalam satu wawancara bersama CBS

Anda dan saya tahu bahwa dalam perang anak-anak adalah komoditas paling murah untuk dikorbankan. Apa yang terjadi di Peshawar Pakistan beberapa hari lalu adalah bukti, bahwa orang yang berasa beragama pun bisa gagal memahami kemanusiaan sebagai cara mencintai tuhan. Orang orang ini mungkin lupa, bahwa manusia butuh akal dan hati nurani untuk dapat beriman. Akal membuat kita berpikir kritis sementara hati nurani mengajarkan kita empati. Orang-orang kerdil yang membunuh anak-anak atas nama Tuhan selayaknya dikebiri dan dibiarkan selibat di gurun Gobi.

Tapi tanpa ada usaha untuk memahami Taliban tentu hanya akan melahirkan stigma baru. Dalam paling otoritatif soal Taliban ditulis Ahmad Rashid berjudul “Taliban: Militant Islam, Oil and Fundamentalism in Central Asia”, barangkali kita akan memandang Taliban dengan pandangan yang sedikit berbeda. Dalam tulisan investigatif mendalam ini, Rashid menguak sengkarut sejarah, sosiologi, ekonomi, etnisitas, agama dan geopolitik yg memunculkan Taliban.

Serangan yang dioperasikan oleh Taliban pada anak-anak di sekolah beberapa waktu lalu adalah wujud pembalasan mereka terhadap militer Pakistan. “Kami ingin melihat militer Pakistan merasakan penderitaan yg sama seperti ketika anak dan perempuan kami dibunuh.”Apakah ini adalah tindakan brutal dan tendeng aling-aling pertama yang mereka lakukan? Tidak jika anda mengenal sosok Malala (Malala Yousafzai, penerima nobel perdamaian tahun ini) yang ditembak kepalanya karena sekolah.

Kekejaman Taliban adalah ekses dari rasa marah, tertekan dan barangkali kesalahan dalam membaca tafsir agama. Namun ia bisa juga lahir karena dendam yang menumpuk akibat serangan drone-drone Amerika bersama militer Pakistan, terhadap markas Taliban yang mulai terjadi sejak 2004. Bureau of Investigative Journalism, berdasarkan investigasi mendalam mengatakan sejak 2004 sampai 2011 setidaknya 385 warga sipil meninggal 160 di antaranya adalah anak anak.

BAKU TEMBAK. Seorang anak di Palestina tersenyum di depan bangunan yang hancur, 72 jam sebelum baku tembak terjadi antara Israel dan Hamas dihentikan, 7 Agustus 2014. Mohammed Saber/EPA

Tapi tentu 160 anak anak yang mati karena serangan drone Amerika dan Militer Pakistan ini berhak mendapatkan keadilan, seperti juga 132 anak anak yang dibantai secara terbuka oleh Taliban. Taliban pada satu titik adalah sekumpulan anak anak yang merajuk. Mereka marah karena keinginan mereka tidak dituruti atau menganggap bahwa bantuan Internasional pilih kasih.

Pada 2001 Mullah Omar, pemimpin spiritual Taliban memerintahkan penghancuran Buddhas of Bamiyan. Sebuah situs purbakala peninggalan peradaban pra sejarah berusia 2.500 tahun. Media-media barat menyebutkan bahwa penghancuran ini karena patung tersebut merepresentasikan berhala. Namun sedikit sekali yang mengutip Sayed Rahmatullah Hashimi”When your children are dying in front of you, then you don’t care about a piece of art.”

Rasulullah bersabda “Aku dan penjaga anak yatim akan berada di dalam Jannah yang berdekatan seperti dekatnya jari tengah dan jari telunjuk.” Metafora jari tengah dan telunjuk adalah sebuah wujud lain dari laku salih keagamaan mesti sejajar dengan laku salih sosial. Ini yang gagal kita pahami hari ini, seolah olah anak dapat diperlakukan selayaknya orang dewasa. Mereka kerap menjadi, sekali lagi, komoditas politik yang mudah diperjual belikan nyawanya.

When your children are dying in front of you, then you don’t care about a piece of art

Sayed Rahmatullah Hashimi

Dalam sebuah sajak Walt Whitman bicara tentang kedewasaan dengan cara pandang yang lain. Walt bertanya “What do you think has become of the young and old men?” katanya dengan keraguan.  “All goes onward an outward…. and nothing collapses  and to die is different from what any one supposed, and luckier”Sajak itu berjudul A Child said, What is a Grass? Ada kekecewaan dan negativitas yang hendak ditawarkan oleh Walt tentang bagaimana orang dewasa memandang anak-anak.

Tapi apakah itu penting? Membahas kematian anak-anak di Taliban ketika di Papua lima anak meregang nyawa ditembus pelor ajaib yang tidak satupun mau bertanggung jawab. Painai berdarah dengan kematian anak-anak yang masih sekolah. Kita bisa berdebat perihal siapa yang berhak bertanggung jawab atas tragedi ini, tapi nyali dan kemanusiaan seorang pemimpin diukur dari bagaimana ia bersikap pada empati. Dalam hal ini, saya kira, Jokowi (Presiden Joko Widodo) tidak lebih baik daripada Soeharto yang membiarkan penjagalan Tanjung Priok dan Talangsari.

Sampai hari ini Jokowi masih bungkam. Tentu kita puji simpati Jokowi kepada kematian anak-anak di Pakistan, tapi siapakah yang akan menangisi kematian lima anak anak di Papua? Mama-mama di Papua berteriak getir, “Kami melahirkan anak bukan untuk ditembak mati,”. Pernahkah anda bertanya bagaimana perasaan anda ketika peluru yang dibayar dengan jerih pajak anda, digunakan untuk membunuh bocah-bocah yang masih belum tamat sekolah?

Kelima bocah Papua itu telah dikubur di halaman lapangan Soeharto tepat pada Hari HAM Internasional. Kematian mereka hanya statistik yang melengkapi ratusan atau bahkan kematian yang terjadi sejak tanah ini dianggap bagian dari teritori Indonesia. Tapi tentu saja semua itu tidak penting. Meminjam kata-kata Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno “Jangan diungkit-ungkit lagi masalah itu. Mari kita bersama membangun bangsa.”

Tapi, membangun dengan apa? Darah anak anak atau dengan kerja? —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!