Kesaksian Ajudan Jenderal Soedirman saat bergerilya di hutan

Irma Mufilikhah

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kesaksian Ajudan Jenderal Soedirman saat bergerilya di hutan
"Bagaimana kami bertahan hidup selama berbulan-bulan bergerilya? Jawabannya adalah mukjizat Tuhan."

JAKARTA, Indonesia — Minggu pagi, pukul 06.00 WIB, 19 Desember  1948, kota Yogyakarta begitu lengang. Jalanan Sepi dari lalu-lalang kendaraan. Para pejabat pemerintahan dan polisi tentara banyak yang sedang libur. 

Hanya segelintir warga yang berjual-beli di pasar Beringharjo. Sejumlah umat Nasrani yang beribadah ke gereja sedikit memecah kesunyian kota. 

Sementara Panglima Besar Jenderal Soedirman terbaring lemah di kamar rumah dinas di Jalan Bintaran Timur 8. Sang istri setia di samping panglima, ditemani sejumlah pengawal dan seorang dokter pribadi, Mayor Suwondo. 

Seketika kota berubah berisik dengan suara letusan dan tembakan dari udara. Kegaduhan itu dianggap biasa oleh para pasukan di Bintaran. Mereka berpikir, itu ulah tentara Indonesia yang sedang berlatih perang di lapangan Maguwo. 

“Inilah hebatnya perang urat syaraf Belanda. Mereka melalui mata-matanya sebelumnya telah memberitahukan akan ada latihan perang-perangan TNI. Kami pun tenang-tenang saja karena berpikir itu teman sendiri sedang latihan,” kata Ajudan II Jenderal Soedirman, Mayor Purnawirawan Abu Arifin, yang kini berusia 97 tahun di kediamannya, Padamara Purbalingga. 

Hingga akhirnya kabar tak mengenakkan itu datang: Komandan Kompi I Kapten Cokropranolo alias Nolly dengan langkah tergesa menghadap panglima. Ia melaporkan ada serangan mendadak dari tentara Belanda. 

Pasukan Belanda sedang bergerak dari lapangan udara Maguwo menuju pusat kota Yogyakarta. Pasukan itu dibelah menjadi dua. Pasukan pertama ditugasi menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M Hatta. Pasukan kedua bertugas menangkap Jenderal Soedirman hidup atau mati. 

Sementara itu, di langit kota, pesawat tempur Cocor Merah milik Belanda terus mondar-mandir menembakkan amunisi ke titik titik sasaran. Sebuah pabrik peniti di Lempuyangan yang dikira markas tentara hancur karena bom. Penduduk panik dan berlarian mencari tempat sembunyi. Suasana kota kacau. 

Kejadian itu membuat amarah panglima meledak. Belanda telah mengkhianati perjanjian genjatan senjata.  Tubuh Dirman yang tak berdaya seperti mendapat kiriman energi. Ia seketika bangkit dan memaksa berdiri. Sang istri menahan tubuh Dirman yang sempoyongan. Belanda jadi sasaran sumpah serapah dalam perbincangan mereka. 

“Pak Dirman langsung dipegang istri. Dokter Suwondo memintanya tenang. Namun pak Dirman tidak bisa tenang karena ia telah mengambil sumpah, akan membela negara sampai titik darah penghabisan,”katanya

Untuk urusan bela negara, Dirman memang tak kenal kompromi. Ia telah mengambil sumpah jabatan untuk melindungi negara sampai mati. Sumpah yang ia tulis lalu ia bacakan sendiri saat pelantikannya sebagai panglima besar. Sementara Presiden Soekarno dan seluruh panglima divisi hanya menyaksikan dan mengamini pembacaan sumpah sakral itu.  

Selama nyawanya masih menempel, meski sakit tak tertahan, Dirman tak gentar menghadapi musuh. Namun Dirman enggan gegabah. Ia menunggu perintah dari panglima tertinggi sebagai wujud ketaatan pada atasan.  

Ajudan II Panglima Besar Jenderal Soedirman Mayor Purnawirawan Abu Arifin membuat museum mini di ruang tamu rumahnya di Purbalingga. FOTO oleh Irma Muflikhah/Rappler

Dirman meminta Ajudan 1 Soepardjo Rustam alias Pardjo untuk menghadap Presiden Soekarno di istana. Pardjo membawa tugas ke istana, melaporkan kegentingan yang terjadi, lalu mengharap presiden segera menurunkan mandat kepada Jenderal Soedirman untuk melawan serangan Belanda. 

Tidak mudah bagi Pardjo mencapai istana meski jaraknya hanya 1 kilometer. Pesawat tempur lalu lalang di langit kota sambil menembakkan amunisi. Bahaya mengintai setiap langkah Pardjo menuju istana. 

