Ogoh-ogoh: Kreasi di Hari Nyepi

Anton Muhajir

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ogoh-ogoh: Kreasi di Hari Nyepi

EPA

Ogoh-ogoh, tradisi unik masyarakat Hindu Bali dalam merayakan Nyepi ini, menjadi ajang solidaritas dan kreasi bagi warga Bali. Tak hanya dinikmati sebagai seni dan bagian dari spiritualitas, ogoh-ogoh juga memiliki nilai ekonomi.

DENPASAR, Indonesia — Menyambut perayaan Nyepi hari ini, seluruh penjuru Bali diwarnai patung raksasa bernama ogoh-ogoh. Patung dengan aneka wujud ini mudah ditemukan di berbagai tempat seperti balai banjar.

Di Balai Banjar Gerenceng, Denpasar, misalnya, ogoh-ogoh berupa bayi raksasa dipajang di tengah balai. Patung dengan kerangka bambu itu tingginya sekitar 4 meter. Bentuknya berupa bayi gundul dengan mata melotot dan lidah terjulur. 

Empat wujud monster dengan mulut terbuka berisi taring runcing melilit bayi raksasa itu. Mereka melambangkan 4 saudara yang menemani manusia saat baru lahir yaitu Anggapati, Prajapati, Banaspatipraja, dan Banaspati. 

Dengan wujud dan ekspresi seram, ogoh-ogoh memang dibuat sebagai simbol butha kala, sesuatu yang jahat dalam pandangan Hindu Bali.

 

Bukan tradisi lama

Ogoh-ogoh sebenarnya tergolong tradisi baru di Bali. 

“Ogoh-ogoh itu tidak diatur dalam ajaran Hindu. Tidak ada di dalam Kitab Weda. Jadi bisa disebut itu hanyalah tradisi umat Hindu di Bali,” tulis Mpu Jaya Prema Ananda, salah satu pendeta Hindu di Bali, menjawab pertanyaan saya lewat email.

Menurut Jaya Prema, tradisi ogoh-ogoh muncul karena pada saat Tawur Kesanga, sehari menjelang Nyepi, ada upacara mengharmoniskan jagat. Pada saat upacara tersebut, segala hal buruk harus dihilangkan, baik sifat manusia maupun hal buruk di alam. Sifat-sifat buruk itu dilambangkan sebagai bhuta (setan). 

“Segala bhuta itu harus diusir terlebih dulu sebelum kita melakukan Brata Penyepian atau pantangan di Hari Nyepi,” tuturnya. 

Jaya Prema yang dahulu dikenal sebagai wartawan Tempo bernama Putu Setia ini mengatakan bahwa masyarakat Bali yang memang gemar berkesenian kemudian membuat simbol sebagai perwujudan setan. Lahirlah ogoh-ogoh. 

Semula, ogoh-ogoh hanya diletakkan di tempat dekat upacara untuk mengusir butha. Begitu selesai upacara, patung raksasa simbol setan itu dibiarkan begitu saja.

Kemudian, karena merasa capek membuat ogoh-ogoh, mulailah muncul ide kenapa tak diarak agar lebih meriah. Maka, ogoh-ogoh pun kemudian diarak mengelilingi tempat upacara. 

“Lama-lama, karena banyak yang senang, warga malah kemudian mengarak ogoh-ogoh di jalanan desa,” ujar Mpu Jaya Prema.

Dalam tradisi menjelang Nyepi saat ini, ogoh-ogoh memang diarak di jalan-jalan desa. Di Denpasar, hampir semua perempatan besar seperti di Catur Muka, perempatan Jalan Gatsu – Jalan Nangka, dan lainnya akan jadi pusat arak-arakan ogoh-ogoh.

Pada saat Pengrupukan, satu hari menjelang Nyepi, itulah ribuan warga akan turut menikmati pawai ogoh-ogoh. Suasana riuh rendah. Penuh massa baik penonton maupun para pengarak.

 

Dari spiritualitas ke kreativitas dan solidaritas

Foto oleh Anton Muhajir/Rappler Pelan-pelan, dari semula hanya berwujud menyeramkan, ogoh-ogoh makin banyak bervariasi. Ada yang berwujud Upin dan Ipin, politisi, cewek kafe, hingga terakhir malah ada yang berwujud Pedanda atau tokoh agama Hindu.

Dari semula semata simbol spiritualitas, ogoh-ogoh bergeser maknanya untuk kreativitas dan solidaritas. Ini berlaku terutama bagi anak-anak muda banjar, kesatuan paling kecil secara adat di Bali.

Untuk membuat ogoh-ogoh memang perlu kreativitas dan kebersamaan. Dua bulan sebelum Nyepi, biasanya anak-anak muda banjar mulai membuat ogoh-ogoh. Perlu waktu antara 1-2 bulan membuat patung raksasa ini.

Anggota Sekaa Teruna Teruni (STT), semacam Karang Taruna, di Banjar Gerenceng, Denpasar, misalnya, membuat ogoh-ogoh selama satu bulan. Prosesnya mulai dari membuat sketsa, kerangka, hingga proses penyelesaian akhir. 

