Lee Kuan Yew, Sukarno, dan Megawati

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Lee Kuan Yew, Sukarno, dan Megawati

EPA

Di buku memoarnya, Lee Kuan Yew mengenang pertemuan pertama dengan Presiden Sukarno. Singapura berpenduduk 1,5 juta, Indonesia 100 juta. Singapura punya mobil 10.000, Jakarta 50.000. Bagaimana situasi sekarang?

“Beliau sudah seperti mentor saya sendiri.” 

Itu komentar Megawati Sukarnoputri, ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Senin, 23 Maret 2015, setelah mendapat kabar bahwa Lee, meninggal dunia. Arsitek Singapura modern itu berpulang di usia 91 tahun, setelah menderita sakit pernafasan dan dirawat cukup lama di General Hospital Singapura.

PDI-P menang tapi Mega tak jadi presiden

Selama menjadi wakil presiden di era presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid dan kemudian ketika menjadi presiden, Megawati sering bertemu Lee. Komunitas politik di Indonesia bahkan punya persepsi bahwa Singapura mendukung Megawati jika ada peluang politik pasca kepemimpinan Soeharto.  

BJ Habibie bukan pilihan, dan itu disampaikan secara tersirat oleh Lee yang adalah menteri senior pada 1998-1999, periode terjadinya transisi pemerintahan di Indonesia. Perannya dalam menentukan arah politik Singapura tak hilang sedikitpun kendati posisi perdana menteri dipegang Goh Chok Tong, penerusnya.

Ketika Habibie menarik diri dari pencalonan presiden di Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Oktober 1999, situasi politik berubah. Habibie mundur karena Sidang MPR menolak pertanggungjawabannya sebagai presiden pengganti Soeharto.  

Gus Dur, yang pada waktu itu adalah ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), secara mengejutkan disepakati dan dipilih menjadi presiden. PKB memenangkan 12,6% suara dalam Pemilu Juni 1999. PDI-P yang dipimpin Megawati juara pemilu dengan 34% suara. Belum cukup menguasai suara di MPR.

Megawati yang kurang luwes dalam menjalin koalisi politik dengan pihak lain, ditinggalkan poros tengah, koalisi parpol bernuansa Islam yang dimotori Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais.  Amien mendapat jatah kursi ketua MPR. Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tanjung disodori kursi ketua DPR. 

Poros tengah mendukung Gus Dur dan menghasilkan 373 suara di sidang MPR, mengalahkan Megawati yang mendapat 313 suara. Gus Dur jadi presiden.

(BACA: Lee Kuan Yew, Soeharto dan krismon 1997-1998)

Dukungan menguat agar Mega jadi wapres

Megawati yang khawatir dipermalukan kedua kali, ragu-ragu ikut dalam perebutan kursi wakil presiden. Kandidat lainnya saat itu adalah Amien Rais, Panglima TNI Jenderal Wiranto dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hamzah Haz. Hamzah didukung poros tengah.

Dalam buku memoarnya, From Third World To First, The Singaporean Story: 1965-2000

Lee menuliskan, Gus Dur membujuk Megawati untuk maju dan meyakinkan bahwa Mega akan dapat cukup dukungan untuk menang. Gus Dur butuh dukungan Megawati sebagai wakil presiden, mengingat suara PDI-P cukup besar, dan bisa medukung stabilitas pemerintahannya.

Saya ingat saat itu, dalam keterangan kepada media, Gus Dur dan Megawati menyebut satu-sama lain sebagai saudara. Mas Dur dan Mbak Mega.

Dalam buku memoarnya, Lee menuliskan di beberapa kota di Jawa dan Bali, tempat-tempat di mana dukungan kepada Megawati dan PDI-P tinggi, terjadi  kerusuhan, menyusul tensi politik di MPR dan kalahnya Megawati dalam pilpres.

Lee mengisahkan, saat itu Wakil Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Stanley Roth ada di Singapura menghadiri Forum Ekonomi Dunia. Dia menemui Lee dan Perdana Menteri Goh Chok Tong pada pukul 8 malam waktu Singapura, segera setelah Gus Dur diberitakan terpilih sebagai presiden, 20 Oktober 1999. Pemilihan wakil presiden dilaksanakan sehari kemudian.

Mereka meyakini, melihat perkembangan situasi, pertumpahan darah tak bisa dihindari, jika Megawati dikhianati oleh koalisi kepentingan politik di MPR yang ingin mencegahnya menjadi wakil presiden.

Pada 22 Oktober 1999, koran berbahasa Inggris The Jakarta Post melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albraight yang saat itu tengah berada di Afrika telah menelpon Gus Dur sebelum terjadi pemilihan wapres, menyampaikan pesan dari Washington bahwa Megawati sebaiknya dipilih menjadi wakil presiden. Berhasil. Megawati didukung 392 suara, dan menjadi wakil presiden.  

