Hukuman cambuk di Aceh: Salah pemerintah atau korban?

Camelia Pasandaran

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hukuman cambuk di Aceh: Salah pemerintah atau korban?
Tidakkah pemerintah Aceh berhak menentukan aturan yang menurut mereka baik?

Ketika untuk pertama kalinya hukuman cambuk dijatuhkan bagi RS, seorang perempuan Kristen di Aceh, masyarakat, baik dalam percakapan sehari-hari, diskusi melalui media sosial, maupun melalui media massa menyuarakan berbagai opini yang berbeda-beda.

Setidaknya ada tiga kelompok besar opini yang bisa teramati. Yang pertama adalah yang menyalahkan pemerintah Aceh yang dianggap menerapkan hukum yang tidak sejalan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM). Yang kedua, yang menyalahkan pemerintah pusat karena dianggap mengabaikan adanya pelanggaran HAM di sana.

Yang ketiga, dan tidak terlalu banyak disuarakan adalah, menyalahkan “korban” karena dianggap tidak bisa patuh dengan aturan budaya setempat.

Reaksi pertama saya, sama seperti kebanyakan orang yang memperhatikan HAM, adalah menyalahkan pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk hukuman cambuk 28 kali bagi RS pada Selasa, 12 April.

“Jokowi diam saja,” kata Pendeta Domidoyo Ratupenu, seorang aktivis keberagaman yang pernah beberapa tahun bermukim di Aceh, kepada saya, Minggu, 16 April. 

“Kalau pemerintah pusat bersikap jelas menyatakan bahwa penerapan Qanun Jinayat adalah pelanggaran terhadap konstitusi, maka saya yakin kelompok Islam seperti NU akan mendukung pemerintah,” ujarnya.

Saya sepakat. Pemerintah memang diam. Dan ini bisa jadi salah satu dari beberapa yang dianggap sebagai penyebab masalah. Selain kediaman, kontrol pemerintah terhadap peraturan daerah di Aceh tak terlihat, kalau tidak mau mengatakan tidak ada.

Lalu selain pemerintah pusat, apakah tepat menyalahkan pemerintah Aceh? Tidakkah mereka berhak menentukan aturan yang menurut mereka baik? 

Dalam persepsi aktivis HAM, hukuman cambuk sebagai bentuk hukuman badan ini adalah pelanggaran HAM. Namun dalam perspektif sebagian pembuat aturan di sana, keputusan ini mungkin terkait dengan keinginan untuk menerapkan efek jera bagi para pelanggar sehingga tidak ada yang menirunya.

Apakah berhasil? Jawabannya tidak. Pelanggaran itu masih ada. Tapi saya tidak berwenang mengevaluasi dari sisi hukum.

Sementara mereka yang menyalahkan RS — perempuan berusia 60 tahun yang dinyatakan bersalah karena menjual minuman keras — menyatakan kurang lebih hukuman cambuk layak diberikan karena dia melanggar aturan lokal. 

Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Jadi salah siapa?

Dari perspektif komunikasi, ini bisa dilihat dari dua aspek: komunikasi antarbudaya dan teori spiral kediaman. Saya tidak mau membahas mengenai HAM maupun sisi hukum Islam, karena kalaupun penting, itu bukan ranah yang saya kuasai dan sudah sering dibahas.

RS, yang melihat dari asal nama belakangnya berasal dari Sumatera Utara, sepertinya gagal menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Dalam hukum Islam yang diterapkan di Aceh, minuman beralkohol jelas dilarang.

“Kalau kamu dan banyak orang Islam lainnya tidak setuju, kenapa diam saja? Kediaman itu jadi seperti bentuk persetujuan terhadap tindakan mereka.”

“Di belakang gereja saya dulu ada lapo. Dan di sana memang banyak orang dari etnis tersebut yang berjualan minuman keras,” kata Pendeta Domi.

Berlokasi berdekatan satu sama lain, warga Sumatera Utara dan Aceh memang sangat mungkin bersinggungan satu sama lain. Konflik dua budaya yang berbeda dengan mudah bisa terjadi kalau masing-masing tidak memahami cara komunikasi antarbudaya yang baik.

Lalu siapa yang mesti menyesuaikan dengan budaya siapa? Tanpa memandang suku dalam kasus RS, pendatang selalu diharapkan bisa menyesuaikan diri dengan budaya tuan rumah, termasuk juga mematuhi aturan budaya setempat. 

Lalu bagaimana kalau aturan budayanya tidak sejalan dengan nilai yang seseorang anut? Pilihannya hanya dia menyesuaikan diri, dia meminta budaya tuan rumah menyesuaikan diri atau urung ke sana, dalam artian tidak pergi ke tempat tersebut.

