Belajar sabar dari kasus musala Tolikara

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Belajar sabar dari kasus musala Tolikara

EPA

"Kita bisa belajar dari cara kanjeng Nabi bersabar, ketika masa-masa awal dakwah terjadi, ia disakiti, diserang, dihina dan dinistakan. Kita tahu bagaimana ia bersabar, memilih diam dan tersenyum kepada mereka yang membencinya."

Bagaimana cara untuk bersikap adil dan tenang ketika tragedi terjadi? Bagaimana cara untuk tetap berpikir kritis dan berlaku toleran ketika keyakinan yang kamu muliakan dihina?

Barangkali kita bisa belajar dari cara kanjeng Nabi bersabar, ketika masa-masa awal dakwah terjadi, ia disakiti, diserang, dihina dan dinistakan. Kita tahu bagaimana ia bersabar, memilih diam dan tersenyum kepada mereka yang membencinya.

Tentu ada periode-periode di mana Nabi memilih bersikap tegas, tapi kita tahu kekerasan selalu menjadi jalan paling akhir ketika usaha damai tidak menemukan titik terang. Maka baiknya kita belajar untuk sabar dan kembali memikirkan jejak-jejak kesabaran yang ditinggalkan Nabi melalui caranya berdakwah.

Karen Armstrong, sejarawan dan penulis agama-agama monoteis dunia, pernah membuat gempar karena berkata bahwa Kanjeng Nabi Muhammad usai menaklukkan Mekah, menghancurkan seluruh berhala yang ada di sekitar Ka’bah. Lalu beliau mengganti seluruh kain dan mencucinya. Semua simbol-simbol keyakinan non Islam dihilangkan kecuali sebuah gambar Bunda Maria di dalam Ka’bah.

Banyak orang yang merasa tersinggung dan tidak percaya klaim Armstrong itu. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa Karen adalah seorang pendusta yang ingin menghina Islam. 

Alasannya sederhana. Tidak ada tuhan selain Allah, Ka’bah adalah rumah Allah, bagaimana mungkin Kanjeng Nabi Muhammad membiarkan adanya makhluk atau gambar di dalam Ka’bah. Apalagi gambar Bunda Maria yang disucikan oleh umat Katolik?

Armstrong saya kira tidak berusaha menista Islam. Martin Lings penulis buku “Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources” juga mengatakan bahwa ketika peristiwa penaklukan Mekah seluruh gambar dan patung-patung yang berkaitan dengan berhala dihancurkan. Kecuali gambar Bunda Maria dan bayi Yesus, dan juga gambar yang diperkirakan perwujudan Ibrahim.

Martin Lings merujuk pada sumber kitab susunan Al-Waqidi yang berjudul Kitab al-Maghazi dan juga menyandarkan diri pada kitab susunan Azraqi yang berjudul Akhbar Makkah vol. 1, p. 107. Azraqi adalah sejarawan awal Ka’bah terkemuka. Kitab Azraqi menjadi salah satu rujukan dari berbagai sejarawan yang ingin bicara tentang Mekkah dan khususnya Ka’bah.

Meski, beberapa ulama Islam terbaik Islam mengatakan bahwa Al Waqidi adalah orang yang tidak dapat dipercaya dan klaim-klaim yang ia berikan palsu, tapi setidaknya ada dua penulis dunia yang kredibilitasnya tidak diragukan mengutip kisah ini. Anda boleh percaya boleh tidak, bahkan boleh menuduh bahwa kisah ini bohong. 

Saya tidak ingin bilang bahwa Nabi Muhammad memperbolehkan kita menyembah Bunda Maria dan Yesus. Saya ingin menunjukkan, berdasarkan manuskrip sejarah karya Al Wakqidi dan Al Azraqi (yang banyak diragukan oleh beberapa orang), bahwa kanjeng Nabi Muhammad mempraktikkan toleransi sangat tinggi, dengan tidak menghancurkan lukisan Bunda Maria dan bayi Yesus yang ada di dalam Ka’bah.