Sedikit salah perhitungan, nyawanya bisa melayang.  Saat pesawat melintas, ia sembunyi menghindari tembakan. Pardjo kembali keluar ke jalan saat pesawat itu jauh. 

Sesampai di istana, Pardjo tak bisa masuk menghadap presiden. Ia tertahan di pintu gerbang oleh pengawal istana, teman-temannya sendiri. “Padahal mereka tahu Pardjo itu ajudan panglima. Memang kami diberi doktrin, dalam keadaan genting, satu sama lain bisa saling mencurigai,”katanya.

Hingga beberapa saat kemudian, Pardjo tak kembali ke Bintaran memberi kabar. Sementara Dirman tak sabar. Ia akhirnya meminta anak buahnya, Nolly untuk mengantarnya ke istana. 

Dirman dipapah keluar oleh pengawal menuju mobil dinas berjenis sedan hitam buatan Belanda. Sementara pasukan pengawal menumpang mobil bak terbuka mengiringi mobil pak Dirman menuju istana.  

Lambang panglima pada mobil itu membuat pengawal istana menaruh hormat dan memberikan jalan. Pintu gerbang istana dibuka untuk sang jenderal. 

Meski berhasil memasuki gedung istana, Dirman tak bisa langsung menghadap Soekarno. Presiden sedang menggelar rapat darurat dengan para pembantunya. 

Kedatangan Dirman ke istana cukup mengagetkan. Dalam kondisi sakit parah, Dirman seharusnya dilarang bepergian, apalagi ikut memikirkan kegentingan negara. 

Profesor Asikin, dokter yang belum lama megoperasi paru-paru pak Dirman meluapkan amarahnya kepada Nolly di istana,  anak buah yang dianggap salah karena mengantar panglima ke istana. 

Asikin menyuruh pengawal itu membawa pak Dirman pulang ke rumah untuk kembali beristirahat. “Nolly bilang sama dokter itu, silakan menghadap sendiri ke panglima, saya gak berani. Tapi profesor Asikin juga tidak berani meminta pak Dirman pulang,” katanya.

Di luar, pesawat tempur Belanda semakin membabi buta menjatuhkan amunisi ke jantung kota. Dirman mengutus Nolly kembali ke Bintaran Timur. 

Nolly mendapat dua tugas dari panglima, membakar seluruh dokumen yang ada di rumah agar tak jatuh ke tangan Belanda, lalu membawa istri dan anak Soedirman ke tempat pengungsian pejuang di benteng keraton. 

“Seluruh dokumen, termasuk milik pengawal berupa ijasah hingga tas ransel semua dibakar untuk menghilangkan jejak,” katanya.

Mulai Perang Gerilya

Jenderal Soedirman akhirnya kembali ke Bintaran Timur dan membuat keputusan penting: keluar dari Kota Yogyakarta untuk berperang gerilya. 

Dengan mengendarai mobil dinas, Pak Dirman dikawal satu regu besar pasukan yang menumpang mobil bak terbuka. Mobil itu berjalan beriringan meninggalkan Yogyakarta melalui rute pantai selatan.  Tidak ada bekal terbawa, kecuali senjata. Seluruh perlengkapan telah dibakar. 

Pertama kali mereka beristirahat di Grogol Yogyakarta sambil memetakan rute gerilya. Gunung Wilis Kediri dipilih menjadi tujuan akhir perjalanan mereka. 

Gunung Wilis dinilai strategis karena di tempat itu, panglima setempat telah menyiapkan Markas yang dilengkapi pemancar radio. Fasilitas itu memudahkan panglima untuk mengirimkan komando ke anak buahnya ke penjuru tanah air. 

“Di Grogol Pak Dirman diperiksa kesehatannya oleh dokter Suwondo dan kondisinya masih sama saat waktu di rumah,” katanya.

Dari Grogol Yogyakarta mereka bergerak menuju pantai selatan Parangtritis. Perjalanan mereka tertahan saat menemui muara sungai dekat laut selatan. Tidak ada jembatan untuk menyeberangkan kendaraan di sungai besar itu. Mereka terpaksa meninggalkan kendaraan di tepi sungai. 

Setelah berhasil mendarat, pak Dirman diarak dengan tandu yang dipikul oleh rakyat. Sementara pasukan pengawal mengiring dengan mata yang selalu awas. 

Menurut Abu, tak susah mencarikan tandu bagi pak Dirman jika kendaraan itu mengalami kerusakan. Hampir setiap memasuki desa, rakyat telah menyiapkan tandu baru untuk pak Dirman. 

“Anda tidak bisa bangga bisa menang dengan panglima yang sehat dan perlengkapan lengkap. Tapi panglima kami sakit parah, persenjataan kurang. Tapi kami tetap semangat berjuang,” katanya.

Strategi gerilya memudahkan mereka untuk melakukan serangan mendadak ke musuh, lalu sembunyi ke hutan hingga serangan berikutnya. Tak terhitung,  berapa kali mereka berhadapan dengan serdadu Belanda selama bergerilya. 

