Jangan takuti masyarakat yang kritik pejabat dengan pasal ‘hate speech’

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jangan takuti masyarakat yang kritik pejabat dengan pasal ‘hate speech’

GATTA DEWABRATA

Tafsir pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan dinilai bersifat karet. Apabila tidak dipahami bisa berpotensi menjadi alat mempidana masyarakat

 

JAKARTA, Indonesia—Aliansi Jurnalis Independen angkat bicara ihwal penerbitan surat edaran nomor SE/6/X/2015 tentang hate speech atau penanganan ujaran kebencian oleh Kepala Polri RI Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober lalu. AJI meminta Kepolisian RI memastikan kritik kepada pejabat dan lembaga publik tidak masuk dalam ujaran kebencian. 

“Memasukkan kritik ke unsur pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan ke ujaran kebencian berpotensi menghambat kebebasan berpendapat,” kata Ketua Umum AJI Suwarjono dalam rilis yang diterima Rappler, Kamis, 5 November. 

Tafsir pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan dinilai bersifat karet. Apabila tidak dipahami aparat kepolisian bisa berpotensi menjadi pintu masuk untuk mempidanakan kelompok masyarakat yang kritis. 

“Termasuk mempidanakan jurnalis atau media. Ini bahaya. Bila kebebasan berpendapat terbelenggu, ini ancaman serius bagi kebebasan pers,” kata dia.

Dalam surat edaran tersebut tercantum tujuh bentuk ujaran kebencian, yaitu penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong yang bertujuan menyulut kebencian di kalangan individu atau kelompok masyarakat. 

AJI menilai surat edaran penanganan ujaran kebencian telah mengaburkan batasan universal tentang ujaran kebencian. 

Penindakan hukum terhadap para penyebar ujaran kebencian seharusnya dilakukan tanpa melanggar hak warga negara untuk berekspresi, sebagaimana dijamin Undang-undang Dasar 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta Konvenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Republik Indonesia.

Suwarjono menegaskan, penghasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan karena perbedaan agama atau ras (hate speech) yang harus dilarang oleh hukum. 

“Jangan dibalik atau campur-aduk dengan perbedaan pendapat, sikap kritis masyarakat,” kata Suwarjono. 

Mengatur ujaran kebencian harus dilakukan tanpa melanggar hak warga negara untuk berekspresi, sebagaimana dijamin Undang-undang Dasar 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta Konvenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Republik Indonesia.  

“Kami menunggu konsistensi Polri dalam menindak penyebar ujaran kebencian yang marak dilakukan kelompok intoleran. Kami menyayangkan Polri justru abai terhadap berbagai ujaran kebencian (hate speech) bahkan ancaman kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikal,” kata dia. 

“Kami kuatir, Surat Edaran Kepala Polri lebih didasari kepentingan politik, untuk membungkam kritik terhadap penyelenggara negara dan lembaga negara,” ujar dia. 

Jaminan kebebasan berkespresi

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Iman D Nugroho, meminta Polri menerapkan batasan pengertian universal tentang tindakan ujaran kebencian, demi memastikan tidak terjadinya kriminalisasi kritik terhadap penyelenggara kekuasaan dan lembaga negara. 

“Batasan pengertian yang paling obyektif adalah penggunaan hak berekspresi yang telah diatur oleh Konvenan Hak Sipil dan Politik. Ujaran kebencian adalah ujaran yang menistakan atau merendahkan martabat seseorang karena latar belakang agama, suku, dan ras. Ancaman dan anjuran kekerasan berlatar belakang agama, suku, dan ras juga harus ditindak tegas, karena kebebasan berekpresi tidak boleh disalahgunakan untuk menghancurkan kebebasan hak asasi orang yang lain.” 

“Kami menuntut Polri hanya menggunakan ukuran baku Konvenan Hak Sipil dan Politik sebagai ukuran ujaran kebencian, karena ukuran yang sumir membahayakan kebebasan berekspresi,” kata Iman Nugroho. 

Iman juga merujuk kepada Pernyataan Bersama Perserikatan Bangsa-bangsa, Organisasi Keamanan dan Kerjasama Eropa (OSCE) dan Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) pada 2001, yang merumuskan batasan penindakan atas ujaran kebencian. 

“Ekspresi kritik terhadap penyelenggara negara dan lembaga negara tidak boleh dikriminalisasi sebagai ujaran kebencian,” kata Iman. —Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!