UNDP: Sumbar, NTB, dan Kalsel provinsi dengan indeks kebebasan sipil terendah

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

UNDP: Sumbar, NTB, dan Kalsel provinsi dengan indeks kebebasan sipil terendah
Menurut UNDP, tindakan diskriminatif berawal dari Perda yang diskriminatif

MINORITAS. Kelompok minoritas memperingati Hari Anti Diskriminasi yang jatuh pada Selasa, 1 Maret 2016 di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

JAKARTA, Indonesia — Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Selatan, menunjukkan capaian indeks kebebasan sipil terendah selama 2009-2014, demikian menurut catatan Badan Program Pembangunan Persatuan Bangsa-Bangsa (UNDP).

Menurut Fajar Nursahid, perwakilan UNDP Indonesia, di ketiga daerah ini kerap terjadi diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan. 

“Hambatan dan diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan lebih kuat dibandingkan diskriminasi atas dasar gender, etnis, dan kelompok rentan,” kata Fajar saat diskusi tentang peran media dalam wacana publik atas diskriminasi dan pelanggaran hak kelompol minoritas yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Cikini, Jakarta, pada Minggu, 13 Maret. 

UNDP dan pemerintah menyusun Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) sejak 2009 untuk mengukur tingkat perkembangan demokrasi di Tanah Air dari waktu ke waktu secara akurat.

IDI memotret ragam kemajemukan Indonesia sebagai indikator penting demokrasi, termasuk ada atau tidaknya akomodasi dan penghargaan terhadap kelompok-kelompok minoritas sebagai bagian dari Indonesia yang utuh. 

Indeks bersifat tahunan, sejauh ini telah dihasilkan 6 laporan indeks dalam kurun waktu 2009-2014. Sedangkan IDI 2015 masih dalam penyusunan. 

Angka-angka yang menunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di seluruh provinsi di Indonesia berdasarkan tiga aspek penting demokrasi:

 

  1. Kebebasan Sipil (Civil Liberties)
  2. Hak-Hak Politik (Political Rights)
  3. Lembaga-lembaga Demokrasi (Institutions of Democracy)

 

Apa saja contoh kasusnya? 

UNDP mencatat beberapa kasus diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan di Nusa Tenggara Barat (NTB), antara lain:  

Oknum Pemkab Lombok Barat mendiskriminasikan jamaah Ahmadiyah pada 18 Januari 2011. Asisten I Pemkab Lobok Barat bahkan menganggap Ahmadiyah sebagai pengacau dan tidak ingin menyelesaikan masalah, karena tidak merespon kebijakan Pemda yang tidak mengizinkan mereka tinggal di wilayah Lombok Barat. 

Kemudian, tempat ibadah di Selong, Lombok Timur, dirusak massa pada 8 Agustus 2011. Massa dalam jumlah besar merusak masjid dipicu oleh kekesalan masyarakat lantaran jamaah Ahmadiyah yang beribadah di sana terkesan eksklusif: tidak mau membaur dengan warga yang lain saat shalat jumat.

Ditambah lagi rumah warga Ahmadiyah dirusak massa pada 21 Juni 2011. Aksi kekerasan terjadi menimpa salah seorang jamaah Ahmadiyah warga Kelurahan Seketeng, Sumbawa Besar. Massa melempari rumah korban dengan batu sehingga kaca pintu, jendela, dan atap rumah hancur. Warga juga meminta agar yang bersangkutan meninggalkan rumah di yang dihuninya di kompleks tersebut. 

Pada 2012, kasus kekerasan berlanjut. Pada 2 Juni 2012, polisi mengamankan pengikut aliran “sesat” di Lombok Timur. Setidaknya 11 orang pengikut aliran tersebut ditangkap di Desa Sukamulia Timur, Kecamatan Sukamulia. 

Aliran ini dianggap menyimpang dari ajaran Islam karena menganjurkan para pengikutnya meminum minuman keras jenis tuak sebelum melakukan pengajian. Selain itu, para pengikut aliran ini juga menggunakan ikat kepala tanpa baju. 

Sementara itu di Sumatera Barat, Kementerian Agama wilayah Padang mewajibkan karyawan perempuan untuk memakai rok panjang —bukan celana panjang— selama jam dinas berlangsung sejak 9 Januari 2013. Hanya ada satu perkecualian, saat olahraga. 

Alasannya, rok panjang adalah pakaian yang sesuai dengan syariat Islam dan budaya Minangkabau.

Kasus lainnya, Bupati Pasaman menekankan seluruh kepala sekolah untuk mematuhi Peraturan Daerah maupun Peraturan Bupati soal pandai tulis dan baca Al-Qur’an dan juga kewajiban berpakaian Muslim. Ia juga tidak segan-segan memberhentikan kepala sekolah yang tidak mengindahkan sejumlah Peraturan Daerah yang sudah ditetapkan.

Berawal dari Perda

Fajar melanjutkan, fakta di lapangan menunjukkan diskriminasi tak jarang berawal dari Peraturan Daerah yang diskriminatif.

Di Sumatera Barat, misalnya, ada 17 Perda yang dianggap bermasalah. Mulai dari Instruksi Wali Kota Padang No.451.442/Binsos-III/2005 tentang pelaksana Wirid Remaja, Didikan Subuh, dan Anti Togel/Narkoba, serta berpakaian Muslim/Muslimah bagi murid SD/MI, SLTP/MTs, dan SLTA/SMK/MA di Kota Padang, hingga Perda tentang larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. 

Di NTB, setidaknya ada 16 Perda yang dinilai diskriminatif. Mulai dari Surat Edaran Bupati Lombok Timur, Surat Keputusan Bupati Lombok Barat, hingga seruan Wali Kota Mataram tentang pelarangan Ahmadiyah, hingga tentang Instruksi Bupati Lombok Timur No. 4/2003 tentang pemotongan sepihak gaji PNS/guru sebesar 2,5% setiap bulan.

Di Kalimantan Selatan juga ada 14 Perda yang dianggap diskriminatif. Mulai dari Peraturan Daerah tentang membuka restoran, warung, rombong pada bulan puasa hingga Peraturan Daerah Kabupaten Banjar No. 9 tahun 2003 tentang pengelolaan zakat. 

Lihat indeks lengkapnya di bawah ini:

 —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!