MOOD METER: Melihat Jakarta dari Gua Plato

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

MOOD METER: Melihat Jakarta dari Gua Plato
Sudah tidak mempunyai pekerjaan, sekarang mereka kehilangan rumah lagi. Lalu, bagaimana kita bisa mengatakan keadaan mereka menjadi lebih baik di tempat baru?

Pada tahun pertama saya mengikuti kuliah di Universitas Indonesia, saya diwajibkan mengambil mata kuliah filsafat dasar. Salah satu konsep yang diajarkan adalah Gua Plato.

Konsep yang dapat dibaca di dalam buku berjudul Politeia ini disajikan dalam bentuk narasi tentang beberapa tawanan yang diikat menghadap ke dinding belakang gua. Mereka sudah terlalu lama di sana, dan tak bisa lagi melihat ke mana-mana, selain dinding batu itu.

Mereka bisa melihat bayangan orang-orang dari sebuah api yang berkobar di mulut gua. Bayang-bayang inilah yang menjadi gambaran ‘dunia’ bagi para tawanan.

Pada suatu hari, salah seorang tawanan dilepas dan dipaksa keluar gua. Ia disuruh melihat bentuk asli dari bayangan yang selama ini mereka lihat. Awalnya, api dan cahaya matahari membuat matanya silau. Ia pun lebih menyukai bayangan. Tetapi setelah terbiasa, ia mulai menikmati bentuk asli dari bayangan: indahnya matahari, hijaunya padang rumput, jernihnya sungai, dan sebagainya.

Ketika pada suatu saat ia dikembalikan ke belakang gua, hal pertama yang dia lakukan adalah membebaskan kawan-kawannya. Bukannya tertarik, teman-temannya malah marah-marah. Kebenaran yang dia bawa dianggap mengganggu ilusi tawanan-tawanan lain. Kawan-kawannya pun memutuskan untuk membunuhnya.

Itulah yang saya lihat di Jakarta saat ini. Orang-orang lebih memilih mempercayai ilusi yang mereka lihat lewat foto di media sosial ketimbang turun langsung untuk melihat.

Sejujurnya, dulu saya juga seperti itu. Menerima mentah-mentah informasi yang saya dapat dari membaca berita, foto, cuitan di Twitter, hingga status seorang tokoh masyarakat di Facebook. Padahal, hal-hal semacam ini tak berbeda dengan ‘bayangan’ yang dilihat para tawanan di dinding gua.

Untungnya, saat ini saya masih bekerja sebagai seorang jurnalis, yang sangat tabu untuk mempercayai informasi hanya dari bayangan. Untuk mengolah sesuatu menjadi berita yang bisa dipublikasikan, saya harus turun sendiri ke lapangan, menatap dengan mata kepala sendiri matahari, sungai, ilalang, dan apa yang terjadi di luar sana. Saya harus ke luar gua. Dan saya kira, itulah esensi dari seorang jurnalis, menjadi seperti dia yang keluar dari gua untuk menyampaikan kebenaran ke masyarakat luas.

Tapi, belajar dari pengalaman keluar-gua-dan-menceritakan-bentuk-asli, saya jadi paham betul apa yang hendak disampaikan Plato lewat perumpamaan guanya ini.

Ada saja pihak yang tidak senang dan menganggap ada tujuan lain dari petualangan saya di luar. Entah mendisrupsi ketenangan tawanan lainnya, atau justru menjatuhkan nama baik dia yang selama ini berkicau tentang dunia luar yang  serba indah dan baik-baik saja. Padahal belum tentu pernah melihat langsung, apalagi mengobrol dengan para makhluk asli ini.

Kalau lewat bayangan, tentu semua terlihat baik-baik saja. Orang hanya sepintas lewat, lalu pergi, berganti dengan orang lain. Para tawanan yang tak keluar gua ini tak pernah berinteraksi langsung, tidak pernah mengobrol, mendengar cerita, apalagi melihat langsung drama kehidupan di luar sana. Tak hanya senyum dan tawa, tetapi juga tragedi, kekerasan, kehancuran, dan keputusasaan.

Gua Plato relokasi

Salah seorang warga relokasi dari Pasar Ikan, Penjaringan, di rusun Marunda. Ibu ini mengaku sulit untuk bekerja karena terlalu jauh.

Salah satu yang saya rasakan betul adalah drama relokasi. Dari pemberitaan media dan dari mulut Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, saya mendapat ‘informasi’ para warga relokasi dipindahkan ke tempat yang lebih baik. Tapi apa benar demikian?

