281 buruh migran terancam hukuman mati

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

281 buruh migran terancam hukuman mati
Pemerintah diminta lebih proaktif dan tidak hanya menunggu pemberitahuan dari negara yang bersangkutan

 

JAKARTA, Indonesia—Sebanyak 59 buruh migran sedang menunggu jadwal eksekusi, sedangkan 219 lainnya terancam dihukum mati.

Menurut Migrant Care, kurangnya deteksi dini dari pemerintah dan minimnya pemberitahuan dari negara bersangkutan, membuat kasus yang menimpa tenaga kerja asal Indonesia terlambat ditangani. 

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, buruh migran yang terancam hukuman mati paling banyak bekerja di Malaysia. Di negeri Jiran itu ada 212 buruh migran yang terancam hukuman mati, 3 diantaranya sudah divonis tetap.  

“Kalau di Malaysia lebih banyak kasus narkoba, ada juga pembunuhan, tapi mayoritas kasus narkoba,” kata Anis pada Rappler, Sabtu, 10 Oktober. Narkoba adalah narkotika dan obat-obatan terlarang. 

Kata Anis, buruh migran yang menjadi terpidana narkoba di Malaysia awalnya direkrut, kemudian diminta majikan untuk membawa barang. Belakangan diketahui barang yang dibawa berisi narkoba. 

Berdasar temuan ini, Anis melihat ada pertemuan antara sindikat narkoba dan perdagangan manusia. Ia melihat modus yang sama di Tiongkok. 

Anis mencontohkan kasus kasus Dwi Wulandari, warga Indonesia. Wulandari tertangkap di Terminal Satu Bandara Internasional Ninoy Aquino, Filipina, 30 September 2012, karena ketahuan membawa 8 kilogram kokain.

Sedangkan, di Arab Saudi, kata Anis, lebih banyak didominasi kasus pembunuhan. “Kebanyakan mereka terpaksa membunuh majikannya karena akan diperkosa,” katanya. 

Anis bertutur, saat memberikan kesaksian, buruh migran malah dituduh memalsukan keterangan saksi, sehingga terancam dihukum mati. Di Tiongkok, ada sembilan buruh migran yang sudah divonis tetap, dan 18 yang masih dalam proses hukum. 

Sisanya di Iran, Uni Emirat Arab, Qatar, Taiwan, dan Singapura, masing-masing ada satu buruh migran yang terancam hukuman mati. 

Terlambat ditangani 

Temuan lain yang diungkap Anis adalah lambannya penanganan kasus yang menjerat buruh migran oleh pemerintah.  

Anis mengaperasi pemerintah Singapura yang memberikan informasi terkait kasus yang menjerat buruh migran. Namun di beberapa negara, seperti Arab Saudi dan Malaysia, kasus yang menimpa buruh migran tersebut baru diketahui setelah masuk banding.  

“Ada yang ketahuan sudah vonis di mahkamah rendah, mahkamah rayuan, sehingga baru didampingi. Kalau sudah diproses di tengah seperti itu agak sulit penanganannya,” katanya. 

Di Arab Saudi, kasusnya lebih pelik. “Jangankan diumumkan, dieksekusi saja kita tidak dikasih tahu,” katanya. 

Belum lagi kendala bahasa yang harus dihadapi oleh para migran. Hampir dalam semua kasus buruh ini, tidak ada pendampingan dan fasilitas penerjemah. 

Apa yang bisa dilakukan pemerintah? 

Menurut Anis, pemerintah sebaiknya melakukan evaluasi terhadap penanganan kasus buruh migran di Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Tenaga Kerja. “Mana yang harus diperbaiki, mana yang harus diperkuat,” kata Anis. 

Misal pemerintah lebih proaktif dengan melakukan kunjungan ke penjara-penjara. “Sehingga tidak perlu menunggu pemberitahuan dari negara yang bersangkutan,” katanya. 

Ia juga merekomendasikan agar ada standard operating procedure (SOP) di kementerian. “Bagaimana mendampingi buruh migran secara intensif menghadapi proses hukumnya, termasuk pengacara mana yang harus ditunjuk,” katanya. 

Dan yang paling penting, kata Anis, pemerintah harus transparan pada keluarga serta publik. “Sehingga kita tahu mana yang bisa dikawal secara ekstra,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!