Kisah kaum muda Tionghoa geluti bisnis ‘e-commerce’ di Indonesia

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah kaum muda Tionghoa geluti bisnis ‘e-commerce’ di Indonesia
Dalam bisnis yang melibatkan teknologi sudah tidak lagi melihat latar belakang pelakunya termasuk jika mereka datang dari kalangan Tionghoa

JAKARTA, Indonesia — Pertumbuhan jumlah pengguna Internet di Indonesia turut melambungkan industri e-commerce. Betapa tidak, berdasarkan data yang dimiliki, jumlah pengguna Internet di Indonesia merupakan yang tertinggi dibandingkan di negara lain di Asia Tenggara.

Pada 2015, dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia, terdapat 93,5 juta pengguna Internet. Angka tersebut bahkan diprediksi akan terus meroket menjadi lebih dari 102 juta orang pada 2016. Apalagi separuh dari pengguna Internet di Indonesia berusia kurang dari 30 tahun.

Hal serupa diakui oleh dua CEO startup perusahaan teknologi di Indonesia, yakni Joseph Aditya dan Ryan Gondokusumo yang ditemui Rappler di tempat dan waktu berbeda.

CEO Sribu, Sribu Lancer & Hallo Diana, Ryan Gondokusumo,mengatakan publik di Indonesia kini mulai teredukasi dan menyadari apa itu e-commerce, khususnya setelah merek besar seperti Zalora dan Lazada masuk ke Tanah Air.

“Tetapi, bukan berarti saat pasar lebih siap, kemudian kami bisa dengan mudah untuk menjalankan bisnis ini. Dibutuhkan teknik khusus ketika berjualan online,” ujar Ryan yang ditemui Rappler di kantornya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Jumat malam, 5 Februari.

Sementara, CEO Ralali.com Joseph Aditya menilai bisnis e-commerce di Indonesia akan semakin cerah di Indonesia dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang.

Namun, untuk bisa mengembangkan pasar e-commerce, publik di Indonesia tidak bisa hanya memandang dari sudut jual beli di dunia maya saja, tetapi bagaimana industri tersebut bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Hal itulah, ujar Adit, yang terjadi di Tiongkok dan India.

Kedua pengusaha ini merupakan potret kaum muda Tionghoa yang sukses di Indonesia. Terlahir menjadi bagian dari kaum Tionghoa kini bukan lagi momok di Tanah Air. Bahkan, Ryan dan Aditya, mengaku tak pernah mengalami diskriminasi ketika mulai merintis usaha ini, hanya karena mereka berasal dari keturunan Tionghoa.

Jeli lihat peluang

Ryan dan Aditya memiliki kisah yang unik ketika memulai bisnis e-commerce. Konsep bisnis keduanya berawal dari kejelian mereka melihat peluang.

Pada mulanya, Ryan mengeluarkan produk pertama, yaitu www.sribu.com, dari kisah kantornya yang ketika itu yang membutuhkan desain kalender. Dia sudah memanfaatkan tim desainer yang ada di kantornya. Tetapi setelah desain selesai dibuat, atasan Ryan kurang puas dengan hasilnya.

Akhirnya, dia terpikir mencoba membuat kontes desain kalender di satu media sosial dengan hadiah sebuah ponsel. Hasilnya di luar dugaan, dalam tujuh hari dia memperoleh lebih dari 300 desain kalender. Dari situlah kemudian dia berpikir untuk berbisnis dan mengembangkan ide tersebut. Maka, www.sribu.com resmi diluncurkan pada pertengahan 2011 lalu.

“Dalam situs Sribu, klien bisa memesan desain logo, brosur, dan sejenisnya. Kemudian, mereka bisa pilih paket yang tersedia. Setelah dibayar, maka desain tersebut akan dilelang dan dikerjakan oleh komunitas Sribu,” papar Ryan.

Hasilnya, klien akan menerima banyak masukan mengenai desain dengan satu harga. Bagi desain yang dipilih oleh klien, maka berhak menerima dana pengerjaan proyek itu. Untuk paket logo, kata Ryan, mereka mulai dengan harga Rp 2,5 juta.

“Bagi desainer yang desainnya terpilih maka berhak menerima dana Rp 2,5 juta itu,” tuturnya.

