SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
JAKARTA, Indonesia— Dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI) Rocky Gerung mengatakan khawatir dengan peran pers dalam polemik isu minoritas di tanah air, termasuk polemik lesbian, gay, biseksual, dan transgender dan Gerakan Fajar Nusantara.
“Moral mayoritas jadi official ideology dari today regime,” kata Rocky saat menjadi nara sumber Diskusi Media Sejuk ‘Menyoal Sensor’ Komisi Penyiaran Indonesia di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Rabu, 2 Maret.
Rocky menilai permasalahannya bukan hanya pers dan sensor, tetapi pada gambar yang lebih besar, yakni fenomena syariatisme di masyarakat yang mendorong KPI melakukan sensor.
Apa itu syariatisme?
“Jadi ada obsesi untuk menjadikan negara ini dituntun oleh paradigama moral. Paradigma itu dimanfaatkan oleh sumber-sumber sakral yaitu agama terutama,” katanya.
Masyarakat kini, menurut Rocky, tak menilai seorang individu dari seberapa sering mereka menolong tetangga atau seberapa besar pajak yang dibayar. “Tetapi oleh kesolehan sosial ditentutan yaitu seberapa banyak dia berdoa,” kata Rocky.
Aliran syariatisme ini mengarahkan masyarakat untuk percaya bahwa sumber tunggal moral adalah surga. “Inilah yang disebut creating fundamentalism, creating absolutism,” katanya.
Mereka memberi syarat bahwa hanya ada satu wadah, yaitu wadah yang milik mereka. “Itu namanya pikiran absolutisme,” ujarnya.
Secara berkala, penganut aliran ini mencicil dengan menyelipkan moral absolutisme pada setiap momen.
Praktik syariatisme ini kemudian berdampak pada minoritas. Syariatisme tidak mengenal dialog dan tidak memberi ruang untuk interpretasi yang berbeda dari pendapat mereka.
Sejak kapan syariatisme hadir di masyarakat?
“Sejak suasana demokrasi dianggap membahayakan keyakinan manusia. Sejak pasca reformasi, karena reformasi terbuka, dan ada indikasi setiap orang berhak mengekspresikan secara frontal dan absolut pandangan hidupnya,” katanya.
Jalan tengah untuk menghadapi syariatisme? “Cuma satu, force the better argument,” ujarnya.
Rocky menceritakan pengalamannya saat menjadi saksi ahli undang-undang anti pornografi di Mahkamah Konsitusi di mana dia meminta saksi ahli tidak menggunakan ayat-ayat suci.
Apa alasannya? “Kalau dalil kitab suci itu tidak bisa dibatalkan. Nah judicial review itu kan mengajukan dalil untuk membatalkan dan untuk diperdebatkan,” ujarnya.
Harusnya yang dipakai, kata Rocky, ayat-ayat konstitusi bukan ayat-ayat suci.
“Tapi lawan saya yang saksi ahli dari mereka yang anti pornografi mengatakan tidak bisa, mereka harus pakai dalil kitab suci. Dalil kita suci tidak bisa didebatkan di forum MK,” ujarnya.
Rocky pun mengaku kecewa dengan hakim MK yang tak mempunyai inisiatif untuk menegur saksi ahli tersebut.
Apakah mayoritas masyarakat kita menganut syariatisme?
“Mereka bukan mayoritas, tapi mereka menganggap (kelompoknya) bernilai secara statistik dalam politik,” ujarnya.
Rocky melanjutkan bahwa kelompok ini diuntungkan karena negara juga ikut mensponsori intoleransi.
Dampaknya adalah kesolehan sosial dirumuskan tidak dari dalil sosiologis tetapi dari dalil agama. Padahal, katanya, “Enggak ada hakim yang menetapkan anda berdosa, tapi bersalah. Bersalah itu kondisi sosiologis, berdosa itu kondisi lain,” kata Rocky.
Rocky menilai dengan adanya syariatisme ini, “Kita gagal memanfaatkan ayat-ayat sosiologis, kita gagal menafsirkan itu, kita malah menggunakan ayat-ayat suci.”
Dan situasinya bertambah runyam karena negara yang seharusnya mengurusi agama secara administratif justru ikut-ikutan menggunakan paradigam agama tersebut.
“Pejabat (negara) gugup membedakan kesucian individu dengan ketaatan hukum konstitusi. Itu yang menyebabkan creating fundamentalism,” kata Rocky. —Rappler.com
BACA JUGA
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.