Memahami ‘Night Bus’ sebagai sebuah fiksi adaptasi dari konflik Aceh

Habil Razali

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Memahami ‘Night Bus’ sebagai sebuah fiksi adaptasi dari konflik Aceh
Teuku Rifnu Wikana, produser sekaligus aktor dalam film ini mengatakan kisah mencekam perjalanan bus tersebut ialah kisah nyata dirinya

BANDA ACEH, Indonesia —Film Night Bus sudah dirilis pada April 2017 lalu. Pemenang nominasi film terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2017 ini, disutradarai oleh Emil Heradi dan diproduseri Teuku Rifnu Wikana dan Darius Sinathrya.

(BACA JUGA: ‘Night Bus’: Perjalanan mencekam hingga ke Sampar)

Pada Sabtu malam, 9 Desember 2017 lalu, film ini satu dari sejumlah film yang diputar di Aceh Film Festival (AFF) 2017 di Gedung Taman Budaya Banda Aceh. Malam itu, turut hadir sang sutradara dan kedua produser.

Teuku Rifnu Wikana, produser sekaligus aktor dalam film ini mengatakan kisah mencekam perjalanan bus tersebut ialah kisah nyata dirinya. Pria asal Susoh, Aceh Barat Daya, Aceh ini mengaku mengalaminya pada tahun 2001 saat konflik terjadi di Aceh. Ia berangkat dari Medan, Sumatera Utara menuju Aceh.

Rifnu menjelaskan ketika itu ia masih kuliah di Institut Teknologi Medan (ITM) dan hendak pulang ke rumah keluarganya yang tinggal di Merduati, Banda Aceh.

“Saya tidak pernah menyangka sih, di tengah perjalanan bus yang saya tumpangi berhenti karena ada kontak senjata,” kata Rifnu Wikana saat berbincang dengan Rappler, Sabtu malam. “Saya mendengar suara, tet, tet, tet,!”

Kemudian dari hal yang dialaminya itu, Rifnu menuliskan sebuah cerita pendek (cerpen) berjudul Selamat. Lalu barulah cerpen tersebut didedikasikan dalam bentuk film. Ketika diadaptasi menjadi fiksi, nama kota dan yang lainnya berubah juga dengan nama fiksi.

“Supaya dapat diterima oleh seluruh masyarakat di Indonesia, bahwa konflik itu tidak pernah memilih siapa korbannya,” katanya. “Siapa saja bisa terjerumus karena konflik.”

Terinspirasi konflik Aceh 

Film Night Bus, kata Rifnu Wikana, melewati proses yang panjang sekali. Kisah menegangkan yang ia alami itu ditulis dalam cerpen, baru diadaptasi ke skenario film. 

“Inspirasi awalnya memang benar dari Aceh. Kami sangat berterima kasih ke Aceh atas inspirasi yang muncul,” kata pria yang kini menetap di Jakarta ini.

Konflik Aceh yang berlangsung selama 29 tahun (1976-2005) telah menewaskan sebanyak 15.000 lebih warga. Konflik bersenjata ini muncul saat Teungku Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di pedalamanan Kabupaten Pidie, pada 4 Desember 1976. Tuntutan utamanya, Aceh ingin merdeka dari Indonesia.

Perang berdarah dan menewaskan ribuan warga ini berakhir di meja perundingan di Kota Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Saat itu, Aceh baru saja dilanda bencana Tsunami di penghujung 2004. Kesepakatan damai dipercepat agar bantuan kemanusian mudah disalurkan ke Aceh.

Dari perundingan damai itu, lahirlah sebuah perjanjian bernama MoU Helsinki yang ditanda-tangani oleh pihak yang bertikai: GAM dan Republik Indonesia. Oleh karena itu pula, Aceh kini memiliki sejumlah kewenangan sendiri untuk mengatur tata kelola pemerintahannya. 

Muhammad (30) seorang warga Aceh mengaku Night Bus seperti memutarkan kembali memori lukanya. Alur yang terjadi dalam film sepanjang 135 menit itu hampir seluruhnya sama seperti yang ia alami.

“Saat konflik terjadi, saya beberapa kali kena pukulan dari aparat saat dilakukan razia. Di satu sisi saya juga sering menerima ancaman dari pihak GAM,” katanya.

Muhammad kini sepenuhnya telah melupakan tragedi luka itu. Namun, rasa trauma yang dia alami tidak mudah untuk dihilangkan. “Seharusnya, lebih banyak lagi dibuatkan film seperti ini. Ini akan mempertegas bahwa konflik bukanlah jalan mengatasi sebuah masalah,” katanya. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!