Pengamat: Menyikapi politik dinasti, yang penting meritokrasi

Haryo Wisanggeni

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pengamat: Menyikapi politik dinasti, yang penting meritokrasi

AFP

Salahkah politik dinasti? Perlukah praktik ini dicegah dan dibatasi?
JAKARTA, Indonesia — Sejumlah kerabat dari mantan Gubernur Banten yang telah diberhentikan karena terjerat kasus korupsi, Ratu Atut Chosiyah, ikut meramaikan bursa bakal pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2015. 

Ada Ratu Tatu Chasanah, adik Ratu Atut yang akan maju sebagai calon bupati di Kabupaten Serang.

Di Kota Tangerang Selatan, adik ipar Atut, Airin Rachmi Diany, juga melakukan hal yang sama. Sedangkan sang menantu yang merupakan suami dari putri kedua Atut, Tanto Warsono Arban, akan maju di Kabupaten Pandenglang. 

Situasi ini kembali memicu perdebatan tentang langgengnya “politik dinasti” di Provinsi Banten


Sebenarnya, salahkah politik dinasti? 

Pengamat Poltracking Institute Hanta Yuda berpendapat bahwa lepas dari latar belakang bakal pasangan calon, yang terpenting adalah penerapan asas meritokrasi dalam proses pemilihan, baik oleh partai maupun masyarakat.

“Saya kira yang terpenting adalah dalam rekrutmen dan seleksi oleh partai politik maupun ketika nanti masyarakat memilih, yang dijadikan dasar adalah meritokrasi,” kata Hanta kepada Rappler, Kamis, 30 Juli.

“Jadi apakah calon memiliki kinerja, kompetensi, dan integritas yang baik. Kalau calon tertentu ternyata masih kerabat, tapi dia capable dan memiliki track record yang baik, ya enggak masalah,” ujarnya. 

Namun, Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini tak sepakat dengan Hanta. Menurut Titi, langgengnya politik dinasti di berbagai wilayah, termasuk Banten dalam peta politik tanah air, harus dicegah dan dibatasi. 

“Perlu dicegah konflik kepentingan yang dalam pengalaman empirik di Indonesia banyak terjadi ketika pencalonan kerabat petahana. Mulai dari penyalahgunaan wewenang, politisasi birokrasi sampai intimidasi,” kata Titi.

Batasi politik dinasti inkonstitusional

Harapan untuk membatasi tumbuh dan berkembangnya politik dinasti secara legal sempat hadir saat Undang-Undang No. 8 tahun 2015 lahir dan merevisi sejumlah aturan dalam UU No. 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi undang-undang.

Dalam pasal 7 huruf r disebutkan bahwa calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Di bagian penjelasan dielaborasi bahwa yang dimaksud dengan konflik kepentingan adalah “tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak dan menantu kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan”

Belakangan melalui proses judicial review, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa aturan tersebut inkonstitusional. Titi menyayangkan langkah MK ini.

“Dalam pandangan saya, MK terlalu fokus pada hak kerabat warga negara untuk duduk di pemerintahan sesuai dengan pasal 27 UUD 45. MK mengabaikan mandat lain yaitu pasal 18 ayat 4 UUD 45 bahwa warga negara berhak atas pilkada yang demokratis,” kata Titi.

Tak harus dengan undang-undang

Akademisi Departemen Ilmu Politik Northwestern University yang telah relatif lama meneliti tentang politik dinasti di Indonesia, Yoes Kenawas, punya pendapat sendiri tentang isu ini.

Menurut Yoes, mengelola dampak negatif dari politik dinasti tak mesti dilakukan dalam kerangka legal.

Berbagai kritik untuk politik dinasti saya lihat terlalu menekankan pada dampak buruknya. Implikasinya, mereka berpikir bahwa memutus mata rantai dinasti politik harus melalui undang-undang yang membatasi hak dasar politik,” kata Yoes.

“Yang harus kita lihat adalah persoalan lemahnya pengawasan pemilu, penegakan hukum, dan buruknya institutionalisasi partai politik. Resep kebijakan di masa depan harus menyasar tiga hal ini,” ujarnya. Rappler.com

Baca juga: Solusi untuk mencegah politik dinasti 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!