Jalan panjang Kampung Dolly menjadi tempat wisata

Amir Tedjo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jalan panjang Kampung Dolly menjadi tempat wisata
Warga sudah trauma dengan pemberdayaan oleh dinas-dinas, karena sering tidak ada tindak lanjutnya


SURABAYA, Indonesia—Rumah putih empat lantai itu masih berdiri kokoh di Gang Dolly Surabaya. Keberadaannya lebih mencolok dibanding rumah-rumah lainnya yang paling banter hanya dua lantai. Dulu saat Kampung Dolly dulu masih bersinar sebagai lokalisasi, rumah ini dikenal sebagai Wisma Barbara.

Wisma Barbara dikenal sebagai rumah bordil terbesar di Kampung Dolly dengan puluhan anak semangnya. Dulu, lantai satu digunakan untuk “ruang pamer” anak semang. Sedangkan lantai dua tiga dan empat digunakan adalah kamar-kamar untuk tempat “eksekusi”.

Namun kini rumah itu sudah beralih fungsi, sejak lokalisasi yang konon terbesar di Asia Tenggara itu ditutup oleh Pemerintah Kota Surabaya. Tak lama setelah ditutup, Wisma Barbara dibeli oleh pemerintah kota untuk dijadikan pusat kerajinan warga Dolly. Kini di dalamnya terdapat belasan mesin untuk mengolah sepatu. Ada juga para ibu-ibu yang memproduksi batik di rumah ini.

Walikota Surabaya, Tri Rismaharini hari ini, 21 Februari 2016 mencanangkan Kampung Dolly sebagai kampung wisata. Risma membayangkan akan menjadikan Kampung Dolly seperti kampung-kampung wisata di sekitaran Jalan Malioboro Yogyakarta dengan segala industri kecilnya.

Nantinya, industri kecil milik warga eks lokalisasi Dolly akan ditempatkan di bekas rumah-rumah bordil ini. Saat ini sudah ada sekitar 13 bekas rumah bordil yang sudah dibeli Pemerintah Kota Surabaya. “Kita akan terus membeli rumah-rumah itu. Kita akan jadikan tempat sentra-sentra industri unggulan. Tapi kita tak akan mengubah rumah-rumah itu,” kata Risma.

Para wisatawan yang berkunjung ke kampung Dolly akan diajak berkeliling dengan menggunakan becak wisata. Saat ini sudah ada sekitar 30 becak wisata yang beroperasi di Kampung Dolly. Para tukang becak inilah yang sekaligus menjadi pemandu wisatanya.

Tak hanya diajak berkelliling, para wisatawan juga diajak mampir di pusat-pusat kerajinan warga Dolly. Jika wisata dilakukan malam hari, Risma menjanjikan akan ada lampu-lampu hias yang indah dan area untuk pejalan kaki yang dipenuhi dengan lukisan mural karya anak-anak muda Surabaya. “Mural ini akan bercerita bagaimana perjalanan kampung Dolly dari dulu bagaimana dan sekarang seperti apa,” ujar dia.
DIBELI. Wali Kota Risma di depan salah satu rumah yang sudah dibeli pemerintah di Kampung Dolly. Foto: Amir Tejo untuk Rappler Indonesia
Risma sadar jika rencana ini sangat sulit. Namun dia yakin. Keyakinan ini didasarkan pada potensi yang dimiliki warga Dolly. Kata dia, selama ini sebenarnya warga Dolly punya potensi yang luar biasa dalam berkarya. Namun sayang, potensi ini tertutup pamornya dengan kegiatan lokalisasi.

“Ini bukan saya yang mengatakan. Tapi menurut para instruktur yang memberikan pelatihan. Kata mereka warga Dolly ini cepat belajar. Diajari buat batik, dalam sebulan sudah bisa buat desain sendiri dan mencanting dengan rapi. Bikin sepatu, mereka juga sudah bisa bikin sendiri. Saya bertanya-tanya, apakah mereka memang dikarunai potensi yang luar biasa oleh Tuhan,” ujar Risma.

Gagasan Risma untuk mengangkat keterpurukan warga ini tentu saja tak lepas dari kritik masyarakat. Salah satunya dari Soekardi, tokoh warga Dolly. Dia mengatakan, sebenarnya upaya untuk mengatasi keterpurukan ekonomi warga eks lokalisasi Dolly bisa lebih cepat lagi jika Pemkot Surabaya punya rencana yang jelas. Soekardi yang juga Ketua Fraksi PDIP di DPRD Surabaya menilai, dinas-dinas di Pemkot Surabaya tak banyak bergerak.

