Koruptor Indonesia: Sarjana produk penjara

Tama S. Langkun

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sekurangnya 23 narapidana korupsi mengikuti program S2 (Magister) di Penjara Sukamiskin, Bandung.

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng adalah salah satu narapidana korupsi yang membunuh waktu dengan menulis dari dalam sel. Foto oleh EPA

Enak benar hidup koruptor di Indonesia. Vonis hukuman dari pengadilan rata-rata ringan, berulang mendapat diskon hukuman atau remisi, kalau mujur diberi fasilitas pembebasan bersyarat menjelang akhir masa tahanan. Tidak sampai di situ, ternyata koruptor di Indonesia masih bisa mengejar gelar akademik magister dengan mengikuti program dari dalam penjara. (BACA: 2014, tahun koruptor divonis ringan) 

Belum lama ini, publik diramaikan berita pemberian fasilitas pendidikan di dalam penjara. Sekurangnya 23 narapidana korupsi mengikuti program S2 (Magister) di Penjara Sukamiskin, Bandung. Walau mendapat pendidikan merupakan hak semua warga, tapi mereka sedang menjalani hukuman. Bolehkah ‘mahasiswa’ mengejar gelar dari dalam penjara? 

Memang dalam Undang–undang No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan, para narapidana berhak mendapatkan pendidikan. Akan tetapi pendidikan yang dimaksud adalah penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.  

Jelas dalam aturan tersebut, pendidikan yang bisa didapat oleh narapidana tidak berbentuk formal seperti program S2 yang sekarang tengah diikuti sejumlah narapidana di LP Sukamiskin. 

Kendala teknis  

Mendapatkan gelar S2 tidak semudah mendapatkan ijasah SD, SMP atau SMA. Ada sejumlah proses yang tidak bisa dikerjakan hanya dari belakang meja. Saya membayangkan seperti masa kuliah dulu. Harus “mondar–mandir” ke perpustakaan. Harus “bolak–balik” mewawancarai narasumber. Harus keluar masuk instansi untuk melengkapi lampiran.  

Belum lagi, prosedur mendapatkan gelar yang harus sesuai dengan kurikulum. Hampir mustahil rasanya, menyelesaikan program magister di balik jeruji besi. 

Layaknya melakukan penelitian, peneliti akan membutuhkan akses informasi yang luas. Misalnya, memperoleh sejumlah literatur, melakukan wawancara, dan melakukan studi lapangan. Tak boleh dilupakan, yang terpenting adalah, para koruptor akan membutuhkan teknologi seperti laptop dan akses Internet.  

Kemudian pertanyaan baru akan timbul: Apakah menggunakan laptop dan Internet dalam lapas diperbolehkan? Jangankan membawa laptop, membawa pakaian lebih dari 6 pasang saja ada larangannya.  

Lebih jelasnya bisa dibaca dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 6/2013. Ada larangan tegas menggunakan laptop. Tepatnya ada pada pasal 4. Bunyinya seperti ini, “Narapidana atau tahanan dilarang memiliki, membawa dan/atau menggunakan alat elektronik, seperti laptop atau komputer, kamera, alat perekam, telepon genggam, pager, dan sejenisnya.”  

Koruptor jangan dimanjakan

Napi koruptor mantan pegawai pajak Gayus Tambunan masih bisa berkeliaran meski mendekap di dalam sel penjara. Foto oleh AFP

Masih ingat koruptor kawakan Gayus Tambunan? Dalam statusnya sebagai tahanan pengadilan, dia pernah tertangkap kamera sedang menonton turnamen tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions di Nusa Dua, Bali. Asyik? Tentu saja. Bagi koruptor, tahanan bukan hal yang menakutkan sepanjang masih memiliki kekuatan uang. 

Bayangkan saja, rumah tahanan (rutan) Brimob yang dijaga ketat oleh petugas masih bisa disiasati oleh Gayus. Saya membayangkan, jika program Magister dilanjutkan, maka celah akan semakin terbuka. Kebutuhan mencari literatur, wawancara, dan hal lain yang saya bahas sebelumnya, bisa menjadi celah baru bagi narapidana untuk keluar masuk sel. 

Pada sisi yang lain, pemberian kemudahan menjalani program magister ini seolah-olah mencederai rasa keadilan. Para pelaku kejahatan berjenis kejahatan luar biasa sepertinya mendapatkan perlakuan istimewa dari negara. Jika para narapidana kasus pencurian dan maling masih terbatas aksesnya untuk mendapatkan pendidikan dasar, maka larangan menyelenggarakan program magister bagi narapidana korupsi adalah suatu kewajiban. 

Layak untuk diingat, perbuatan korupsi dikenal juga dengan istilah white collar crime, yaitu kejahatan yang dilakukan orang-orang berpendidikan dan memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat. Masih pantaskah penjahat-penjahat berpendidikan ini diberikan pendidikan lebih? Oh, come on, masalah mereka bukan kekurangan pendidikan, tapi perilaku tamak dan mental yang sudah rusak.   

Jalan keluar 

Perkembangan terbaru dalam pemberitaan, Menteri Hukum dan HAM yang baru, Yasona Laoly, melarang sementara program S2 yang sudah berjalan. Namun apakah cukup hanya dengan melarang lewat pemberitaan?  

Jika memang Menteri Hukum dan HAM serius, segera batalkan kesepakatan dan buat surat edaran yang isinya larang pelaksanaan program Magister bagi narapidana, sehingga fenomena yang terjadi di Lapas Sukamiskin tidak terulang, dan universitas bisa berhenti melakukan komersialisasi pendidikan terhadap narapidana di Indonesia. —Rappler.com 

Tama S. Langkun adalah Koordinator Divisi Investigasi dan Publikasi Indonesia Corruption Watch (ICW). Follow Twitter-nya @TamaSLangkun

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!