‘Breathe’: Memperjuangkan sekaligus merayakan kehidupan

Yetta Tondang

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘Breathe’: Memperjuangkan sekaligus merayakan kehidupan
Film yang dibintangi Andrew Garfield dan Claire Foy ini tayang di bioskop jaringan Cinemaxx Theater, CGV Cinemas, dan Flix Cinema mulai Rabu, 22 November

JAKARTA, Indonesia —Tak banyak film asing yang tahun ini cukup menarik perhatian saya. Ada beberapa tapi tak banyak. Salah satu yang masuk ke daftar favorit saya adalah Breathe.

Ceritanya sangat kompleks tapi di saat yang bersamaan juga terkesan sederhana. Karena film ini mengambil cerita nyata yang mungkin jadi lebih mendekatkan penonton dengan kisahnya. Tapi yang saya garis bawahi adalah, film ini dengan baik mengangkat tema yang sederhana namun mengena yakni tentang memperjuangkan sekaligus merayakan kehidupan.

Adalah Jonathan Cavendish, produser film Breathe yang mengangkat kisah hidup Robin Cavendish ke layar lebar. Ia berkolaborasi dengan aktor Andy Serkis yang untuk kali pertama duduk di kursi sutradara untuk film ini. Sebelumnya Andy dikenal sebagai aktor yang memerankan Gollum di The Lord of the Rings.

Nama Jonathan sebenarnya tidak asing di kalangan perfilman karena sebelumnya ia sukses memproduseri beberapa film box office seperti Bridget Jones’s Diary dan Elizabeth: The Golden Age.

Tapi ada yang berbeda di proyek Jonathan kali ini. Mungkin karena kedekatannya dengan cerita nyata tentang sosok ayahnya yang membuat film ini sangat mengena dan personal. Ya, Jonathan adalah anak dari tokoh utama di film ini, Robin Cavendish.

Dari Afrika ke kursi roda

Cerita dibuka dari kisah pertemuan dan diikuti percintaan dua sejoli: Robin Cavendish dan Diana yang jatuh hati pada pandangan pertama dan lantas menikah. Keduanya digambarkan sebagai sosok pasangan ideal yang sukses membuat penonton iri dengan kemesraan mereka. 

Di tahun 50-an, di masa-masa awal pernikahan mereka, Robin memboyong Diana ke Nairobi, Kenya, tempat ia merintis bisnis jual beli teh. Sayang, Robin di masa keemasannya terserang virus polio yang lantas melumpuhkan nyaris seluruh tubuhnya.

Robin hanya bisa bertahan hidup dengan mesin respirator yang “bernapas” untuknya. tubuhnya lumpuh dari leher ke bawah. Robin lantas tak merasa berguna lagi. Bahkan berulang kali ia meminta untuk meninggal. Tapi Diana tak pernah mengizinkannya untuk menyerah. Diana ingin Robin menyaksikan putra mereka, Jonathan, tumbuh besar.

Satu permintaan Robin adalah untuk bisa meninggalkan rumah sakit, yang akhirnya dikabulkan Diana dengan segala cara. Robin mulai tenang menjalani hari-harinya sampai akhirnya ia memiliki ide untuk merancang kursi yang bisa tersambung ke mesin respirator. Untung ada sahabatnya Profesor Teddy Hall (Hugh Bonneville) yang akhirnya mewujudkan mimpinya.

Robin menepis semua diagnosis dokter dan hidup cukup lama dari yang diperkirakan. Bersama banyak sahabat yang mendukungnya, ia aktif memperjuangkan akses bagi penerita cacat karena polio seperti dirinya untuk bisa menikmati “kursi ajaib” yang sama. Semua dilakukannya dengan Diana dan Jonathan di sisinya.

Foto dari Feat Pictures Indonesia

Akting yang memesona

Saya adalah salah satu penikmat film yang cukup menantikan Breathe. Salah satu alasannya adalah karena Claire Foy dan Andrew Garfield. 

Sejak menyaksikan akting Claire di serial The Crown, saya merasa ada sesuatu yang berbeda dengan aktris kelahiran Inggris ini. Begitupun dengan Andrew yang terakhir memukau banyak orang lewat penampilannya di Silence dan Hacksaw Ridge.

Terakhir, Claire dianugerah Piala Emmy dan Golden Globe atas akting briliannya di The Crown. Sementara Andrew meraih nominasi Best Actor di Oscar 2017, meski harus takluk pada Casey Affleck.

Jadi tentu saja, duet dua aktor dan aktris ini sangat menjanjikan di film Breathe. Dan ekspektasi saya terpenuhi dengan manis. Sejak awal kemunculannya, akting Claire Foy di film ini jauh dari mengecewakan. Dengan sorot mata yang tajam dan gerak tubuh yang nyaris sempurna, Claire menunjukkan kelas yang berbeda.

Foto dari Feat Pictures Indonesia

Sementara Andrew, yang perannya sebagai Robin Cavendish yang menderita lumpuh, nyaris hanya berakting dengan mengandalkan bagian leher ke atas. Tapi dengan itu saja, aktingnya sungguh memukau. Permainan gerak mata dan ekspresi jadi kekuatannya.

Cerita yang mengena

Seperti judul artikel ini, saya percaya bahwa kekuatan film ini (selain akting para pemerannya tentunya) ada di cerita. Bagaimana seseorang dengan segala kekurangannya berhasil memperjuangkan kehidupan yang memang jadi haknya. Bukan hanya berjuang tapi juga memilih untuk menikmati hidup dengan apa adanya.

Bumbu cerita cinta dan romansanya pun terasa pas. Tak kurang tapi tak berlebihan. karena cintalah, Robin dan Diana bisa menjalani kehidupan mereka dengan bahagia. Karena cinta pula, Teddy Hall berjuang siang malam menciptakan kursi roda khusus untuk Robin. Dan karena cinta pula, Jonathan bisa mempersembahkan film ini untuk ayahnya.

Foto dari Feat Pictures Indonesia

Tak cuma memperjuangkan kehidupan, film ini mengajak penonton untuk tak lupa merayakan kehidupan, seperti apapun susahnya. Andrew dan Claire sukses menyampaikan pesan itu lewat akting mereka. 

Rasa-rasanya tak sulit bagi Breathe dan Claire serta Andrew untuk dicalonkan sebagai salah satu nominator Piala Oscar tahun ini. Tidak percaya? Buktikan sendiri karena film Breathe sudah bisa disaksikan di bioskop Cinemaxx Theater, CGV Cinemas, dan Flix Cinema mulai Rabu, 22 November 2017. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!