Anak muda perlu melek soal keuangan

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Anak muda perlu melek soal keuangan
Tingkat literasi keuangan di Indonesia masih rendah, sekitar 21%. Segala upaya sudah ditempuh. Perlu lebih fokus menggarap literasi di kalangan anak muda.

Seseorang, sebut saja Mr X, harus meminjam dana tunai senilai Rp 2 juta untuk biaya pengobatan dirinya. Setiap minggu, dia diharuskan membayar angsuran Rp 200 ribu.  

Mr X tak mampu memenuhi kewajiban angsuran ini, sehingga lembaga keuangan kembali meminjami dia dana Rp 200 ribu per minggu untuk melunasi angsuran. Akibatnya, jumlah pinjaman Mr X terus membengkak, mencekik leher. Belum lagi dengan biaya administrasi yang dibebankan kepada peminjam.  Kondisi ini berlangsung terus, bertahun-tahun, sampai total utang Mr X mencapai Rp 72 juta. Lembaga keuangan memaksa Mr X menjual rumahnya untuk melunasi utang.

Kisah ini diceritakan oleh Rimawan Pradiptyo, dosen dan peneliti dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, dalam seminar internasional literasi keuangan, yang diadakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 9-10 Juni 2015, di Nusa Dua, Bali.  

Mr X adalah potret warga yang minim pengetahuan soal keuangan. Dia meminjam dari lembaga keuangan yang kurang bonafid, cenderung berperilaku bagai rentenir. Mereka yang terjerat skema utang seperti ini bukan hanya masyarakat kelas bawah yang rendah tingkat pendidikan. Bahkan yang berpendidikan tinggi pun bisa terjerat. Misalnya dalam kasus skema Ponzi atau penggunakan sistem pemasaran bertingkat.

Salah satu kasus skema ponzi yang mengemuka adalah terkait dengan pengusaha yang menyelenggarakan skema ponzi untuk pembiayaan bisnis maskapai penerbangan

“Kasus yang terungkap menunjukkan lemahnya tingkat literasi keuangan di Indonesia,” kata Rimawan. Menurut data yang dipaparkan Rimawan, sebanyak 78,16% dari populasi Indonesia memiliki tingkat literasi yang rendah. Paling rendah di kawasan Asia Tenggara. Ini membuat tingkat literasi keuangan juga rendah.

Ketua komisioner OJK Muliaman D. Hadad mengatakan, hasil survei nasional literasi keuangan yang diselenggarakan OJK pada 2013 di 20 provinsi dengan jumlah delapan ribu responden secara umum menunjukan tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 21,8%, dengan tingkat inklusi 59,7%. Adapun indeks literasi masyarakat golongan C,D, dan E (masyarakat berpenghasilan rendah/low income) sebesar 18,71%.

Literasi perlu menyasar orang muda

Sejumlah pembicara yang mengisi seminar OJK menggarisbawahi perlunya memberikan perhatian lebih besar pada literasi keuangan untuk orang muda.  Yang dimaksud di sini adalah sejak usia sekolah dasar (SD). Beragam riset menunjukkan bahwa orang muda yang paham seluk-beluk keuangan, akan meningkatkan tabungan, termasuk asuransi. Jika tingkat tabungan dan penggunaan asuransi meningkat, maka kondisi keuangan sebuah negara akan menguat pula. 

Data Bank Dunia menunjukkan bahwa ada 2 miliar penduduk dunia yang masih belum mengakses lembaga keuangan (unbanked). “Mereka adalah sasaran liiterasi keuangan. Mayoritas orang muda,” kata ekonom Bank Dunia Bilal Husnain Zia.

Selama ini literasi keuangan yang dilakukan lembaga keuangan cenderung dilakukan secara acak, tidak fokus, dan terlalu umum. Literasi keuangan yang menyasar kaum muda sekitar 27%, usaha kecil dan menengah 12%, dan kaum perempuan 13,6%. “Kita perlu terobosan dalam pendekatan literasi keuangan, agar lebih fokus dan terkoordinasi,” kata Muhammad Syarif Surbakti dari Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah.  

Literasi keuangan bagi kaum muda juga punya kendala. Tak cukup slot waktu untuk melakukannya di sekolah/universitas. Idealnya masuk dalam kurikulum di sekolah, sebagaimana yang terjadi di Selandia Baru, Republik Ceko, dan Afrika Selatan. Menurut data organisasi kerjasama pembangunan negara berkembang (OECD) negara-negara tersebut tergolong baik literasi keuangannya. “Kementerian pendidikan di negara-negara itu berada di garda depan literasi keuangan untuk kaum muda,” kata Adele Atkinson, dari unit unit edukasi keuangan dan perlindungan konsumen OECD.

Kendala lain adalah lemahnya kemampuan guru melakukan literasi keuangan. Di sini peran lembaga seperti OJK menjadi penting, dalam memberikan pembekalan, semacam pelatihan bagi pelatih (training for trainer). “Pelatihan literasi untuk pelajar juga perlu format yang menarik dan kreatif. Mereka mudah bosan,” kata Adele.

Saya teringat akan pengalaman menjadi juri dalam Kompetisi Inklusi Keuangan (KOINKU) yang dilakukan OJK tahun lalu. Pemenang untuk kategori perguruan tinggi adalah mahasiswi dari Universitas Gadjah Mada. Inti dari kompetisi ini adalah menggali ide kreatif dan inovatif untuk literasi keuangan, agar mendukung inklusi keuangan. Presentasi Dyah Savitri Pritadrajati, mahasiswi UGM, berhasil mencuri perhatian dewan juri. Dia mengenalkan sebuah permainan yang diberi nama “Econofonia”.

Ide Econofonia muncul berdasarkan pengalaman Prita, panggilan akrab Dyah Savitri, saat mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Manyaifun, Waigeo Barat, Papua Barat. Salah satu program yang dijalankan adalah meningkatkan kemampuan berhitung anak-anak dan remaja dengan menggunakan papan permainan sederhana. 

Menurut Prita, anak-anak dan remaja di sana sangat antusias dengan permainan yang diberikan. Menggunakan konsep bermain membuat anak-anak dan remaja senang belajar dan lebih mudah memahami materi yang diajarkan. 

“Ini yang menginspirasi saya untuk mengembangkan konsep papan bermain untuk literasi keuangan bagi anak-anak dan remaja,” kata Prita, yang kini duduk di tingkat akhir Fakultas Ekonomi UGM. Kisah ide Econofonia dapat dibaca di sini

Jika orang muda perlu dapat perhatian khusus agar paham seluk-beluk keuangan, maka menggunakan ide yang datang dari sesama orang muda, menurut saya berpotensi membuat literasi menjadi menarik.  

Fakta bahwa anak muda sangat lekat dengan teknologi informasi, menjadi digital native, juga perlu menjadi pertimbangan. Sejak usia sekolah dasar, anak masa kini sudah terbiasa mengakses informasi melalui tablet maupun telpon selulernya.  

“Literasi keuangan melalui moda digital menggunakan perangkat telepon seluler juga lebih murah.  Bisa mengatasi hambatan geografis bagi negara kepulauan seperti Indonesia,” kata Bilal dari Bank Dunia. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya@unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!