Polisi tidur: Dibangun demi keamanan, tapi kenyataannya berbeda

Rosa Cindy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Polisi tidur: Dibangun demi keamanan, tapi kenyataannya berbeda
Polisi tidur dibangun demi keamanan dan keselamatan, tapi bagaimana kenyataannya di lapangan?

JAKARTA, Indonesia — Di kota dengan tingkat mobilitas tinggi, kecelakaan lalu lintas hampir tidak mungkin dielakkan. Data Korlantas Polri mencatat ada 105.739 kecelakaan sepanjang 2016. Pada 2017 saja, sudah ada sebanyak 49.734 kecelakaan lalu lintas selama Januari hingga Juni. 

Kecelakaan lalu lintas juga paling banyak melibatkan sepeda motor. Selama enam bulan terakhir, tercatat ada 32.544 kecelakaan sepeda motor. Untuk daerah Jakarta sendiri, terdapat sebanyak 1.355 kecelakaan kendaraan bermotor selama tiga bulan terakhir.

Demi meningkatkan keamanan dan kenyamanan, sejumlah fasilitas jalan pun dibangun. Salah satunya adalah speed bump alias polisi tidur. Pembangunan polisi tidur dilakukan oleh direktur jendral yang ditunjuk oleh pemerintah daerah, sesuai dengan wilayah yang telah ditetapkan, sebagaimana tertulis dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 3 tahun 1994 pasal 36.

Lebih lanjut, pasal 38 menjelaskan bahwa badan usaha atau instansi lainnya diperbolehkan untuk membangun polisi tidur setelah mendapatkan izin resmi dari pejabat atau pemerintah di wilayahnya, yang telah dijelaskan pada pasal 36, dan memenuhi persyaratan teknis.

Pembangunan polisi tidur juga harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pada keputusan ini. Secara teknis, polisi tidur harus memenuhi syarat berbentuk menyerupai trapesium dengan panjang bagian atas maksimal 12 cm, memiliki sisi miring dengan kelandaian 15%, dan lebar mendatar bagian bawah minimal 15 cm.

Selain itu, polisi tidur juga harus dibuat dengan bahan dari badan jalan, karet, atau bahan lain yang berpengaruh serupa. Pemilihan bahan harus memperhatikan keselamatan pengguna jalan.

Sayangnya, pembangunan polisi tidur kerap dilakukan tidak sesuai ketentuan. Selain karena faktor pengendara, seperti belum handal berkendara dan kurang berkonsentrasi, pembangunan yang asal-asalan dapat mengundang korban.

Mereka yang dirugikan

Eka Aprilia (21 tahun), misalnya, nyaris mengalami kecelakaan karena polisi tidur yang baru dibangun di kawasan Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat. Polisi tidur itu dibangun tinggi dan ramping, sehingga memiliki efek mental yang lebih kuat dari biasanya. Kaget, ia sempat kesulitan mengendalikan mobilnya yang terseret beberapa meter. 

Selain diatur secara bentuk, Keputusan Menteri Perhubungan no. KM 3 tahun 1994 pasal 5 juga mengatur peringatan kepada pengendara mengenai keberadaan polisi tidur berupa rambu lalu lintas pada sebelum polisi tidur, dan tanda serong berwarna putih pada polisi tidurnya.

Sayangnya, masih banyak polisi tidur yang tidak ditandai. Alhasil, pengendara kerap tidak awas dengan keberadaannya dan menimbulkan kecelakaan. Apalagi, jika tidak dilengkapi dengan lampu jalan. 

Hal ini terjadi pada Felicia Stefany (21 tahun) pada 2012 lalu. Ia menceritakan bahwa saat itu ia melewati sebuah jalan selebar dua mobil di kawasan Cengkareng saat malam hari. Sayang, jalan itu tidak dilengkapi dengan lampu jalan, sehingga hanya ada cahaya dari lampu motornya. 

Dengan pencahayaan minim, ia melajukan motornya.

“Karena polisi tidur itu baru dan enggak ada warna-warninya, jadi saya enggak tahu, ngegas aja, dan akhirnya motor saya jatuh ke kanan,” kata Felicia. 

“Kondisi motor saya parah, setangnya bengkok, spionnya patah, muka saya luka cukup gede, dan tangan dan kaki luka-luka cukup parah.”

Pembangunan fasilitas memang penting dilakukan. Namun, penjagaan kualitasnya juga perlu dilakukan. Beberapa polisi tidur sudah tampak rusak, seperti pecah atau berlubang. Keadaan ini pun memungkinkan jatuhnya korban. 