“Ini menyelamatkan Indonesia dari ronde kedua gangguan keamanan,” tulis Lee.

Dalam keterangan persnya Senin, 23 Maret, setelah Lee meninggal dunia, Megawati mengatakan dirinya ingat betul bagaimana Lee begitu mengagumi Bung Karno dan sangat merasakan bagaimana perjuangan Bung Karno mendirikan negara Indonesia yang begitu besar, plural, dan secara geografis sangat luas. 

“Membangun Singapura yang kecil saja tidak mudah, apalagi membangun Indonesia yang begitu besar. Saya bisa merasakan sulitnya Bung Karno mendirikan Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bersatu,” kata Lee, sebagaimana dikutip Megawati.

Pertemuan pertama dengan Sukarno

Mendiang Perdana Menteri Singapura lee Kuan Yew berjabat tangan bersama mantan Presiden Megawati Sukarnoputri saat melakukan kunjungan di Jakarta, 22 Februari 2006. Foto oleh Bagus Indahono/EPA

Lee mengenang presiden pertama Indonesia, Sukarno, ayah Megawati, sebagai ahli pidato yang ulung, tak kenal lelah, dan bersemangat. Pada Februari 1959, Lee mengemudikan mobilnya dari Singapura ke Bukit Fraser, kawasan resor di Pahang, Malaysia. 

Lee butuh waktu 7 jam perjalanan untuk mencapai Bukit Fraser. Dia mulai  menyetel radio di mobilnya pukul 08.30 waktu Indonesia, atau pukul 07.30 waktu Singapura. 

Ketika itu, Presiden Sukarno baru mulai berpidato dengan berapi-api. Selama beberapa jam kemudian, Lee kehilangan suara  pidato  Sukarno, karena daya tangkap siaran radio di mobil yang tengah bergerak ketika itu begitu buruknya. 

Tiga jam kemudian, ketika sampai di Malaka, Lee bisa mendengarkan lagi suara Sukarno. Masih dengan suara yang keras, berapi-api, penuh semangat. Ia bisa mendengar suara Sukarno yang dengan lantang menyapa rakyatnya, dan mendengar suara rakyat yang mengelu-elukan pemimpin besar revolusi dan proklamator kemerdekaan Indonesia itu.

Lee ingin bertemu langsung dengan Sukarno. Dunia kemudian mengenang Lee sebagai salah satu orator, dengan wawasan yang dalam. Piawai menyelipkan propaganda yang meyakinkan.  Berlidah tajam dan tak segan berdebat dengan siapapun termasuk dengan media yang mengkritisi pemerintahan dan keluarganya.

Dalam bukunya, Lee mengisahkan pertemuan dengan Sukarno, Agustus 1960,  di Istana Merdeka, Jakarta.  Sukarno menggunakan baju  kebesarannya, berwarna krem, memegang tongkat.  

Jakarta ketika itu terasa panas dan lembab. Tetapi di Istana Merdeka tak ada mesin pendingin udara atau kipas angin. Sukarno tak menyukai keduanya. Ia lebih suka berpeluh-peluh, dan berpanas. Lee melihat baju Sukarno yang basah.

Selama 20 menit pertama, pembicaraan didominasi Sukarno. Ia berbicara dalam Bahasa Indonesia, dengan pernyataan yang ditujukan untuk menunjukkan bahwa Indonesia lebih hebat dari tetangga.

‘’Berapa banyak pendudukmu?’’ tanya Sukarno.

‘’Satu setengah juta,’’ kata Lee. 

‘’Penduduk saya 100 juta,’’ kata Sukarno.

‘’Berapa mobil kamu punya?’’ tanya Sukarno.

‘’Sekitar 10.000,’’ kata Lee.

‘’Oh, Jakarta punya 50.000,’’ katanya.

(BACA: Timeline Lee Kuan Yew

Kemandirian bangsa a la Sukarno

Sukarno ingin menunjukkan kehebatan Indonesia. Lee agak kaget melihat gaya bicara Sukarno. Tapi setelah itu ia sadar, lawan bicaranya adalah penguasa Indonesia, sebuah republik yang dari segi ukuran adalah terbesar di Asia Tenggara.

Dalam pertemuan itu Sukarno membanggakan sistem politik Indonesia yang dia sebut sebagai ‘’demokrasi terpimpin’’. Rakyat Indonesia, kata si Bung, ingin segalanya direvolusi, termasuk kebudayaan dan ekonomi. Demokrasi barat dinilai tidak cocok bagi Indonesia.

Lee berulang kali mendengar Sukarno mengucapkan kalimat itu. Ia merasa, yang disampaikan Sukarno adalah percakapan yang tidak penting.

