Pemred Lentera Bima Satria tak ingin jadi tentara seperti ayahnya

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pemred Lentera Bima Satria tak ingin jadi tentara seperti ayahnya
Berasal dari lingkungan tentara, Pemimpin Redaksi Majalah Lentera tidak ingin mengikuti jejak ayahnya

JAKARTA, Indonesia — Lahir dari keluarga pensiunan tentara, Bima Satria Putra mengaku tak menyangka ia akan mendalami kegiatan tulis menulis, bukannya mengikuti jejah ayahnya. 

Sejak dari awal, pemimpin redaksi Majalah Lentera ini memang tak berniat menjadi tentara, tapi sutradara. Ia mengaku terinspirasi dari film-film seperti A Beautiful Mind, The Philosopher, The Theory of Everything, dan Soe Hok Gie.

Maka ia memutuskan merantau, pergi dari kampung halamannya di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. 

Bima kemudian menimba ilmu di program studi ilmu komunikasi jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Sosial & Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), di mana ia menerbitkan Majalah Lentera yang menjadi sumber kontroversi belum lama ini.

Namun, UKSW pun bukan universitas idamannya.

“Aku dulu daftar di ISI (Institute Seni Indonesia) Yogyakarta, tapi ditolak. Daftar sampai tiga kali. Habis itu nangis,” kata Bima tertawa renyah saat ditemui Rappler di sela diskusi publik “Menguak Tabir di Balik Pembredelan Majalah Lentera” di Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu, 25 Oktober. 

Bima mengaku masih memendam mimpi menjadi sutradara dan memutuskan untuk mengambil studi penyiaran, yang tak jauh dari film.

Ia pun aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) film. Di saat yang sama, ia juga masuk UKM Lentera. 

“Tapi aku merasa enggak sreg saja (dengan UKM Film). Akhirnya aku pilih aktif di jurnalistik. Dan aku pilih Lentera,” katanya. 

Mencuri ilmu

Pilihan terhadap UKM Majalah Lentera ini adalah awal dari perjalanannya menjadi seorang jurnalis kampus. Di saat yang sama, ia juga bergabung dengan UKM jurnalistik Scientiarum di tingkat universitas.  

Tapi ternyata tak mudah bagi Bima untuk menjadi seorang jurnalis. “Jadi dulu itu aku nulis delapan berita dan enggak ada satu pun yang terbit. Karena enggak layak terbit,” akunya. 

Seniornya di Scientiarum menggemblengnya dengan mengatakan bahwa tak ada ampun untuk tulisan yang tak layak muat. “Mereka menerapkan hukum control-alt-delete,” katanya. 

Diam-diam Bima mempelajari cara Scientiarum memproduksi berita. “Habis itu aku tinggalin,” katanya sambil terkekeh. 

Screenshot dari Majalah Lentera yang dibredel aparat

Ia membawa semua ilmu yang didapatnya ke Lentera, dan mulai membangun ruang redaksi sendiri. “Aku terapin ke Lentera soal mekanisme beritanya dan struktur organisasinya agar lebih rapi,” katanya. 

Personel Lentera saat itu baru tiga orang saja, termasuk Bima yang magang menjadi staf redaksi. Pada tahun kedua Lentera sudah mulai mapan, mereka mulai menerbitkan dua edisi.  

“Tahun kedua saya menjadi staf cetak yang mengurus tata letak dan penerbitan. Layouter gitu lho,” katanya.

Tahun ketiga, ia kemudian dipercaya jadi pemimpin redaksi. 

Sejak awal sudah diprotes 

Tulisan pertama Bima di Lentera akhirnya terbit. Ia mengangkat tentang ketua angkatan di program studi Fikom tahun 2013. Formatnya bukan berita, melainkan opini.

“Pertama terbit langsung dipermasalahkan. Beberapa orang merasa tersinggung,” ujarnya.  

Edisi pertama Lentera kemudian terbit. Temanya adalah seorang dosen yang dianggap menjadi panutan, yakni John Radius Lahade.  

Edisi kedua soal pers mahasiswa di kampusnya, semacam dokumentasi sejarah.  

Lalu datanglah ide menggarap “Salatiga Kota Merah” untuk edisi ketiga. “Saya awalnya berprasangka baik terhadap rezim ini,” kata pria yang hobi membaca puisi ini.

Ia memperkirakan isi majalah mungkin akan menjadi perdebatan, antara yang pro dan kontra. Ia tak membayangkan majalah tersebut akan ditarik, apalagi dibakar.

“Ternyata, sampai penarikan majalah,” katanya. 

Pembredelan itu nyata

Ia kemudian dihubungi oleh salah satu dosennya, Daru Purnomo. “Bima, datang ke kampus jam 8 malam ini ya,” katanya menirukan sang dosen. 

Dalam pertemuan yang dihadiri jajaran rektorat itu pun, Bima mendapat penjelasan bahwa isi majalahnya telah meresahkan kalangan luas di Salatiga.

Wali Kota Salatiga, Kepala Polisi Resor, Komandan Kodim, hingga Ketua DPRD kompak menyampaikan keberatan atas peredaran majalah itu. 

“Majalah itu, menurut mereka bikin resah warga Salatiga,” katanya. 

Kata sang dosen, demi kebaikan Lentera, majalah itu harus ditarik. Ia langsung mengiyakan. 

“Perlu diperjelas ya, bahwa ada tiga pertemuan, dengan rektor, polisi dan dekan. Yang ketemu rektor itu mereka minta majalah yang di luar kampus ditarik ke dalam. Yang pertemuan dengan polisi, mereka minta majalah dibakar, dan yang pertemuan dengan dekanat, mereka minta majalah yang sudah terbeli untuk dikembalikan,” katanya.  

Bahkan dekanat berjanji akan mengganti biaya produksi. 

Tak hanya sampai di situ, Bima mendapat laporan bahwa koleganya mulai merasa dibuntuti oleh seseorang. 

Hingga saat ini, kasus pembredelan tersebut masih ditangani oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan komunitas yang peduli pada isu tersebut, termasuk lembaga swadaya masyarakat. 

‘Aku ingin jadi birokrat’

Setelah kejadian tersebut, Bima yang mengaku memuja penyair Eka Budianta, aktivis Widji Thukul, dan Ryūnosuke Akutagawa itu mengaku malah ingin jadi birokrat.  

“Ingin jadi jurnalis, tapi juga dosen. Habis itu jadi birokrat,” katanya.

Kenapa birokrat? “Karena saya aktif di gerakan mahasiswa, tapi di tingkat akar rumput. Dan saya merasa tidak bisa mengubah secara signifikan. Sedangkan birokrat, mereka punya posisi strategis untuk melakukan perubahan,” katanya.  

Tapi ia ingin menjadi birokrat yang tetap mengagumi karya-karya jurnalistik seperti tulisan aktivis hak asasi manusia Andreas Harsono dan peduli terhadap isu lingkungan. 

“Untuk saat ini, hidup saya ini kontradiksi. Soalnya bapak saya tentara, Pak De saya polisi, dan ia menanam sawit. Dan saya kuliah dari uang sawit. Padahal saya benci sawit,” katanya. 

Ia berharap suatu hari ia bisa mandiri, mewujudkan cita-citanya, agar tak lagi bergantung pada orangtuanya ataupun pada sawit. Dan menjadi birokrat idaman akar rumput. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!