Tanto Wibowo (22 tahun) mengaku nyaris menjadi korban kecelakaan karena polisi tidur yang ia lewati, kala itu di daerah Karawaci, Tangerang, rusak. Tepatnya, bagian landai polisi tidur tersebut sudah pecah, sehingga membuat ia yang tengah mengendarai motornya dengan kecepatan sekitar 60 kilometer per jam pun terhentak keras. Beruntung, ia masih dapat mengendalikan motornya, sehingga kecelakaan pun dapat dihindari. Namun, hal ini menjadi berbahaya karena tidak semua orang dapat seberuntung Tanto saat itu.

Bukan cuma kecelakaan tunggal, polisi tidur juga dapat menyebabkan kecelakaan beruntun. Seperti yang dialami Edi Putra (23 tahun). Pada 2009, ia yang kala itu tengah mengendarai motor bersama temannya, melaju pada kecepatan sekitar 60 km/jam. Tiba-tiba, sebuah mobil pick-up di depannya berhenti mendadak. 

Kaget, Edi pun menginjak rem dalam-dalam. Namun, kecelakaan tak lagi bisa dihindari. Meski tidak kencang, motor yang mereka kendarai menabrak mobil tersebut. Baik Edi dan temannya hampir terlempar.

Untungnya keduanya hanya mengalami luka ringan, dan bagian depan motornya lecet.

Usut punya usut, pengemudi mobil pick up tersebut mendadak berhenti karena ada polisi tidur. Pria itu mengaku tidak melihat polisi tidur karena warnanya yang serupa dengan jalan.

Dishub: Warga boleh bangun polisi tidur sendiri

Ketentuan yang berlaku di Indonesia untuk polisi tidur. Foto dari Wikimedia

Menanggapi banyaknya polisi tidur tanpa izin, Kepala Seksi Rekayasa Lalu Lintas Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Agung TH, menyatakan bahwa hingga saat ini, Dinas Perhubungan belum pernah mengeluarkan izin pembangunan polisi tidur.

Meski demikian, Agung menjelaskan bahwa pembangunan polisi tidur yang dilakukan oleh warga di daerah permukiman, dilandaskan pada Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 168 Tahun 2014 Tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga.

Pada pasal 34 ayat 3 poin c, dijelaskan bahwa penyelenggaraan forum musyawarah RT berfungsi untuk membicarakan masalah keuangan atau iuran, keamanan, ketertiban, kebersihan, lingkungan, dan kegiatan masyarakat atau anggota RT.

“Nah, mereka mengambil fungsi keamanan dan ketertibannya saja di situ,” kata Agung mengenai pembangunan polisi tidur tanpa izin Dishub oleh warga.

Forum warga dapat dilakukan per RW, di mana di dalamnya terlibat ketua RT dan warga di RT tersebut. Pada forum inilah, keputusan membangun polisi tidur untuk kepentingan keamanan dan ketertiban warga boleh dilakukan, meskipun tanpa izin dari Dishub. 

Keputusan ini juga didukung oleh Keputusan Kemenhub yang mengizinkan polisi tidur untuk dibangun di kawasan permukiman.

“Polisi tidur yang dibangun warga di lingkungan permukiman itu dasarnya dari itu, Pergub No. 1 tahun 2016 ini. Mereka boleh mengatur, dalam lingkungan mereka, sepanjang warga, beberapa RT dan RW sepakat, ya, silakan saja,” katanya.

Agung juga menjelaskan bahwa Dishub tidak melakukan pengecekan terhadap keberadaan dan bentuk polisi tidur. Diakuinya, ada beberapa alasan.

“Terutama kalau di permukiman, biasanya tinggi polisi tidur itu disesuaikan dengan kebutuhan warga. Kan, umumnya, warga baru berkumpul dan mengadakan forum itu kalau sudah ada kejadian, kecelakaan, atau copet gitu,” katanya.

Selain itu, Agung mengaku Dishub yang hanya memiliki sekitar sepuluh anggota tidak mungkin melakukan pengecekan ribuan polisi tidur di seluruh wilayah Jakarta.

Meski demikian, Dishub melakukan penindakan terhadap laporan-laporan yang disampaikan warga, baik melalui aplikasi Qlue, atau bersurat ke Dishub dan gubernur. Laporan yang ada umumnya justru berisi keluhan mengenai adanya polisi tidur.

“Kayak kemarin ada ibu-ibu bersurat ke Pak Gubernur, minta ada speed trap dibongkar, di depan rumahnya persis, karena kalau ada kendaraan lewat, itu goncangannya kuat, dan akhirnya rumahnya retak-retak. Akhirnya kita bongkar,” ujarnya. 

Penindaklanjutan laporan ini juga dilakukan melalui beberapa tahap. Saat laporan diterima, pihak Dishub akan melakukan survei ke lokasi yang dimaksud bersama dengan pihak pelapor. Jika dirasa perlu, laporan tersebut akan direalisasikan.

Penindaklanjutan juga tidak selalu berupa pembongkaran polisi tidur yang sudah ada, namun bisa berupa pengubahan desain polisi tidur. Misalnya, pemotongan polisi tidur yang terlalu tinggi.

