LSM: Pemprov DKI tak patuhi aturan soal proyek reklamasi

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

LSM: Pemprov DKI tak patuhi aturan soal proyek reklamasi

ANTARA FOTO

Pemerintah pusat sejak lama menolak proyek reklamasi Teluk Jakarta dilanjutkan.

JAKARTA, Indonesia – Sikap keras kepala Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama untuk tetap melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta dinilai tak patuh pada aturan. Padahal, pemerintah pusat sudah tak lagi ingin proyek reklamasi dilanjutkan.

“Seharusnya (Ahok) mengimplementasikan keputusan DPR dan KKP supaya reklamasi dihentikan,” Sekretaris Jenderal Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik di Jakarta pada Minggu, 17 April.

Hal ini telah disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti usai rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 13 April lalu.
Namun, jauh sebelumnya, pendiri maskapai Susi Air itu sudah menyatakan penolakannya terhadap pembangunan pulau buatan di kawasan Teluk Jakarta itu. Karena enggan adu mulut dengan Ahok, sapaan Basuki, Susi memilih bungkam.

Penghentian sementara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang reklamasi Teluk Jakarta menjadi celah masuk bagi Susi.

“Proses reklamasi Pantura Jakarta dihentikan sementara sampai memenuhi ketentuan yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan,” kata Susi.

Pemprov seharusnya patuhi aturan

Pada hari Minggu, Riza dan kawan-kawan dari Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya termasuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mengimbau para nelayan agar tak rusuh selama aksi unjuk rasa. Rappler yang ikut berada di lokasi melihat aksi peletakkan spanduk dan orasi sebagai simbol ‘penyegelan’ nelayan di Pulau G, memang berlangsung kondusif.

Sempat terjadi kericuhan kecil, namun tak berujung baku hantam. 300 peserta aksi datang dan meninggalkan Pulau G tanpa merusak apapun.

“Ini mencontohkan kalau nelayan saja bisa patuh pada undang-undang yang ada. Masa pemerintahnya lebih patuh pada korporasi?” kata Riza.

Menurut dia, seharusnya pemimpin lebih bisa patuh pada hukum yang berlaku, untuk menjadi contoh rakyatnya. Reklamasi sendiri memang menyisakan banyak lubang dari sisi hukum.

Seperti PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group, yang sudah membangun deretan rumah toko serta apartemen, padahal raperda yang melandasi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) saja belum ada. Lebih parah lagi, ruko-ruko tersebut sudah habis terjual.

Selain itu, Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang juga menjadi salah satu persyaratan mulainya pembuatan pulau, juga belum ada. Menurut Riza, penting sekali untuk mengetahui audit dari dampak industri apa saja yang akan ada di Teluk Jakarta. Dengan demikian, bila ada pencemaran, pemerintah dapat dengan mudah menelusuri industri dan perusahaan mana yang bertanggung jawab.

Saat ini, KKP dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tengah mengusut aturan yang bolong seperti ini.

“Mereka juga harus mencermati implementasinya di lapangan,” kata Riza.

Ada beberapa nelayan yang mengatakan, meski sudah diperintahkan berhenti, pengembang masih bandel memperluas pulau buatan mereka ini.

Tak libatkan masyarakat

PROYEK REKLAMASI DIHENTIKAN. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (tengah) bersama Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarief Widjaja (kiri) dan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Bramantya Satyamurti Poerwadi (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan terkait proyek reklamasi Teluk Jakarta di Jakarta, Jumat, 15 April. Foto oleh Rivan Awal/ANTARA

Ahok dinilai tak melibatkan masyarakat nelayan setempat saat memutuskan untuk melanjutkan reklamasi. Padahal, orang-orang ini menjadi pihak yang terpengaruh dengan perubahan alam akibat pembangunan pulau buatan.

Setelah pengurukan dimulai 3 tahun lalu, lautan di sekitar Muara Angke mengalami pendangkalan. Selain itu, ikan-ikan, cumi, serta kerang yang sebelumnya dapat dengan mudah diperoleh nelayan cukup dengan melaut 15-20 menit saja, kini tinggal kenangan.

Menurut Mamat, selah satu nelayan, kini ia dan kawan-kawannya harus memutar jauh untuk mencari tangkapan. Itu pun berkurang drastis, dari yang dulu bisa 2 ton sekali melaut, kini hanya beberapa kwintal saja. Penghasilan mereka melorot hingga setengahnya.

“Kembalikan ikan-ikan kami!” kata pria 30 tahun itu dengan suara serak menahan marah.

Pengacara LBH Jakarta yang mendampingi nelayan, Tigor Hutapea, mengatakan dampak separah itu terjadi saat Pulau G baru selesai 16 hektar, dari total luas 161 hektar.

“Daripada reklamasi, sebenarnya lebih bagus rehabilitasi,” kata Riza.

Dengan demikian, pemerintah bisa menjamin kelangsungan hidup masyarakat nelayan, karena ikan-ikan di Teluk Jakarta sehat.

Ke depannya, Pemerintah Provinsi, KLHK, dan KKP perlu duduk bersama untuk membahas kelanjutan reklamasi ini. Keputusan yang diambil harus memulihkan kembali hak warga dan mengembalikan fungsi ekologis lingkungan.

Optimistis terhenti

Meski masih memiliki ujung yang kabur, Riza optimistis pemerintah akhirnya akan menghentikan reklamasi. Beberapa hal yang menjadi indikator, adalah tingginya penolakan masyarakat, serta pergerakan DPR, KKP, dan KLHK.

“Besok Senin, KLHK dan DPR akan berbicara tentang masa depan reklamasi Teluk Jakarta,” kata dia.

Riza mengatakan, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron akan menyerahkan surat rekomendasi penghentian reklamasi ke Presiden Joko Widodo pada hari yang sama. Namun, saat dikonfirmasi Rappler, Herman belum memberikan respons. -Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!