Masihkah Indonesia menjadi rumah bagi kami?

Rocky Intan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Masihkah Indonesia menjadi rumah bagi kami?
Penulis mengatakan, sebagian masyarakat Indonesia menilai Ahok lebih buruk karena etnis dan agamanya, padahal kekurangannya tidak jauh beda dengan politisi lain

Ketika saya memberitahu orangtua bahwa saya ingin kuliah di jurusan Hubungan Internasional, mereka marah dan tidak setuju. Mereka tahu karir utama di jurusan ini adalah diplomat, pejabat publik.

“Kita ini orang Cina. Ngapain, sih, masuk-masuk politik?”

Menurut saya, mereka salah. Orangtua saya tumbuh puluhan tahun di bawah Orde Baru. Wajar kalau mereka belum meresapi prestasi-prestasi Reformasi. Wajar kalau mereka masih percaya etnis Tionghoa di Indonesia adalah warga negara kelas dua. Wajar kalau mereka belum percaya Indonesia akan merangkul tiap warga negaranya yang berbeda. Wajar kalau mereka merasa, dalam lubuk hatinya, Indonesia bukan rumah mereka.

Atau mungkin, mereka benar dan saya salah. Mungkin orang Indonesia memang memandang etnis Tionghoa sebagai warga negara kelas dua. Mungkin Indonesia memang tidak menerima kami. Mungkin Indonesia memang bukan rumah kami. 

Dua fondasi dari Indonesia sebagai rumah kami —Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila & UUD 1945— sedang diserang habis-habisan.

Bhinneka Tunggal Ika

Berbeda-beda tapi tetap satu — kecuali kalau etnis Tionghoa dan non-Muslim.

Jangan lupa, Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama angkat suara soal surah Al-Maidah karena diserang bahwa non-Muslim tidak boleh menjadi pemimpin warga Muslim. Serangan ini harus diingat, bijak atau tidak beliau angkat suara meresponnya (Menurut saya sama sekali tidak, dan jangan lupa juga respon beliau yang beredar itu diedit).

“Mungkin orang Indonesia memang memandang etnis Tionghoa sebagai warga negara kelas dua. Mungkin Indonesia memang bukan rumah kami.” 

Ahok sebagai gubernur memang memiliki banyak kekurangan; saya sering tidak setuju dengan kepemimpinannya. Ia bertangan besi dalam hal penggusuran dan pembenahan administratif. Ia memilih untuk didukung oleh partai politik —dibanding maju sebagai calon independen— demi naik lagi jadi gubernur, padahal ia sudah keluar dari partai politik sebelumnya. Ia juga suka bicara hal kontroversial yang sebetulnya tidak perlu.

Tapi bukan cuma Ahok yang seperti itu. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan bahkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dulu sebagai Wali Kota Solo juga bertangan besi dalam penggusuran dan reformasi administratif. Mantan Menteri Pendidikan Anies Baswedan juga akhirnya maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta melalui partai politik yang dulu ia kritik. 

Presiden RI keempat Abdurrahman “Gus Dur” Wahid juga hobi angkat suara secara tidak perlu pada hal kontroversial. Risma juga sering marah-marah seperti Ahok.

Perbedaannya adalah, tidak seperti politisi-politisi di atas, Ahok merupakan etnis Tionghoa dan non-Muslim. Kita menilai Ahok lebih buruk karena etnis dan agamanya, padahal kekurangannya tidak jauh beda dengan politisi lain.

Ini standar ganda. Kalau kita memang berpegang pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika, seharusnya tidak seperti ini.

Bisa dimengerti sebetulnya masyarakat punya standar ganda seperti itu. Politik identitas tak bisa dihindari. Seharusnya ini bisa direspon dengan politik identitas lain bahwa kita semua ini orang Indonesia, apa pun agama dan etnisnya. Respon ini juga didukung oleh dasar dan hukum negara, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pancasila & UUD ’45

Massa yang tergabung dalam Aliansi Kebhinekaan mengikuti parade "Kita Indonesia" di Bundaran HI, Jakarta, pada 4 Desember 2015. Foto oleh Yudhi Mahatma/Antara

Sila pertama Pancasila tidak menyebut ketuhanan yang berdasarkan agama mayoritas. Tidak ada pasal di UUD ’45 yang menyatakan pemimpin negara, nasional, dan daerah harus beragama dan etnisitas tertentu; hanya harus berkewarganegaraan Indonesia. Sayangnya, belum ada dari pemerintah yang merespon seperti ini.

Saya tidak punya kompetensi untuk menilai apakah memang boleh non-Muslim menjadi pemimpin Muslim. Tapi ini tidak relevan karena Indonesia bukan negara Islam. Dasar dan hukum Indonesia adalah Pancasila dan UUD ’45, bukan ajaran agama Islam. Meski ia adalah agama mayoritas, ia bukan dasar dan hukum negara.

Saya belum menemukan pernyataan seperti ini dari pemerintah. Mungkin karena mereka takut mengusik perasaan pemeluk agama mayoritas. Mungkin karena mereka sendiri juga tidak percaya pada dasar dan hukum negara. Atau mungkin sudah ada dan saya yang tidak memperhatikan. Ini bisa juga berarti meski sudah ada, pembelaan terhadap Pancasila dan UUD ’45 ini begitu kecil dan datang dari posisi yang kurang tinggi sehingga tidak beredar.

Saya juga belum mendengar pembelaan ini dari kelompok-kelompok yang biasanya membela pluralisme Indonesia. Mungkin karena banyak dari mereka yang tidak setuju dengan kepemimpinan Ahok seperti saya di atas. 

Ironis jika para pembela pluralisme, karena tidak setuju pada pemimpin yang diserang nilai anti-pluralisme, tidak melawan nilai-nilai tersebut dan akhirnya malah terlibat dalam pembunuhan nilai yang mereka bela. Atau mungkin, sama seperti sebelumnya, sudah ada dan saya yang tidak memperhatikan. Sama seperti sebelumnya, bisa juga ini berarti meski sudah ada, pembelaan ini begitu kecil sehingga tidak beredar.

Sementara itu, fokus media saat ini adalah jumlah perbandingan massa demonstrasi kedua belah pihak dan apakah mereka tertib dan membersihkan sampah mereka masing-masing. Fokus diskusi publik saat ini adalah penegakan hukum penistaan agama yang berbahaya bagi kebebasan berekspresi semua golongan. Dan sementara itu, fondasi rumah kami, Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila serta UUD ’45, terus dihantam.

Mungkin orangtua saya benar. Mungkin Indonesia memang bukan rumah kami. —Rappler.com 

Rocky Intan adalah seorang peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. Penelitiannya berfokus pada politik ekonomi internasional dan geopolitik di Asia Timur.

Tulisan ini sebelumnya diterbitkan di situs pribadi penulis. Diterbitkan ulang di Rappler.com dengan izin penulis.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!