Nenek 86 tahun, korban perkosaan tentara Belanda menangkan gugatan

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Nenek 86 tahun, korban perkosaan tentara Belanda menangkan gugatan
Pemerintah Belanda harus bayar ganti rugi 7.500 euro pada nenek warga Malang berusia 86 tahun

MALANG, Indonesia —  Seorang nenek asal Malang berusia 86 tahun memenang gugatan di pengadilan Den Haag, Belanda, atas kasus pemerkosaan yang menimpanya puluhan tahun lalu.

Salinan putusan yang dibacakan pada 27 Januari 2016 menyebutkan pemerintah Belanda harus membayar ganti rugi senilai 7.500 euro (sekitar Rp 114 juta) pada nenek berinisial T itu.

T, seorang warga Dusun Purwosari, Desa Peniwen, Kabupaten Malang, ini mengalami pemerkosaan oleh tentara Belanda pada 19 Februari 1949 silam di Peniwen.

Seperti dilaporkan laman Dutchnews, pemerintah Belanda diharuskan membayar ganti rugi pada T. Saat kejadian, T masih berusia 19 tahun. 

Kepala Dusun Purwosari Adi Waluyo membenarkan kabar itu. Menurutnya, beberapa pekan lalu, ia mendapat kabar dari sambungan telepon bahwa gugatan T menang di pengadilan Belanda. 

“Saya ditelepon Pak Jefry dari Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) dari Belanda, katanya kasusnya menang di pengadilan,” kata Adi kepada Rappler, Sabtu. 

Sejak 2014 lalu, anggota KUKB tiba di dusun Purwosari dan meminta izin untuk wawancara dengan T. Setelah tiga kali sesi wawancara pada waktu yang berbeda, T baru menuturkan kejadian sebenarnya. 

Pada wawancara yang ketiga, T berkomunikasi lewat Skype di Balai Desa Peniwen dengan pihak yang bersangkutan di Belanda dan menuturkan kronologis peristiwa pelecehan seksual itu. 

Diperkosa lima orang

T, kini nenek dengan tiga cucu, saat kejadian sedang berada di rumahnya di Peniwen bersama seorang keponakannya yang masih berusia 9 tahun.

Suaminya, seorang petani, bersembunyi dengan para pria lain dan pejuang setempat saat terjadi gempuran serangan oleh tentara Bendara yang tiba di daerahnya pada 19 Februari 1949.

“Kalau ketemu laki-laki pasti ditembak. Suami saya sembunyi jauh. Saya bersembunyi di bawah kolong amben (tempat tidur dari bambu) dengan S,” kata T kepada Rappler.

“Jam 16, suara tembakan ramai terdengar. Beberapa masuk ke mari dan menembakkan senjata di halaman, meminta kami keluar,” kata T dalam bahasa Jawa. 

S, keponakan T, ditodong senjata dan diminta berdiri di depan pintu, sementara T diseret ke dalam kamar dan dipaksa melepaskan pakaiannya. Saat itu T baru saja keguguran anak pertamanya dan mengenakan stagen khusus di perutnya.

“Saya ditodong di kepala dan diminta melepas bengkung, mungkin dikira saya menyimpan sesuatu. Kemudian diperkosa. Ada lima orang yang memerkosa saya, semuanya Belanda,” ungkapnya.

Monumen ‘Peniwen Affair’

Pada saat itu, bukan hanya T yang menjadi korban peristiwa. Terdapat belasan anggota Palang Merah Remaja (PMR) setempat yang tewas ditembak oleh tentara Belanda. Mereka kini dimakamkan di depan Monumen Peniwen Affair, untuk memperingati tragedi berdarah 19 Februari 1949 tersebut.

“Mungkin Belanda kecewa karena tak menemukan pejuang dan banyak laki-laki juga tidak ada. Mereka kemudian menembaki anggota PMR pada 19 Februari 1949,” kata Sekretaris Desa Peniwen Swasono Adi Wibawanto. 

“Peristiwa itu kami peringati dengan membuat monumen Peniwen Affair dan upacara setiap 19 Februari,” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!