Mendampingi gay dan waria di Ciamis

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mendampingi gay dan waria di Ciamis
Menurut Dinas Kesehatan Ciamis, akar masalah komunitas LGBT adalah pola pengasuhan yang salah

BANDUNG, Indonesia — Sudah tiga tahun lamanya, Anggi mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk mendampingi teman-teman gay. 

Pemuda 25 tahun itu menjadi petugas lapangan Wisma, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus kepada penanggulangan HIV/AIDS di wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. 

Tugas Anggi, yang juga seorang gay dan tak mau nama lengkapnya disebutkan, adalah mengedukasi kaumnya tentang cara mencegah penularan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu.

Pekerjaannya tidak gampang. Ia harus ekstra sabar menghadapi teman-temannya yang secara psikologis merasa tersisih, terabaikan, dan tersudutkan.

“Kalau di kelompok gay itu harus hati-hati karena mereka sensitif. Salah ngomong sedikit, bisa mendidih. Mereka suka bilang, ‘ngapain ngurus hidup orang, hidup maneh geus bener encan (hidup kamu sudah benar belum)’?’” kata Anggi saat ditemui Rappler di sekretariat LSM Wisma di Jalan Sadananya, Kabupaten Ciamis, pada 16 Maret lalu. 

“Jadi harus hati-hati. Mereka merasa kalau semua ini aib dan bisa membuat orangtua malu bagi mereka yang belum terbuka seperti aku,” katanya.

Meski ke sesama gay, Anggi perlu menyelami berbagai karakter teman-teman yang ia dampingi. Dengan begitu ia bisa menyampaikan bagaimana caranya agar terhindar dari HIV/AIDS.

“Kalau pencegahan sekarang udah gampang ya. Mau tes udah murah, kondom juga tersedia. Tinggal mengedukasi mereka tentang hubungan yang sehat,” ujar pria yang beberapa kali menjuarai lomba model di Ciamis ini.

Di Ciamis, Anggi mendampingi sekitar 600-an orang gay. Dari jumlah tersebut, sekitar 15 orang sudah terinfeksi HIV.

“Saya mendampingi dan memberi dukungan pada mereka yang sudah positif. Kebetulan, saya adalah seorang buddies (layanan sahabat bagi ODHA), pernah dapat pelatihannya,” kata Anggi.

‘Gay dan transgender paling rentan HIV/AIDS’

Berbeda dengan Anggi, petugas lapangan LSM Wisma lainnya, Anggur Sanjaya, mendampingi kelompok waria.

Anggur bergabung menjadi petugas lapangan pada 2013 setelah lama hidup di jalanan. Ia merasa terpanggil untuk terlibat dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di kelompoknya, apalagi setelah dua orang temannya meninggal dunia karena terinfeksi.

”Untuk kelompok lesbian, perilaku seksual mereka tidak terlalu berisiko dibanding GBT.”

“Saya menjelaskan kepada teman-teman gimana supaya tidak tertular HIV. Kan banyak teman-teman saya yang masih mangkal (menjajakan seks, red) karena kebutuhan ekonomi. Saya bilang pencegahan nomor satu. Jangan lupa pakai kondom,” kata Anggur.

Selain mengingatkan penggunaan kondom, Anggur juga mendorong teman-temannya untuk melakukan tes berkala. Karena semakin dini diketahui terinfeksi, semakin cepat bisa ditangani. Saat ini, tiga orang temannya diketahui telah positif HIV.

“Selama ini banyak teman-teman waria saya yang tidak tahu kalau hubungan sesama jenis yang mereka lakukan itu bisa mengakibatkan mereka tertular atau menularkan HIV,” ujar Anggur.

Ketua LSM Wisma, Deni Wahyudi, mengungkapkan kelompok waria dan gay adalah populasi kunci atau kelompok masyarakat yang memiliki resiko tinggi tertular HIV. Oleh karenanya dibutuhkan orang-orang seperti Anggi dan Anggur untuk menjangkau kelompok tersebut. 

Kelompok lainnya yang juga memiliki resiko tinggi adalah biseksual. Gay, biseksual, dan transgender (GBT) ini masuk dalam kelompok lelaki suka lelaki atau LSL. 

“Kenapa kelompok GBT ini rentan tertular? Karena prilaku seksual mereka. Sedangkan untuk kelompok lesbian, perilaku seksual mereka tidak terlalu berisiko dibanding GBT. Tapi kami juga telah menjalin komunikasi dengan mereka untuk melakukan pendampingan,” kata Deni.

Kasus HIV/AIDS di kelompok GBT mulai terungkap pada 2013 ketika Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis mulai masuk ke kelompok tersebut dengan melibatkan LSM Wisma. 

Pada tahun itu, ditemukan 10 kasus positif HIV pada kelompok homoseksual. Temuan kasus terus bertambah setiap tahunnya. 

Pada 2014 ditemukan 11 kasus baru positif HIV. Tahun berikutnya ditemukan lagi 17 kasus. Hingga total kasus dalam tiga tahun terakhir berjumlah 38 kasus. 

Berdasarkan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Jawa Barat, saat ini terdata ada sekitar 20 ribu orang yang terinveksi HIV/AIDS di Jawa Barat, sementara 20 persennya merupakan kelompok LSL. Khusus untuk kelompok tersebut, jumlah kasusnya mengalami kenaikan, terutama penularan pada wanita resiko rendah, yaitu ibu rumah tangga. 