Sebagai negara yang dijajah ratusan tahun oleh Belanda, Indonesia cukup apes. Tak banyak birokrat terlatih yang ditinggalkan si kolonialis. Hanya sedikit profesional yang tersedia. Juga hanya ada sedikit lembaga yang bisa membawa Indonesia maju. 

Tiga setengah tahun kehadiran Jepang makin memperburuk situasi. Segala lembaga peninggalan Belanda dihancurkan.

Perang kemerdekaan yang terjadi antara 1945-1949, yang ditutup dengan pengakuan kemerdekaan oleh Belanda, makin memperburuk situasi ekonomi. Kemerdekaan itu disusul dengan nasionalisasi terhadap perusahaan asing, dan Sukarno menerapkan kebijakan ekonomi yang nasionalis. Semuanya membuat investor asing merasa kurang nyaman.

Lee menginap di Hotel des Indes di Jakarta, hotel yang paling top ketika itu. Hotel des Indes kini dikenal sebagai komplek pertokoan Duta Merlin. Lee menyetarakan Hotel des Indes dengan Hotel Raffles yang elite di Singapura. 

Sayang, des Indes tidak terawat. Jakarta hujan ketika Lee menginap. Kamarnya bocor. Bergegas seorang pelayan membawa baskom untuk menadahi air tetesannya. Ketika membuka pintu, tanpa sengaja plester tembok rontok. Sore hari ketika Lee balik ke hotel, plester yang rontok itu sudah ditutupi kertas.

Lee menyuruh Lee Khon Choy, salah satu anggota rombongannya, untuk membeli kamus Indonesia-Inggris dan Inggris-Indonesia. Masing-masing harganya kurang dari dua dolar Singapura. Murah sekali. Rombongan pun memborong kamus, untuk oleh-oleh bagi kolega atau saudara yang ingin belajar Bahasa Melayu.

Dari Jakarta, Lee kemudian ke Bogor. Ia naik mobil dengan pengawalan polisi bermotor. Dari Bogor kemudian melanjutkan perjalanan ke Bandung. Lee kemudian meneruskan perjalanan ke Yogyakarta, menggunakan pesawat pribadi milik Presiden Sukarno.

Pesawat itu bermesin ganda, hadiah dari Uni Soviet. Lebih besar dari pesawat komersial DC-3I. Jam di atas lorong terlihat mati. Lee merasa khawatir. Ia jadi mencemaskan kehandalan teknologi Rusia dan kecermatan teknisi Indonesia untuk merawatnya. 

Kalau jam saja tidak dirawat, bagaimana dengan mesinnya? 

Sebelum balik ke Singapura, Lee Kuan Yew mengeluarkan pernyataan bersama dengan Perdana Menteri Urusan Perdagangan dan Kebudayaan, Djuanda. Sebelumnya, Lee beberapa kali bertemu dengan Djuanda, berbicara dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia. Ia mengenangnya sebagai figur yang pintar, jujur, dan menyadari bahwa banyak kesulitan yang dihadapi Indonesia.

Dalam salah satu acara makan malam, Lee melontarkan pujian terhadap Indonesia yang ia nilai sebagai negara yang diberkati. Tanahnya subur, sumber daya alam melimpah, dan iklimnya bersahabat. 

Djuanda menatap Lee dengan muka sedih. ‘’Ya, Tuhan memberkati kami. Tetapi kami sering durhaka pada diri kami sendiri,’’ katanya. 

Lee menuliskan, dia senang melihat cara bicara yang jujur.  

“Kami bisa menjadi teman dengan orang yang jujur dan tulus seperti ini,” ujar Lee.

Lee wafat meninggalkan Singapura yang masih negara kecil dengan pendapatan per kapita US$ 500. Saat bertemu Sukarno di tahun 1960, Singapura adalah salah satu negara paling makmur di dunia dengan pendapatan per kapitan US$ 55.000 (Indonesia kini US$ 4.000).

Singapura adalah salah satu hub keuangan dunia, pusat pertemuan bisnis, dan ekonomi kelas dunia, negara yang menyediakan fasilitas kesehatan terbaik.

Mantan Menteri Luar Negeri  AS Henry A. Kissinger dalam artikel yang diterbitkan koran The Washington Post hari ini menyebutkan bahwa Singapura mencapai sukses itu karena pendirinya, Lee, membangun negerinya dengan menitikberatkan pada peningkatan kualitas pendidikan, memberantas korupsi dan menerapkan merit system pada pengelolaan pemerintahan.  

Lee memastikan semua program kerjanya berjalan tanpa ruang bagi perbedaan pendapat. Itu pilihan. 

Setelah Lee pergi, apakah ruang berbeda pendapat itu terbuka lebih besar? —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!