Dalam kisah Sirah Nabawiyah, seperti juga dinarasikan dalam al Jamiu li Ahkam al Quran, nabi Muhammad mengijinkan para utusan kristen Najran untuk melaksanakan salat di masjid. Ya, Nabi mengijinkan umat kristen untuk melaksanakan ibadah di Masjid. Lantas jika toleransi ini ada dan pernah terjadi, apa hak kita untuk mengobarkan permusuhan?

Merespon provokasi dengan kebaikan

Foto dari Twitter

Indonesia sedang ramai, karena ada tempat ibadah milik umat Islam yang dibakar di Papua. Banyak orang yang bergegas menyerukan jihad dan memupuk kebencian. Banyak pula mereka yang tak pernah tinggal di Papua ikut berkomentar, memperbesar api kebencian dan menambah runyam keadaan. 

Tapi bisakah kita belajar untuk meredam amarah dan sedikit saja belajar menahan diri? Apa yang terjadi di Tolikara harus diusut tuntas, tapi jangan biarkan kebencian dan kemarahan mengambil alih akal sehat kita.

Jauh di sana, di Amerika, seorang pria melakukan penyerangan di markas militer Amerika serikat. Empat orang tentara meninggal, si pelaku Mohammod Youssuf Abdulazeez adalah seorang muslim. 

Perilaku ini lantas memicu kebencian. Islam, sekali lagi menjadi korban kebencian dari orang-orang yang bebal. Mereka, yang tidak tahu Islam dan tidak belajar tentang Islam, lantas mengutuk agama ini dan menganjurkan agar seluruh umat muslim di Amerika diusir dan dideportasi.

Sebagai muslim kita tahu bagaimana rasanya dituduh atas sebuah perbuatan yang kita tidak tahu. Maka kini, sebagai umat yang dewasa, baiknya kita bisa bersikap selayaknya orang bermartabat. 

Apa yang terjadi di Tolikara tidak bisa ditoleransi, tapi menyalahkan seluruh umat kristen tentu tidak bijak. Apalagi di media sosial lantas terjadi generalisasi, seolah pelakunya adalah seluruh umat kristen. Jika Anda saja tidak bisa membedakan antara Katolik dan Protestan, bagaimana cara Anda menjadi adil?

Tentang adil dan menjadi dewasa kita bisa belajar dari kelompok muslim di Amerika. Baru-baru ini di Amerika tengah gencar pembakaran gereja oleh orang-orang yang dungu. Tapi apakah yang dilakukan umat Islam di sana? Apakah merayakan pembakaran ini? Tidak. 

Tiga lembaga Islam di Amerika meluncurkan inisiatif untuk melakukan penggalangan dana. Tujuannya agar gereja-gereja yang dibakar itu bisa kembali dibangun dan digunakan oleh para jemaatnya.

Umat muslim yang menginisiasi program itu menyadari bahwa tidak selayaknya keyakinan seseorang mutlak dipersalahkan atas perilaku sebagian individunya. Mereka, umat muslim yang menggalang dana pembangunan gereja, menunjukkan kepada kita bahwa toleransi bisa berujung manis. 

Bahwa perbedaan tidak membuat seseorang menjadi lebih jahat, lebih hina atau lebih buruk daripada yang lain. Toleransi ini membuat mereka bisa diterima oleh sebagian publik yang dulu mengecam Islam.

Saya kira ini pilihan. Ketika ada provokasi dan tantangan berkonflik, sebagai umat kita punya pilihan merespon dengan kekerasan atau merespon dengan kebaikan.

Merespon dengan kebaikan tidak berarti kita memaafkan begitu saja pelaku pembakaran, ia harus dihukum, tapi yang lebih dari itu adalah menunjukkan bahwa kita adalah umat yang besar dan dewasa. Yang tahu kapan mesti menahan diri dan tidak ikut kena provokasi.

Nabi Muhammad menunjukkan demikian banyak sikap toleran pada umat lain. Maka pilihan kembali kepada Anda, apakah ingin ikut marah atau menahan diri. — Rappler.com 

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!