Manchester City dan pencarian kesempurnaan Pep Guardiola

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Manchester City dan pencarian kesempurnaan Pep Guardiola

EPA

Bersiaplah dengan kedatangan rezim baru.

JAKARTA, Indonesia – Malam magis itu jatuh pada 1 Mei 2009. Josep “Pep” Guardiola sedang menyendiri dalam kantornya di salah satu kompleks FC Barcelona. Ruangan itu sebenarnya bukan kantor. Tapi lebih sebagai ruang pribadi yang dia rancang seperti tempat kerja.

Di dalam ruangan itu, dia memutar lagu lamat-lamat bertempo lambat. Pikirannya menerawang memikirkan pertandingan besar besok: el clasico menghadapi Real Madrid. Terngiang-ngiang pertanyaan, bagaimana caranya menaklukkan Los Blancos.

Dalam benaknya tergambar beberapa posisi pemain. Dua gelandang motor serangan, Yaya Toure dan Xavi Hernandez, kerap ditekan habis-habisan oleh gelandang Guti, Fernando Gago, dan Royston Drenthe.

Pada saat yang sama, dua bek Real, Fabio Cannavaro dan Cristoph Metzelder, kerap bermain sangat dalam. Mereka lebih dekat pada kiper Iker Casillas daripada ke gelandang bertahan. Posisi yang sangat dalam tersebut (drop deep) membuat skema umpan terobosan khas Barca—sebutan Barcelona—tak berjalan.

Berjam-jam pikiran Guardiola mengembara hingga akhirnya dia mendapat “wahyu”. Ada ruang yang begitu luas di antara gelandang bertahan dan bek. Ruang tersebut bisa dieksploitasi. Guardiola langsung menyambar ponselnya. Nama Lionel Messi tertera di layar.

“Leo. Ini Pep. Aku baru menemukan sesuatu yang sangat penting. Tolong segera ke ruanganku. Sekarang,” kata Pep seperti digambarkan Marti Perarnau dalam buku Pep Confidential. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul 22.00. Messi datang setengah jam kemudian.

Malam itu adalah malam monumental munculnya posisi yang identik dengan Messi. Namanya, false nine. Seorang penyerang bertindak sebagai penyerang bayangan. Posisinya tidak murni di ujung tombak. Justru lebih mundur. Tujuannya, melepaskan diri dari isolasi para bek dan mendapatkan akses yang leluasa terhadap bola.

Posisi itu semakin sempurna diemban penyerang Argentina itu karena kemampuan dribling yang luar biasa. Dari posisi tersebut, dia bisa melepas assist, membawa bola mendekat ke area akhir untuk kemudian menembak, atau melakukan skema satu-dua bersama para penyerang lain demi bisa masuk ke kotak penalti.

Pep membebaskan apapun solusi akhir di depan gawang. Ketiga pilihan itu sah. “Tugasku hanya membawa kalian ke area akhir. Apa yang kalian lakukan di sana, itu urusan kalian sendiri,” kata Pep dalam buku yang sama.

Posisi false nine menjelma menjadi posisi yang diciptakan khusus untuk Messi. Tak ada tim lain yang bisa menduplikasi temuan tersebut. Penyebabnya, banyak. Salah satunya, tak banyak talenta yang tersedia untuk mengembannya.

Lima tahun terakhir, sosok penyerang bayangan memang jarang muncul. Sepak bola modern saat ini adalah era para winger. Nama-nama seperti Cristiano Ronaldo, Eden Hazard, Franck Ribery, atau Arjen Robben adalah beberapa di antaranya.

Messi juga bisa digolongkan sebagai winger. Tapi posisi spesialis false nine mengubah dirinya menjadi salah satu pemain terbesar dalam sejarah sepak bola dunia.  

Meskipun begitu, Pep tak pernah mengklaim dirinya sebagai penemu false nine. Posisi itu sudah pernah ada sebelumnya. Misalnya dalam pemain-pemain seperti Alfredo Di Stefano, Michael Laudrup, dan Francesco Totti—meski nama terakhir ini lebih identik dengan trequartista alias pemain yang berposisi di belakang striker daripada false nine.

Di Indonesia, false nine pernah diemban pesepak bola era 1990-an Yusuf Ekodono. Timnas Indonesia saat diperkuat Yusuf bahkan menjadi kesebelasan Merah Putih terakhir yang meraih medali emas SEA Games 1991. Prestasi yang tak pernah bisa diulangi sampai saat ini.