Setelah diluncurkan pada 2011 lalu, responsnya sangat positif. Terbukti, saat ini Sribu telah menangani lebih dari 4.000 klien. Sedangkan jumlah desainer yang tergabung dalam komunitas Sribu mencapai 60 ribu orang.

Sribu pada awalnya hanya menangani proyek UMKM, namun kini telah melayani brand internasional seperti DHL dan Baidu.

“Pemesanan desain tidak hanya datang dari Indonesia tetapi juga luar negeri. Total, kami telah menangani pemesanan dari 50 negara, walaupun masih lebih banyak permintaan desain dari klien dari Indonesia,” kata pria berkacamata itu.

Dari produk situs jasa desain, Ryan kemudian melebarkan sayap dengan meluncurkan produk www.sribulancer.com. Konsep produk tersebut yakni membantu klien untuk menemukan pekerja lepas dari berbagai bidang, mulai dari jurnalis, editor, ilustrator, data entry, dan lainnya. Para pekerja lepas ini hanya perlu mendaftarkan diri di situs Sribulancer secara gratis.

“Nanti, mereka bisa ikut bidding proyek yang ditawarkan oleh klien,” kata Ryan.

Jika proyek telah selesai dikerjakan, maka klien dan pekerja lepas bisa sama-sama melakukan evaluasi dengan cara memberikan bintang. Semakin banyak bintang yang dimiliki oleh pekerja lepas, maka nama mereka akan tampil di jajaran teratas ketika bidding proyek dilakukan.

Klien juga bisa dievaluasi, tetapi tidak diungkap ke situs. Setelah berjalan selama 1,5 tahun, Sribulancer juga semakin berkembang. Kini, mereka telah memiliki 50 ribu pekerja lepas dan ribuan klien.

Dari Sribulancer, kemudian Ryan meluncurkan produk ketiga pada September 2015 bernama Halo Diana. Melalui situs www.halodiana.com, klien bisa meminta dan bertanya mengenai apa pun layaknya meminta tolong kepada asisten pribadi.

Produk ini bermula dari kategori private assistance yang ada di situs Sribulancer. Ketika dievaluasi, jenis pekerjaan yang di-bid klien yakni membelikan kopi hingga tiket bioskop. Di situ, insting bisnisnya mengatakan permintaan tersebut bisa digarap serius melalui produk lainnya.

Hasilnya, baru empat bulan situs Halo Diana diluncurkan, sudah ada 20 ribu pemesanan. Pertanyaan bisa dilayani oleh agen Diana melalui pesan pendek. Namun, permintaan terkait layanan tertentu dilakukan melalui mobile application.

“Untuk pertanyaan seperti mengenai lokasi tempat membeli hadiah ulang tahun, klien tidak akan dikenai biaya. Tetapi, ketika mereka meminta untuk dibelikan sesuatu, kami kenakan biaya di situ,” kata Ryan.

Dia mengklaim belum pernah ada pertanyaan atau permintaan yang tidak bisa dipenuhi oleh Diana. Sebab, mereka telah bermitra dengan 40 vendor.

Sukses mengelola tiga produk, membuat nama Ryan dilirik oleh investor East Ventures. Mereka turut menggelontorkan dana bagi pengembangan usaha Ryan, namun dengan nominal yang tak boleh diungkap.

Dia mengaku tidak terlalu sulit untuk mengelola ketiga produk itu. Sebab, sudah ada pembagian tim untuk masing-masing produk.

“Total anggota tim untuk ketiga produk itu ada 38 orang. Untuk produk Sribu dan Sribulancer, sudah ada tim khusus, sehingga saya bisa fokus lebih banyak untuk mengembangkan Halo Diana,” kata dia.

Lain lagi dengan kisah Aditya, yang membentuk marketplace B2B untuk alat industri bernama Ralali.com. Dia membentuk Ralali pada 2013 lalu dengan menjual barang-barang MRO (maintenance, repair, and operation).

CEO Ralali.com, Joseph Aditya yang berhasil memperoleh pendanaan senilai US$2,5 juta atau setara Rp34 miliar dari investor untuk pengembangan bisnisnya. Foto oleh Santi Dewi/Rappler

“Awal mulanya hanya berpikir untuk mengumpulkan barang-barang MRO dan menghubungkannya dengan dunia industri yang membutuhkan,” kata Aditya yang ditemui di sebuah kafe di kawasan Jakarta Selatan, pada Kamis, 4 Februari.