Dia mencontohkan warung-warung makan sekitaran Kampung Dolly yang kini sepi pembeli. Kata dia, pemerintah Pemkot Surabaya sebenarnya bisa memberdayakan mereka menjadi pengusaha kuliner. Caranya dengan jadi rekanan dinas-dinas di Pemkot Surabaya. Kata dia, hampir tiap hari DPRD selalu ada pertemuan yang ada konsumsinya. Kenapa konsumsi itu tidak diambilkan dari para warga Dolly? Belum lagi rapat di dinas-dinas milik Pemkot Surabaya. “Itu malah memberdayakan secara profesional. Tinggal Pemkot memberikan bimbingan soal proses produksi kemasan dan rasa,” kata dia.

Anak muda berdedikasi
Di balik semua rencana Risma menjadikan Kampung Dolly sebagai kampung wisata itu, sebenarnya ada campur tangan anak muda Surabaya yang berdedikasi. Mereka-mereka ini yang sangat berdedikasi untuk memberdayakan warga eks lokalisasi Dolly. Mereka itu adalah para mahasiswa dan alumni perguruan tinggi di Surabaya yang tergabung dalam Gerakan Melukis Harapan (GMH) dan Surabaya Creative Network.

Irfan Arif salah satu aktivis Gerakan Melukis Harapan bercerita, usaha mereka untuk pemberdayaan warga Kampung Dolly sebenarnya sudah dilakukan sebelum Pemkot Surabaya melakukan penutupan. “Awalnya memang susah sekali. Mereka sudah trauma dengan pemberdayaan yang dilakukan oleh dinas-dinas,” kata Irfan.

Menurut Irfan, trauma warga itu wajar. Karena sudah menjadi rahasia umum jika pemberdayaan yang dilakukan oleh dinas-dinas, selama ini sifatnya tidak komprehensif. Dinas-dinas itu memberdayakan sebatas melakukan pelatihan untuk produksi suatu barang. Setelah warga mahir memproduksi, ditinggal begitu saja, tak ada tindak lanjutnya.
“Kami meyakinkan warga, jika kami tak akan meninggalkan begitu saja. Kita akan mencarikan modal, kami akan mencarikan pasar. Intinya kami tak akan meninggalkan warga sampai mereka benar-benar berdaya,” kata Irfan.

Sebagai bukti komitmen mereka untuk memberdayakan warga, mereka bahkan merelakan uang hadiah lomba entrepreuner untuk modal usaha warga. Setidaknya sudah ada sekitar Rp 175 juta hadiah dari lomba-lomba entrepreuner yang mereka menangkan sudah nyemplung untuk modal usaha warga eks lokalisasi Dolly.

Jerih payah mereka pun sudah mulai menampakan hasilnya. Salah satunya usaha kuliner Samijali singkatan dari Sermiler Jarak Dolly. Berkat sentuhan GMH, Samijali kini mulai dikenal. Samijali adalah makanan tradisional sejenis kripik yang terbuat dari singkong dengan inovasi aneka rasa. “Samijali ini produksi ibu-ibu sekitar Dolly. Kami berikan pelatihan. Kami juga yang memasarkannya,” kata Irfan.

Begitu juga dengan wisata Kampung Dolly. GMH juga sudah mempromosikan melalui media-media sosial. Berkat promosi lewat media sosial itu, banyak juga kawan-kawan mereka dari universitas di Indonesia berkunjung untuk wisata ke Dolly pasca ditutup. “Tapi sebelum mulai wisata, kami peringatkan mereka, jika masih ada warga yang tawarkan seks. Biar mereka tidak shock. Karena ini kerja panjang,”kata Irfan.

Anak-anak muda ini sadar, jika butuh waktu yang untuk bagi warga eks lokalisasi Dolly untuk bisa menerima penutupan itu. Apalagi, itu menyangkut pendapatan mereka. Irfan mencontoh salah satu warung di depan bekas Wisma Barbara. Saat Dolly masih buka, dalam sehari omzetnya bisa sejuta lebih. Kini setelah Dolly tutup bisa dapat Rp 100 ribu saja sudah beruntung. “Bagaimana mereka tidak shock menerima kenyataan itu,” kata dia.

Bukti lain komitmen anggota GMH untuk memberdayakan mereka, ada aturan dalam GMH jika pengurus inti yang jumlahnya 25 orang itu, setidaknya selama lima tahun mereka harus tetap menetap di Surabaya. Dan mereka juga sebaiknya bekerja menjadi wirausahawan agar punya waktu luang untuk mengurus warga eks lokalisasi Dolly. “Kita ingin membangun sistem dalam GMH. Jangan sampai mobilitas yang tinggi anggota, jadi mengabaikan usaha pemberdayaan warga eks lokalisasi Dolly,” kata Irfan. —R appler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!