Memang, mereka mendapat tempat tinggal dan tak perlu khawatir lagi akan dipindahpaksakan. Tapi apa memang kehidupan berhenti sampai di papan saja?

Kebutuhan hidup manusia ada 3: Sandang, pangan dan papan. Okelah, mereka sudah mempunyai papan gratis sampai tiga bulan ke depan, terlepas dari layak atau tidaknya tempat tinggal baru mereka. Sandang juga bisa diakali. Tapi bagaimana dengan pangan? Setelah direlokasi, mereka kehilangan pekerjaan. Pengeluaran mereka untuk transportasi juga bertambah sehingga tak bisa lagi makan seperti sebelum pindah.

Lalu, karena uang mereka yang pas-pasan tergerus terus dan tak punya simpanan, setelah tiga bulan mereka harus angkat kaki dari rumah sewaan. Sudah tidak mempunyai pekerjaan, sekarang mereka kehilangan rumah lagi. Lalu, bagaimana kita bisa mengatakan keadaan mereka menjadi lebih baik di tempat baru?  

Alldo Felix Januardy, seorang pengacara pro bono dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang sering mendampingi warga korban penggusuran, mengatakan banyak hal yang harus dilakukan pemerintah sebelum menggusur warga. Pertama, berdialog dengan warga supaya memahami kehidupan mereka; kedua, memastikan kalau tempat relokasi mereka sudah layak; dan ketiga, ikut memikirkan bagaimana kehidupan mereka setelah direlokasi. Jadi tidak hanya fasilitas tempat tinggal, tetapi juga transportasi dan akses ke tempat kerja atau tempat mereka mencari nafkah.

Keluarga relokasi dari Pasar Ikan, Penjaringan, yang menolak dipindahkan ke rusun dan memilih tinggal di perahu. LBH Jakarta/Alldo Felix Januardy

“Jangan setelah relokasi, pemerintah langsung lepas tangan,” kata dia. 

Tetapi siapa sih yang masih peduli dengan masa depan orang-orang yang tergusur ini? Kebanyakan warga Jakarta mendapat informasi penggusuran dari berita media yang mengatakan warga yang kena penggusuran dapat rumah susun gratis. Jadi, seharusnya mereka senang dan berterimakasih kepada pemerintah. Kalau masih menolak juga, itu namanya “bodoh dan tak tahu diri”.

Sulit menerima kritik

Memang tidak semua orang mau menerima kritikan dengan mudah. Jangankan kritikan yang ditujukan ke diri mereka. Kadang, kritikan yang dilayangkan ke orang lain saja bisa membuat mereka kebakaran jenggot.

Apalagi kalau yang dikritik itu orang yang mereka tokohkan. Padahal, ‘tokoh’ itu manusia juga, tetapi mereka perlakukan dia seperti dewa, tak bercacat dan tak ada salahnya. Mana sih ada orang yang selama hidupnya tidak pernah berbuat salah? Peribahasa mengatakan: Tak ada gading yang tak retak.

Coba sekali-kali jangan termakan propaganda, memelototi dinding gua tanpa menengok ke belakang. Melihat sisi lain dari dunia (yang nyata, tentunya). Jangan seumur hidup cuma dihabiskan di dalam gua saja.

Ah, tetapi siapa sih yang tidak melihat dunia dari gua Plato? Banyak yang tak punya waktu dan kesempatan untuk berkeliling melihat dunia nyata di luar gua. Lebih banyak lagi yang tak mau. Atau yang memang keluar, tapi membawa motif tertentu, dan kemudian membawa cerita palsu untuk menjatuhkan nama tawanan lain yang sudah keluar. Ada yang seperti itu, tapi yang jelas dia bukan seorang jurnalis.

Jurnalis memang boleh berpihak. Ada kode etik untuk tidak membuat berita dari satu sisi saja. Harus berimbang, ada konfirmasinya.

Kami tak keluar gua Plato hanya untuk menceritakan ulang bayang-bayang yang memang dilihat masyarakat sehari-hari lewat cerita sepihak. Kami keluar untuk mengonfirmasi adegan bayangan yang dilihat di dinding gua. Kalau benar, kami tulis demikian. Kalau salah, kami beritahu koreksinya.

Kami menulis fakta. Bukan juru dongeng, apalagi juru kampanye.

Kalau memang ada yang berprofesi ganda, buang saja kartu pers kalian. Mencoreng nama mereka yang lurus pada jalannya. Jadilah tawanan yang baik dan bermartabat. Jangan sok jadi dia yang terbebaskan, padahal pikirannya masih terbelenggu bayangan saja. – Rappler.com 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!