Sebagian pasukan pengawal gugur dalam pertempuran. Banyak prajurit yang bertempur di kota menyusul Pak Dirman untuk menambah kekuatan. Rute gerilya tak mengenakkan. Wilayah selatan, melalui Gunung Kidul dikenal daerah rawan kekurangan pangan. 

Asupan gizi mereka bergantung dari warga yang ikhlas mengirim bantuan makanan. Jika tak ada bantuan makanan, mereka memakan buah-buahan yang ditemui di hutan untuk bertahan hidup. 

“Bagaimana kami bertahan hidup selama berbulan-bulan bergerilya? Jawabannya adalah mukjizat Tuhan. Karena kami sering tidak makan, bahkan sampai tiga hari tidak makan. 

Pak Dirman menawarkan ke pasukannya yang tidak kuat agar kembali ke kota. Tapi tidak ada prajurit yang kembali, karena kami seiya sekata dengan panglima sampai mati,” katanya.

Markas komando di puncak gunung Wilis belakangan terendus oleh radar Belanda. Markas itu pun kemudian dibombardir oleh pasukan Belanda hingga hancur. 

Rombongan pasukan Soedirman terdesak turun dan bergerak mendekati markas Kolonel Gatot Soebroto di lereng gunung Lawu. Langkah mereka terhenti di sebuah rumah kosong milik orang Arab. 

Pak Dirman memutuskan istirahat dan melanjutkan perjalanan esok hari. Namun pengawalnya, Nolly punya perhitungan lain. 

Ia usul ke panglima untuk terus melanjutkan perjalanan di malam hari. Nolly menangkap informasi melalui intelijen, beberapa gerbong kereta berisi serdadu Belanda sedang bergerak dari Malang menuju Kediri. Jika memutuskan menginap, pasukan Belanda akan berhasil menyergap. Panglima pun sepakat. 

Rombongan pasukan pak Dirman akhirnya terus bergerak menembus pekat malam, melawan letih dan lapar. Sampai di pinggiran kota, dalam kondisi gelap, mereka susah membedakan mana kawan dan lawan. Rakyat berhamburan mencari suaka dan membaur dengan tentara. 

Mata-mata Belanda pasti sudah berkeliaran dan berupaya menyusup.  Dalam kondisi demikian, pasukan gerilya membuat taktik baru untuk mengelabuhi mata-mata Belanda. 

Mereka merekayasa Jenderal Soedirman palsu. Seorang anggota beragama Katolik dipilih menggantikan posisi pak Dirman karena punya perawakan mirip, tubuh ceking dan tinggi.  

Ia didandani lengkap dengan pakaian yang biasa dikenakan panglima, lalu ditandu pengawal. Pak Dirman sendiri berganti baju dan diturunkan dari tandu. Tugas Nolly menggendong panglimanya yang sakit parah itu dengan berjalan memisah dengan rute yang dilalui pasukan penandu Soedirman palsu. 

Pada akhirnya, mereka akan bertemu di tempat yang sama meski jalan yang dilalui berbeda. 

“Kalau ada yang bertanya, Nolly jawab yang digendong adalah Muhammad, pengungsi yang sedang sakit parah. Jangan sampai ada yang tahu kalau dia kapten dan yang digendong adalah panglima,” katanya.

Saat paling mengerikan adalah ketika pasukan gerilya dikepung oleh tentara Belanda di hutan rotan sekitar Kediri hingga 5 hari 5 malam. Dalam kondisi genting itu, kesehatan pak Dirman semakin menurun. Ia tak lagi bisa digendong karena sakitnya kian parah. 

Pak Dirman butuh asupan makanan untuk memulihkan kekuatannya. Para pejuang juga menahan lapar karena berhari-hari tertawan di hutan. Sementara serdadu Belanda tetap mengepung dan tak memberikan ruang bagi mereka untuk memperoleh bantuan makanan.

Di saat teman-temannya tertahan di dalam hutan, Pardjo memilih ambil risiko. Ia mencoba keluar hutan meski kawasan itu telah dikepung tentara Belanda. Pardjo harus bisa keluar hutan menuju desa terdekat untuk mendapatkan makanan, bagaimanapun caranya. 

Tidak ada benda beharga yang dimiliki pengawal untuk ditukar dengan makanan ke penduduk desa. Pardjo akhirnya mengangkut kemeja usang dan sarung bekas dengan harapan bisa dibarter dengan nasi. 

Ia mencari pos pasukan Belanda yang paling lemah. Dari situ, ia berusaha menyelinap meski maut tetap mengintai. “Boro-boro dapat nasi, rakyat saja susah cari makan. Akhirnya kemeja dan sarung itu ditukar dengan oyek (tiwul),” katanya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!