Mitra Surabaya ketika mengikuti Kompetisi Kodak Galatama pada tahun 1993-1994. Dari kiri: Marzuki Badriawan, Eko Prasetyo, Agus Udin, Yusuf Ekodono.;

Posted by Kholili Indro on Monday, 4 January 2016

Pep membuat posisi tersebut bereinkarnasi dalam wujud yang paling sempurna dengan Messi sebagai pemainnya. Sejak saat itu, area “abu-abu” antara penyerang tulen dan gelandang itu menjadi miliknya. Itu adalah “Messi zone”.

Setelah malam yang magis itu, esoknya Barcelona membantai Real Madrid 6-2 di Santiago Bernabeu. 

Guardiola sang filsuf

Kelahiran kembali posisi itu tidak hanya menunjukkan kejelian Pep dalam melihat potensi pemain. Kemampuan yang juga pasti dimiliki pelatih-pelatih dalam levelnya seperti Carlo Ancelotti atau Jose Mourinho.

Tapi, Pep lebih unggul dari mereka karena dia melakukan “invensi” alias temuan. Invensi yang hanya bisa disaingi Ancelotti saat menemukan posisi khusus untuk Andrea Pirlo sebagai deep-lying midfielder AC Milan.

Masalahnya, Pep tak berhenti di Messi. Di Bayern Munich, klub yang kini dia tangani, bek kanan Philippp Lahm sempat digeser di poros serangan sebagai gelandang bertahan. Pep menganggap Lahm memiliki visi seperti Andres Iniesta.

Pep terus menciptakan temuan-temuan karena bagi dia sepak bola tak pernah mapan. “Saat kita mulai rileks, saat itulah kita perlahan hancur,” katanya.

Pep juga terus menyempurnakan formasi favoritnya. Di awal kedatangannya di Allianz Arena, markas Bayern, dia memakai sistem 4-1-4-1. Padahal, di Barca dia setia dengan 4-3-3. Baru di musim keduanya di Die Roten—sebutan Bayern—dia mulai menerapkan 4-3-3 dan sejumlah variasi turunannya.

Hanya sekadar menang bagi Pep tidak cukup. Banyak gol juga tidak lantas memuaskannya. Setelah menang atas Hamburg 8-0, Paderborn 6-0, dan Koeln 4-1, pada Februari musim lalu, Guardiola justru berkata, “Kami harus lebih baik dalam menyerang.”

Pep terus memikirkan bagaimana memainkan sepak bola yang sempurna. Pencarian permainan paripurna itu sudah menjadi obsesinya. “Sepak bola yang sempurna sangat sulit untuk diraih. Tapi, pasti bisa menemukannya. Kami hanya perlu waktu,” kata Guardiola dalam kesempatan berbeda.

Chemistry Manchester City dan Guardiola

Kabar kepindahan Pep ke Liga Primer sejatinya sudah santer sejak Desember lalu. Dan klub kasta tertinggi sepak bola Inggris yang cocok dengan visi dia hanya dua: Arsenal dan Manchester City.

Masalahnya, Arsenal sedang tak butuh pengganti Arsene Wenger. Karena itu, satu-satunya tim yang hampir pasti jadi pelabuhan Pep selanjutnya adalah City. Dan benar saja, hanya sekitar dua bulan dari rumor tersebut, City mengkonfirmasi bahwa manajer mereka musim depan adalah dirinya.

Selain faktor rekan dekat Pep yang kini duduk di jajaran manajemen seperti CEO Ferran Soriano dan Direktur Sepak Bola Txiki Begiristain, fondasi permainan City sudah “ke-Barca-Barca-an”. Atau dalam bahasa kekinian, “Barca-esque”.

Mereka bermain dengan umpan-umpan pendek dan berusaha mendominasi permainan. Mereka juga sangat memuja sepak bola menyerang. Bermain pragmatis bukan gaya mereka.

“Sepak bola yang cuma bertahan dan mengejar kemenangan tidak menghargai para fans. Jutaan orang membayar dengan harga tinggi dan para pemain hebat itu hanya bertahan,” kata Manuel Pellegrini, manajer City saat ini.

Dengan filosofi permainan seperti itu, tak bakal sulit bagi para pemain City untuk beradaptasi dengan Pep. Peraih 14 trofi bersama Barca itu bakal membawa tim berjuluk The Citizens itu naik level.

Kehadiran Pep bisa membuat panik Manchester United. Mereka terancam semakin tenggelam karena rival sekota mereka yang terus menjelma menjadi raksasa baru.

United juga rawan menjadi bulan-bulanan City musim depan. Pembantaian 6-1 di Old Trafford pada 23 Oktober 2011 bisa kembali terulang.

Tak ada cara lain bagi United kecuali mengganti manajer Louis van Gaal dengan antitesis Guardiola. Siapa lagi kalau bukan Jose Mourinho. Sang Nemesis Guardiola itu sedang menunggu telepon dari bos United Ed Woodward.—Rappler.com 

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!