Indonesia

Wanita yang serahkan surat tuntutan rekonsiliasi ’65 kepada Jokowi

Rika Theo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Wanita yang serahkan surat tuntutan rekonsiliasi ’65 kepada Jokowi
Francisca dan suaminya juga menjadi korban penangkapan tragedi 1965. Cisca berhasil dibebaskan, namun suaminya meninggal saat ditahan di Nusa Kambangan.

This compilation was migrated from our archives

Visit the archived version to read the full article.

DEN HAAG, Belanda – Di usianya yang ke-90, Francisca C. Pattipalohy berkesempatan menjabat tangan Presiden Indonesia, Joko Widodo. Ia menangis terharu usai melakukannya.

Namun harunya bukan karena jabatan tangan seorang pimpinan negara. Cisca, begitu ia biasa dipanggil, menjadi orang pertama yang menyampaikan langsung surat terbuka untuk menuntut rekonsiliasi korban 1965 ke presiden.

Dalam surat itu, Cisca menaruh harapannya selama puluhan tahun. Kesempatan itu langka dan Cisca sendiri tak menyangka.

Pada Jumat, 22 April siang itu, Cisca bergabung bersama para eksil dan aktivis yang terlibat dalam Pengadilan Rakyat di Den Haag untuk Peristiwa 1965 (IPT 1965). Mereka mengadakan aksi bersama di depan Hotel Kurhaus, Scheveningen, Den Haag, tepat ketika Jokowi dan menteri-menterinya tengah menggelar rapat bisnis dengan pengusaha-pengusaha Belanda.

Jumlah mereka tidak banyak, bahkan kalah jauh dari massa pendukung Jokowi yang mengibar-ngibarkan bendera merah putih di tempat yang sama. “No reconsiliation without truth finding,” begitu bunyi spanduk besar yang mereka bawa.

Tekad mereka satu, Presiden sendiri yang harus menerima surat terbuka berisi penegasan bagaimana rekonsiliasi sebaiknya dilakukan. Maklum, beberapa hari berselang, dalam Simposium 1965 di Jakarta, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan menyatakan negara tidak bermaksud meminta maaf atas peristiwa 1965.

Surat itu tidak sekedar menyesalkan pernyataan Luhut. Para eksil dan aktivis IPT 1965 menegaskan ada lima hal yang mesti dilakukan pemerintah jika serius melakukan rekonsiliasi.

Pertama, rekonsiliasi hanya bisa dicapai dengan pengungkapan kebenaran. Caranya, melanjutkan secara yudisial laporan Komnas HAM.

Kedua, pemerintah memfasilitasi rekonsiliasi nasional dan daerah. Misalnya dengan memfasilitasi penguburan kembali, memorialisasi, dan rekonsiliasi akar rumput.

Ketiga, pemerintah merehabilitasi korban 1965, termasuk merehabilitasi nama Soekarno. Caranya, atas nama negara, meminta maaf kepada korban 1965 khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Sudah 50 tahun lebih sejarah tidak diceritakan dengan jujur.

Keempat, pemerintah melakukan penyelidikan nasional berdasarkan dokumen dan kesaksian yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh Komnas HAM, Komnas Perempuan, organisasi non pemerintah, perguruan tinggi dalam dan luar negeri, serta kesaksian di Pengadilan Rakyat 1965 pada November 2015 lalu.

Kelima, pemerintah wajib meluruskan sejarah. Penulisan kembali sejarah sesuai fakta, penting dilakukan, terutama mengubah materi pendidikan formal dan informal.

Pemerintah juga wajib secara hukum mencabut semua regulasi, kebijakan, dan praktik-praktik yang mendiskriminasi korban dan keluarganya.

Berkah tubuh mungil dan rambut putih

BERTEMU JOKOWI. Francisca C. Pattipalohy (ketiga dari kiri) ketika ikut menunggu kedatangan Presiden Joko Widodo di depan Hotel Kurhaus pada Jumat, 22 April. Foto oleh Aboeprijadi Santoso/Rappler     

Cisca hendak menyampaikan langsung semua tuntutan itu ke mata Jokowi. Siang itu, akhirnya ia dan seorang eksil lainnya, Soengkono, berhasil masuk ke dalam Hotel Kurhaus berkat bantuan seorang rekan. Mereka dibawa masuk ke dalam ruang rapat bisnis dan menunggu di dalam selama tiga perempat jam bersama tamu-tamu lain.

“Jam 12 mulai datang menteri dan orang-orang Belanda dan kami berdiri menunggu Jokowi. Mereka semua tinggi-tinggi. Saya pikir ini sudah nggak akan berhasil karena saya kecil,” tutur Cisca.

Tapi justru karena bertubuh mungil itulah Cisca berhasil menyelinap di sela-sela kerumunan orang sampai ke depan.