Dengan motto “Doing business easy“, kehadiran Ralali.com cukup baik direspons pasar. Hal itu tidak terlepas dari koneksi yang dimiliki oleh Aditya usai menjadi pemasok bagi institusi pemerintah dan industri selama 10 tahun.

“Peluang di bidang ini sangat besar sebab belum banyak yang menggarap. Yang membedakan kami dengan situs sejenis yakni target pasar yang business-to-business (B2B) dan jenis produk yang ditawarkan,” papar Aditya.

Usaha yang dirintis Aditya tergolong sukses bahkan hingga menarik investor dari Beenos Plaza dan CyberAgent Ventures untuk menggelontorkan dana senilai US$ 2,5 juta atau setara Rp 34 miliar. Jumlah pegawai pun juga berkembang, dari semula empat orang menjadi 150 orang.

Perlu insentif pemerintah

Baik Aditya dan Ryan sama-sama sepakat jika industri ini ingin maju, maka perlu insentif dari pemerintah. Adit mengatakan di beberapa negara maju, industri berbasis teknologi didukung oleh pemerintahnya. Para pelaku industri diberikan dana dan tidak dikenakan pajak.

“Sementara di Indonesia, e-commerce malah ingin diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang justru memberatkan para pelaku industri tersebut. Di negara lain, pemerintah hanya membuat kebijakan agar ada transparansi di dunia siber,” papar Aditya.

Artinya, sebelum bertransaksi, pelanggan harus diberi informasi yang jelas mengenai produk atau layanan yang ditawarkan di satu situs.

Sementara, Ryan menyebut dengan semakin banyaknya startup di bidang e-commerce bisa berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi satu negara. Dengan semakin banyaknya lapangan pekerjaan yang muncul, maka secara otomatis juga mengurangi tingkat tindak kejahatan.

“Pada kenyataannya, dalam memulai usaha ini, kami malah lebih banyak dipersulit. Pemerintah menganggap bisnis online adalah sesuatu yang seksi dan uangnya banyak. Padahal, marginnya sudah tipis dan dikenakan pajak pula,” keluh Ryan.

Kaum Tionghoa juga bisa

Terlahir sebagai bagian dari komunitas Tionghoa, tidak membuat Aditya dan Ryan patah semangat untuk memulai usaha di bidang e-commerce. Bagi keduanya, ketika berbisnis di sektor yang melibatkan teknologi, maka perbedaan apa pun sudah tak lagi terlihat. Artinya, siapa pun, termasuk kaum Tionghoa bisa memulai usaha di bidang e-commerce.

Keduanya juga mengaku tidak menerima perlakuan diskriminatif hanya karena mereka merupakan warga Tionghoa.

“Saya merasa beruntung karena klien Sribu lumayan open. Mereka tidak mempermasalahkan latar belakang saya,” kata Ryan.

Lalu, apa pendapatnya mengenai sentimen negatif yang masih dialami kaum Tionghoa? Ryan menjawab itu semua butuh waktu bagi publik untuk diedukasi.

“Saya tidak bisa bilang 100 persen semua ras apa pun di Indonesia sudah membaur, tetapi kalau pun hidup terlalu mengkotak-kotakan maka tidak akan berkembang,” ujar Ryan yang mengaku tidak memiliki ritual khusus di perayaan Imlek.

Sementara, Aditya mengaku tidak mempermasalahkan jika dirinya dipanggil warga Cina atau keturunan Tionghoa. Di pikirannya, Aditya tetap beranggapan warga Indonesia.

It doesn’t matter orang memanggil saya dengan sebutan apa pun. Sebab, saya tidak bisa memilih untuk terlahir di keluarga mana. Kalau pun saya ke luar negeri, tetap akan disebut orang Indonesia,” tutur Aditya.

Dia menjelaskan perayaan Imlek merupakan sesuatu cukup besar di keluarganya. Mirip seperti Lebaran. Oleh sebab itu, sejak akhir pekan kemarin dia pulang kampung ke Semarang untuk berkumpul dengan keluarga.

“Karena saya juga sudah menikah, maka biasanya saya memberi angpao. Imlek itu mirip Lebaran, hari pertama kumpul dengan keluarga sisanya digunakan untuk berlibur,” kata dia. – Rappler.com

BACA JUGA: 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!