Kalau pilihannya sudah diambil, pergi ke suatu daerah yang berbeda budayanya, maka jalan yang paling mungkin adalah menyesuaikan dengan budaya tuan rumah. Tidak mungkin meminta seluruh anggota budaya, termasuk otoritas budaya untuk memahami seseorang yang berbeda. Dalam hal ini, RS seharusnya memang tidak menjual minuman keras. Toh dengan tidak menjual minuman keras, itu tidak bertentangan dengan budayanya.

Namun demikian, penting untuk menggarisbawahi bahwa meski terlihat ada “kesalahan lintas budaya” yang dilakukan RS, ini tidak berarti saya menyetujui hukuman cambuk.

Spiral kediaman

Dalam suatu diskusi, seorang teman di media tempat saya bekerja dulu menyatakan bahwa dia gemas dengan kelakuan kelompok garis keras Front Pembela Islam (FPI). Saya akhirnya menyuarakan apa yang ada di benak saya selama beberapa tahun.

“Kalau kamu dan banyak orang Islam lainnya tidak setuju, kenapa diam saja? Kediaman itu jadi seperti bentuk persetujuan terhadap tindakan mereka,” kata saya.

Jawabannya, “Kalau saya bicara, seperti di media sosial, pasti nanti ada yang langsung judge ‘kamu bukan orang Islam ya?’ Ini bikin males berkomentar.”

Ada banyak teman saya beragama Islam yang tidak suka dengan kelompok intoleran yang berpikir yang sama. Mereka enggan menyuarakan opini karena khawatir disalahartikan. Namun ada juga yang aktif menyuarakan ketidaksetujuan mereka. Sayangnya, suara mereka yang memilih menyatakan pendapat mereka ini tidaklah sekeras suara kelompok intoleran ini.

Jumlah kelompok intoleran memang tidak besar. Namun tindakan ekstrim yang kerap mereka lakukan mendapatkan tempat yang relatif besar di media, menjadikan mereka seolah-olah besar.

Lalu apakah diam sikap yang tepat? Tidak kalau menurut Spiral of Silence Theory, atau Teori Kediaman.

Menurut teori yang dikenalkan pada 1974 oleh warga Jerman Elisabeth Noelle-Neumann, orang yang percaya bahwa sudut pandang mereka terkait satu isu tertentu adalah pandangan minoritas akan tetap membuat mereka ada di “latar belakang”. Ini menghalangi komunikasi mereka ke luar. Sebaliknya, mereka yang percaya bahwa sudut pandang mereka adalah sudut pandang mayoritas akan lebih terdorong untuk bicara.

Akibatnya, suara minoritas makin lama akan makin tenggelam sejalan dengan suara mayoritas yang makin menguat. Bila ini dibiarkan, maka suara minoritas akan menghilang.

Lalu bagaimana mengakhiri masalah ini?

Kembali ke perspektif komunikasi antarbudaya, RS dan kita semua harus belajar untuk menghargai budaya tempat kita berkunjung atau singgah untuk waktu tertentu. Ini berguna untuk mencegah konflik yang tak perlu.

Yang kedua, bagi masyarakat atau kelompok masyarakat yang peduli terhadap hal ini, keprihatinan tidak cukup. Kepedulian, bila ditempatkan dalam teori spiral kediaman ini, akan menghilang bila tidak disuarakan dengan strategi yang tepat.

Bentuknya tentu saja bukan koar-koar individu yang juga akan menghilang di tengah kebisingan namun membentuk upaya kolektif untuk menyuarakan ini. Upaya kolektif, melalui atau tanpa melalui kelompok atau individu berpengaruh, bisa digunakan untuk mendorong pemegang kekuasaan, baik di daerah maupun pusat, untuk mengambil sikap yang benar.

Yang ketiga, upaya untuk mencegah hilangnya suara minoritas bisa dilakukan oleh media. Dalam diskusi terkait intoleransi, seorang pemimpin redaksi media di Indonesia pernah mengatakan bahwa tidak perlu berimbang ketika meliput isu intoleransi. Orang-orang yang menyerukan semangat intoleransi tidak perlu diberikan wadah di media. Tujuannya adalah agar suara mereka tidak semakin besar.

Pada saat yang sama, media seharusnya memberikan tempat bagi kelompok minoritas untuk menyuarakan pandangan mereka dan pada mereka yang mendukung upaya untuk menghilangkan diskriminasi terhadap kelompok intoleran. —Rappler.com

Camelia Pasandaran adalah mantan jurnalis media cetak dan online. Ia adalah dosen komunikasi antarbudaya dan jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara (UMN).

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!