Ketika Jokowi berjalan melewati kerumunan orang, Cisca nekad maju. “Saya tidak menyangka dia mau berhenti. Saya serahkan suratnya. Dia beri tangan, saya seperti mendengar dia bilang, sudah tahu,” ujarnya.

Belakangan Cisca baru diberitahu Soengkono bahwa ada Paspampres yang mengingatkannya, namun ia tak dengar. “Mungkin karena saya perempuan berambut putih semua, jadi mereka tak melarang,” kata dia.

Tugas Cisca selesai dengan baik. Sesaat sesudah Jokowi meninggalkan hotel Kurhaus, Cisca kembali ke rekan-rekannya yang masih berdemo dan disambut dengan sukacita bercampur haru. Dyah Kathy, mahasiswa berusia 23 tahun yang ikut dalam aksi tersebut, menceritakan yang terjadi ketika itu.

“Bu Cisca bilang, ‘Saya berhasil.’ Kami semua senang banget. Bu Cisca menangis bersama Bu Ratna, Bu Nursyahbani, dan Saskia. Saya jadi hampir menangis juga. Mengharukan melihat bagaimana perempuan berusia 90 tahun masih begitu semangatnya melakukan ini semua,” ujar mahasiswa yang sudah setahun kuliah di Den Haag itu.

Singkat kata, surat sudah sampai ke tangan Jokowi langsung. Kini, para eksil dan aktivis itu menantikan apa tindak lanjut yang akan diambil pemerintah.

Menjadi perempuan yang berdaya

Atas apa yang ia lakukan, Cisca mengatakan bahwa perempuan perlu menjadi berani. Perempuan juga harus berdaya. Itulah yang ia percayai dan lakukan sampai kini.

Ia mengaku mempelajari tentang kesetaraan perempuan di negeri Belanda ketika belajar ilmu hukum di Leiden pada tahun 1948. Cisca berasal dari keluarga berada di masa itu.

Ayahnya seorang arsitek Maluku yang terkenal. Ibunya berijazah sekolah medis, namun tak dibolehkan bekerja.

“Saya heran melihat ibu saya. Di rumah ada pembantu, jadi waktunya pun banyak. Tapi kenapa dia tak bekerja? Karena itulah yang terjadi pada perempuan yang menikah. Waktu itu saya berpikir, kalau begitu saya tidak usah menikah saja,” kenangnya.

Namun di Leiden, ia bertemu dengan pria yang kelak menjadi suaminya, Zain Nasution. Pria itu aktif pula di organisasi Rukun Pelajar Indonesia (RUPI), sebuah perkumpulan pelajar Indonesia di Leiden.

Pada tahun 1949, agresi militer ke-2 Belanda meletus. Zain merupakan satu dari 17 pelajar Indonesia yang mengembalikan uang beasiswanya ke pemerintah Belanda.

Di saat kejepit itu, Zain memperoleh beasiswa lain ke Praha, Ceko.

“Kami pergi ke Praha dan menikah di sana. Sebelumnya kami ingin menikah di Belanda, tapi saya tidak mendapat izin ayah saya. Padahal di Belanda saat itu, perempuan di bawah 30 tahun yang akan menikah harus dengan izin dari ayahnya,” kata Cisca.

Namun akhirnya ayah Cisca luluh. Pada Januari 1951, sang ayah bahkan membayari tiket kepulangan pasangan ini ke Indonesia. Kemudian di Jakarta, Cisca yang menguasai empat bahasa asing yakni Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis, bekerja di perpustakaan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja. Sementara Zain bekerja sebagai jurnalis Harian Rakyat yang beraliran kiri.

Cisca juga mendapat pekerjaan mengajarkan bahasa Inggris secara privat ke nyonya-nyonya di kedutaan besar negara-negara Eropa Timur.

“Gajinya besar karena dibayar per jam. Karena itu, semua gaji suami, diberikan kembali ke Harian Rakyat. Keluarga kami hidup dari gaji saya itu.”

Dengan empat orang anak, Cisca tetap aktif bekerja. Sampai jam 2 siang, ia bekerja sebagai kepala perpustakaan di Kementrian PU, lalu sorenya ia memberi les privat.

“Tidur lima jam cukup bagi saya,” ujarnya.

Pada 1963, Cisca ikut aktif sebagai penerjemah dalam Afro Asia Journalist Association (AAJA). Organisasi ini merupakan buah dari Konferensi Asia Afrika di Jakarta.

Cisca pun kerap ikut dalam berbagai kegiatan AAJA sebagai penerjemah. Dengan berbagai pekerjaannya itu, Cisca mengatakan ia tak pernah menjadi satu pun anggota organisasi yang dibentuk PKI.

Petaka 1965

Peristiwa 30 September 1965 terjadi dan keluarganya tak luput. Pada Desember 1965, Cisca dibawa ke Kostrad sebagai saksi sementara Zain sudah lebih dulu ditahan di Salemba.