Nyoman Sanjaya, salah satu anggota STT Banjar Gerenceng, menceritakan, dulunya mereka membuat ogoh-ogoh dari bahan styrofoam (gabus). Bahan ini mudah dibentuk. 

“Hasilnya juga bisa lebih halus dan detail,” kata Sanjaya dua hari lalu.

Namun, penggunaan bahan gabus yang tak ramah lingkungan ini mendapat kritik dari beragam kalangan. Alasannya, bahan plastik justru mencemari udara saat dibakar. 

Menurut tradisi, ogoh-ogoh memang harus dibakar setelah diarak sebagai peleburan nafsu jahat. Pembakaran gabus inilah yang dianggap tak ramah lingkungan.

“Bahan ogoh-ogoh itu memang harus ramah lingkungan, karena selesai itu ‘kan dibakar,” kata Mpu Jaya Prema.

Beberapa desa di Bali sudah membuat aturan agar pembuatan ogoh-ogoh tak menggunakan gabus. Pemerintah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung malah sudah membuat larangan tersebut. 

Bagi anak-anak muda seperti Sanjaya, larangan itu justru lebih bagus. Sebab, mereka jadi lebih kreatif ketika membuat ogoh-ogoh. Pengerjaan juga bisa dilakukan secara bersama-sama.

“Kalau memakai bahan gabus, hanya satu dua orang yang bekerja karena mereka saja yang bisa. Kalau dengan bahan bambu kan semua anggota bisa terlibat,” ujarnya.

Keterlibatan anggota lain itu, misalnya, dengan membuat kerangka besi, menganyam bambu, dan mengecat. 

“Jadi lebih terasa kebersamaannya,” tambah Sanjaya.

 

Komoditas seni 

Foto oleh Anton Muhajir/Rappler

Seiring waktu, ogoh-ogoh juga bertambah fungsi lainnya. Saat ini, ogoh-ogoh makin mudah ditemukan dalam ukuran kecil yang dijual untuk anak-anak. Dari benda bermakna spiritualitas dan solidaritas, ogoh-ogoh kini juga bertambah peran sebagai komoditas.

Bisa jadi I Wayan Candra adalah pembuat ogoh-ogoh paling populer di Bali atau bahkan Indonesia. Menurut media, dari bengkelnya di Jalan Sesetan, Denpasar, Candra menjual ogoh-ogohnya ke berbagai tempat, bahkan hingga Papua.

Dia menjual ogoh-ogoh dengan beragam ukuran dan harga. Ogoh-ogoh mini seukuran boneka Barbie dijual sekitar Rp 250 ribu. Ogoh-ogoh besar sekitar Rp 12 juta.

Candra pun membuat ogoh-ogoh tak hanya menjelang Nyepi tapi juga tiap tahun. Bagi pengrajin seperti Candra, ogoh-ogoh tak hanya melulu tentang spiritualitas dan kreativitas tapi juga komoditas.

Begitu pula bagi I Wayan Wasnawa, pengrajin ogoh-ogoh di Singapadu, Gianyar. Sudah 5 tahun ini dia membuat usaha kerajinan ogoh-ogoh mini. Bukan sebagai sarana menjelang Nyepi tapi sebagai hiasan dan mainan anak-anak semata.

Dia memproduksi ogoh-ogoh itu di bengkelnya di tepi jalan Singapadu. Tiap hari dia membuat setidaknya 10 biji. 

Menjelang Nyepi begini, dia mendapat pesanan minimal 500 biji. Ratusan ogoh-ogoh itu dia pajang di etalase bengkel sekaligus tokonya. Dengan warna-warna cerah dan wujud-wujud seram, ogoh-ogoh itu mudah sekali menarik mata tiap orang lewat.

“Tiap tahun pesanan bertambah, ini bisnis yang bagus,” kata Wasnawa.

Berjarak sekitar 20 meter di seberang jalan dari toko Wasnawa, warung lain juga menjual ogoh-ogoh serupa. Menjelang Nyepi begini, pemandangan serupa juga dengan mudah ditemukan di Bali. Ogoh-ogoh kecil dipajang di depan toko sebagai komoditas.

Namun, menurut Jaya Prema, hal semacam itu bisa termasuk sebagai penyimpangan. “Ogoh-ogoh malah dibiarkan selesai ritual dan dipajang. Ini menyimpang dari hakekat perayaan Nyepi,” ujar Mpu Jaya Prema.

Menurut Jaya Prema, sekarang ada pembenaran. Ogoh-ogoh tak lagi dilibatkan dalam ritual sehingga boleh dipajang selesai diarak. Dia tak menolak dan setuju saja, tetapi sebaiknya tidak dikaitkan dengan Nyepi atau ritual Tawur Kesanga. 

“Jadi itu hanya ogoh-ogoh profan, mainan belaka, bukan sakral,” tegasnya. — Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!