Pengamat: Pasal penghinaan presiden boleh ada, asal delik aduan

Haryo Wisanggeni, Miryam Joseph Santolakis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pengamat: Pasal penghinaan presiden boleh ada, asal delik aduan

EPA

Pasal karet ini pernah dibatalkan oleh MK pada 2006 karena tak jelas batasannya.

JAKARTA, Indonesia — Belakangan ini kembali mengemuka polemik untuk menghidupkan kembali pasal “penghinaan presiden dan wakil presiden” dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

Hal ini pun menjadi kontroversi. Asal deliknya aduan, tak masalah jika pasal “penghinaan presiden dan wakil presiden” dihidupkan kembali. Demikian pendapat aktivis dan pengamat hukum Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Dio Ashar.

“Tidak ada masalah peraturan itu ada, selama deliknya aduan,” kata Dio, Selasa, 4 Agustus.

Delik aduan mengandung arti perkara dalam peraturan terkait nantinya hanya dapat diproses oleh yang berwajib jika ada pihak yang mengajukan laporan. 

Menurut Dio, dalam konteks pasal “penghinaan presiden dan wakil presiden”, suatu pihak baru dapat diproses secara hukum dengan pasal ini ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo atau Wakil Presiden Jusuf Kalla melaporkan yang bersangkutan dengan tuduhan penghinaan ke kepolisian.

Masih ingat dengan kasus tukang tusuk sate yang membuat gambar tak senonoh dengan foto Jokowi

Jika pasal ini berlaku, maka si pelaku tak akan diproses dengan pasal penghinaan terhadap presiden, kecuali Jokowi melaporkannya ke yang berwajib karena merasa terhina.

Lebih jauh Dio memaparkan bahwa yang harus dikawal justru hukuman dalam pasal ini ketika nantinya benar-benar berlaku, jangan sampai terlalu berat. 

“Kita (gerakan masyarakat sipil) inginnya untuk penghinaan atau yang semacam ini, hukuman pidananya pidana ringan atau hukuman denda,” ujarnya.

Tak sama dengan yang dicabut MK, memang berdelik aduan

Pasal “penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden” ini sebelumnya diusulkan oleh pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kebijakan ini dinilai DPR sebagai langkah mundur.

Pasalnya, aturan sejenis dalam KUHP yang saat ini berlaku sudah tak lagi memiliki kekuatan hukum tetap pasca dicabut oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang terbit pada 6 Desember 2006.

“Usulan pemerintah memasukkan pasal penghinaan Presiden ke dalam RUU KUHP merupakan kemunduran hukum di Indonesia,” ujar Wakil Ketua DPR Fadli Zon kepada Rappler, Selasa 4 Agustus 2015.

“Sebab pasal karet itu sudah pernah dibatalkan MK tahun 2006, karena tak jelas batasannya dan justru malah menimbulkan ketidakpastian hukum,” kata politisi Partai Gerindra ini.

Merespon polemik yang berkembang, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menegaskan bahwa pasal penghinaan dalam RUU KUHP yang saat ini tengah dibahas berbeda dengan yang telah dicabut oleh MK.

“Intinya, penghinaan kepada presiden merupakan delik aduan, bukan lagi delik umum yang langsung dapat diproses kepolisian,” ujar Yasonna kepada media

Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!