Pengamat: Regulator tidak merasa perlu berikan sosialisasi

Salah satu contoh polisi tidur yang dapat membahayakan keselamatan pengendara. Foto oleh Rosa Cindy/Rappler

Pengamat Transportasi Darmaningtyas menyampaikan bahwa polisi tidur sebenarnya muncul akibat perilaku masyarakat yang tidak tertib berlalu lintas. Misalnya, melajukan kendaraan secara kencang di kawasan permukiman. 

Kecelakaan karena polisi tidur sendiri dapat terjadi karena dua hal. Pertama, dijelaskannya, terjadi karena konstruksi polisi tidur yang tidak sesuai aturan, seperti terlalu tinggi. Selain itu, kecelakaan bisa terjadi karena perilaku masyarakatnya sendiri.

“Sudah tahu ada polisi tidur, tapi tetap ngebut. Nah, itu pasti terjadi kecelakaan,” kata Darmaningtyas. Dalam konteks ini, kecelakaan disebutnya sebagai konsekuensi logis akibat orang tidak disiplin.

Terkait dengan aturan pembangunan polisi tidur, ia mengungkapkan bahwa masyarakat cenderung tidak tahu dan tidak mau tahu mengenai aturan yang ada. Pembangunan yang dilakukan masyarakat hanya didasarkan pada pengalaman empiris.

Sosialisasi mengenai aturan pembangunan polisi tidur ini dapat dilakukan melalui kelurahan atau RT dan RW. Namun, dijelaskan Darmaningtyas, ketiadaan sosialisasi ini menunjukkan bahwa pihak regulator merasa tidak penting untuk disosialisasikan.

“Mereka yang penting sudah membuat. Kalau ditanya, saya sudah membuat. Tapi apakah peraturan itu perlu disosialisasikan pada masyarakat apa tidak, mereka tidak peduli,” ujarnya.

Meski demikian, Darmaningtyas setuju mengenai ketidakmampuan Dishub dalam melakukan pengecekan polisi tidur. Hal ini diakuinya sebagai sebuah konsekuensi atas wilayah DKI Jakarta yang begitu luas.

Garis kejut punya fungsi yang berbeda

Contoh garis kejut di sebuah kawasan perumahan. Foto oleh Rosa Cindy/Rappler

Selain polisi tidur, pita penggaduh alias garis kejut juga menjadi salah satu alat pengurang kecepatan dalam berlalu lintas. Garis ini umumnya dipasang melintang secara berdekatan sebanyak beberapa garis. Sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. 3 tahun 1994 pasal 32 dan 34, garis ini memiliki ketebalan maksimal empat sentimeter.

Namun, masih ada pengguna jalan yang mengeluhkan keberadaan garis-garis ini. Beberapa di antaranya belum mengerti fungsi garis ini, atau menyayangkan konstruksinya yang dianggap dapat membahayakan pengendara kendaraan.

Salah satunya adalah Ridi Fadhilah (20 tahun). Ia mengaku merasakan kerugian dengan adanya garis kejut, apalagi yang terlalu tinggi, sehingga menyulitkan dalam berkendara dan bahkan dapat menyebabkan kecelakaan. Hentakan garis kejut yang terlalu keras juga dapat menyebabkan kerusakan pada kendaraan.

Menanggapi hal tersebut, Darmaningtyas menyatakan bahwa garis kejut memiliki fungsi yang serupa dengan polisi tidur, namun berbeda. Garis kejut lebih difokuskan pada fungsi memperlambat kendaraan saat akan mencapai zebra cross atau tempat-tempat keramaian lainnya.

“Secara teoritik, pita pengejut itu mestinya dibarengi dengan zebra cross. Di depan pita kejut itu ada zebra cross. Pita kejut itu dimaksudkan memaksa pengendara untuk pelan karena di depannya ada zebra cross,” kata Darmaningtyas.

Meski demikian, beberapa garis kejut ditemui berdiri sendiri tanpa disertai zebra cross, maupun sebaliknya. Hal ini menunjukkan adanya malfungsi garis kejut dan keadaan jalan di Jakarta yang masih kurang aman.

“Secara keseluruhan belum berkeselamatan. Karena kalau kita sebagai pengguna jalan kita sangat susah untuk menyeberang jalan. Tidak semua zebra cross garis-garisnya jelas, bahkan di jalan protokol garisnya jelas, tampak,” kata Darmaningtyas. 

“Kedua, tidak semua zebra cross itu disertai dengan pita kejut, sehingga kadang pengendara itu meskipun mau melintasi zebra cross, tetap berjalan kencang. Mestinya begitu mau memasuki zebra cross, kecepatan itu direm sampai 30 kilometer per jam. Mestinya, ya, tapi ini kadang 60 kilometer per jam.” —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!