Guna mengantisipasi penularan dari kelompok tersebut, KPA Jabar terus melakukan edukasi supaya kelompok ini tidak menyebarkan HIV ke kelompok lain.

“Kita terus melakukan edukasi kepada kelompok tersebut. Kita juga mengedukasi mereka untuk melakukan prilaku hidup sehat, jangan sampai menularkan,” kata Sekretaris Harian KPA, Iman Tedja.

Akibat salah asuhan

Menurut Dinkes Ciamis, akar masalah dari munculnya komunitas LGBT adalah pola pengasuhan yang salah.

Menurut Nova Dahliana, pengelola program HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis, pihaknya memiliki sejumlah langkah untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di kalangan LSL.

Nova menuturkan, Dinas Kesehatan bekerja sama dengan KPA Kabupaten Ciamis dan lembaga swadaya masyarakat seperti LSM Wisma. Selain itu, disediakan pula layanan konseling di 14 puskesmas dan satu rumah sakit di wilayah Ciamis.

Fasilitas lainnya bagi kelompok beresiko tinggi adalah tes HIV gratis dan layanan Care Support and Treatment (CST).

“Harapannya nanti yang sudah menjadi LSL bisa mengubah prilakunya. Kami juga melakukan pencegahan dengan memberikan penyuluhan kerjasama dengan Dinas Pendidikan, Badan Keluarga Berencana dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Sehingga komunitas ini (LGBT) tidak menjadi besar. Kalau sudah terlanjur, kami menyediakan ruang konseling,” papar Nova.

Mencegah berkembangnya populasi LGBT, kata Nova, menjadi salah satu cara menanggulangi peningkatan kasus di kelompok penyuka sesama jenis. Berdasarkan data LSM Wisma, jumlah LSL di Ciamis saat ini mencapai 1.600 orang. 

Menurutnya, akar masalah dari munculnya komunitas LGBT adalah pola pengasuhan yang salah.

“Karena itu kami kerjasama dengan P2TP2A dan juga PKK. Jadi ibu-ibu tahu bagaimana cara pengasuhan yang benar,” ujarnya.

Cara itu diamini Deni. Dari hasil pendampingannya dengan komunitas LGBT, menurut Deni, akar masalahnya ada di keluarga. Seperti pengakuan Anggi dan Anggur yang merasa diabaikan oleh orangtua di masa kecil.

“Jadi lebih baik pemerintah kasih program tentang parenting, psikologi anak. Kan setiap bulan ada kumpulan PKK, kenapa tidak dibikin seperti itu? Ada pengajian, kenapa tidak dipakai untuk sosialisasi?” kata Deni.

Dengan cara seperti itu, lanjut Deni, tidak akan lagi muncul bibit-bibit LGBT. Menurutnya, percuma saja memberantas komunitas LGBT yang sudah ada.

“Bukannya komunitas yang ada diberantas, disuruh tobat. Tapi, jangan sampai muncul komunitas baru. Mereka itu termarjinalkan, kecewa, tidak terdidik, dan terabaikan,” ujarnya.

“Wisma mengurangi dampak dari perilaku berisiko, bukan memberantas perilaku. Karena itu natural sebagai manusia. Siapa kita yang bisa melarang hal itu,”

Namun Deni menyayangkan perhatian pemerintah yang masih minim. Beberapa stakeholders malah dinilai bekerja sendiri, tanpa koordinasi.

“Kita gerakan harus semakin masif tapi perhatian pemerintah semakin lemah. Baru dalam tataran ngeh, belum ke teknis. Antisipasinya masih sektoral dan sebatas seremonial. Kalau ada undangan datang, tapi belum ada program-program yang bisa menangani langsung,” ungkap Deni.

Di lain pihak, Bupati Ciamis Iing Syam Arifin mengklaim telah melakukan sejumlah langkah penanggulangan HIV/AIDS, termasuk di kelompok LGBT. Hanya saja, kata Iing, penanganan untuk kelompok tersebut berbeda dengan kasus penyakit lainnya. 

“Kalau langkah-langkah, pasti ya. Saya kan sebagai Ketua KPA bertanggung jawab. Yang kedua, mereka juga punya hak untuk melindungi dirinya. Jadi kalau dikatakan caranya, ya pasti caranya berbeda. Tapi upaya sudah dilakukan,” tutur Iing saat ditemui Rappler di pendopo Kabupaten Ciamis.

Iing juga mengaku telah menyosialisasikan pola pengasuhan yang tepat di sekolah-sekolah, PKK, Dharma Wanita, dan di lingkungan pegawai Pemkab Ciamis. Meski demikian, Iing menyadari ada kendala dalam menangani kelompok tersebut. 

“Tapi karena ada sesuatu hal yang menyangkut secret dari mereka, jadi kita tidak bisa kumpulkan semua yang penyakit ini. Ada cara-cara khusus yang ditangani oleh KPA,” katanya.

Tapi Iing menolak mengungkapkan cara-cara khusus yang dilakukan. “Sudah. Upayanya kan sudah tadi saya ungkapkan. Teknisnya tidak bisa dibicarakan,” ujarnya.

Terhadap keberadaan LGBT di wilayahnya, Iing mengaku prihatin. Namun, Pemerintah Kabupaten Ciamis tidak akan menolak keberadaan mereka.

“Prihatin. Enggak (menolak), itu hak mereka sebagai manusia,” kata Iing. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!