Selama 8 hari Cisca berada di sana namun tidak diapa-apakan.

“Mungkin karena ayah saya. Kelas dan uang turut berperan dalam perlakuan terhadap mereka yang ditangkap,” ujarnya.

Hari ke-8 ia baru diinterogasi hingga kemudian dipindah ke penjara Bukit Duri. Namun di Bukit Duri, statusnya pun tidak menjadi tahanan walau ia tinggal dalam sel bersama 6 perempuan tahanan politik lainnya.

“Saya ingat ada kakak beradik di sel itu. Si kakak, 16 tahun, anggota Pemuda Rakyat. Si adik baru berumur 11 tahun dan tak tahu apa-apa. Badan mereka penuh sundutan rokok setiap kali selesai interogasi. Si adik terus menangis, kapan saya bisa keluar dari sini,” tutur Cisca.

KORBAN TRAGEDI 1965. Francisca C. Pattipalohy di kediamannya. Foto oleh Aboeprijadi Santoso/Rappler       

Pada akhirnya kabar Cisca berada di Bukit Duri sampai ke telinga ayahnya. Sembilan bulan setelah ia ditahan, Cisca dibebaskan.

“Saya tidak pernah tahu berapa ayah saya membayar untuk melepaskan saya. Status saya selalu saksi namun tak pernah diperiksa sehingga tak bisa keluar juga. Ketika ayah tahu, dia membayar agar saya bisa diinterogasi,” ungkapnya.

Interogasi itu pun aneh menurutnya. Pertanyaannya tidak jelas dan ia selalu diminta menyebut nama. Namun Cisca bergeming. Argumennya kuat karena ia tidak pernah ikut anggota organisasi mana pun. Lagipula pada 1 Oktober 1965 itu ia tengah berada di Beijing menghadiri Ganefo (Games of The New Emerging Forces).

Selepas penjara, Cisca harus melanjutkan hidupnya dan menjadi tiang keluarga. Ia bisa mengajar bahasa lagi di kedutaan, namun tak bisa lagi bekerja di Kementerian PU. Saban bulan Cisca mengunjungi suaminya di penjara Salemba.

Sampai pada tahun 1968, ayah Cisca memutuskan mereka sekeluarga harus pindah ke Belanda. Pada waktu itu, Cisca berniat tidak ikut. Ia sudah mendapatkan pekerjaan sebagai penerjemah di sebuah lembaga PBB untuk pendidikan.

“Rencananya saya akan mengirim gaji saya untuk biaya anak-anak di Belanda. Namun ayah saya bilang, dia tidak mau membawa anak-anak saya kalau saya tidak ikut. Anak kamu akan kehilangan kedua orang tuanya, itu kata ayah saya. Akhirnya itu yang membuat saya berubah pikiran,” tuturnya.

Namun di tengah suasana yang masih mencekam itu, Cisca harus merahasiakan rencana kepergiannya dari siapa pun. Bahkan dari suaminya sendiri.

Ayahnya melarangnya sebab khawatir rencana kepergian itu terendus.

Saking berhati-hatinya, sang ayah juga mengganti pesawat yang akan membawa mereka ke Belanda. Semula, mereka akan terbang dengan Garuda Indonesia, namun sang ayah kemudian memilih pesawat Air France di hari yang sama.

Dengan pesawat itu, mereka sekeluarga berangkat dua jam lebih awal dari jadwal pesawat Garuda ke Belanda.

Pesawat Garuda itu mengalami musibah. Ia jatuh di India dan membawa semua penumpangnya tewas.

“Termasuk istri mantan menteri kesehatan. Seandainya kami naik Garuda, kami semua sudah tidak ada,” ujarnya.

Di Belanda, Cisca memulai kembali hidupnya. Ia tak bisa mengontak suaminya lagi, namun ia selalu menitipkan uang lewat saudaranya untuk dikirim ke penjara suaminya. Sampai pada Desember 1979, ada surat dari penjara bahwa Zain meninggal di Nusa Kambangan.
“Namun jasadnya tak pernah kembali. Itu pun saya masih lebih beruntung karena banyak juga tahanan yang kematiannya tak pernah dikabarkan ke keluarganya,” kata Cisca.

Namun Cisca tak membiarkan cerita ini berakhir sampai di titik yang menyedihkan itu. Ia bertahan dengan ketegarannya. Sambil membesarkan keempat anaknya di Belanda, ia kembali aktif sebagai perempuan pekerja.

Cisca meneruskan pekerjaannya sebagai pustakawan. Selain itu, ia pun aktif berkegiatan di berbagai organisasi, mulai dari organisasi perempuan, migran, hingga eksil dan HAM.

Pada 26 Januari 2016 lalu, ia berulang tahun ke-90. Di usia ini, ia menjadi perempuan yang menyerahkan surat ke tangan presiden. Surat yang berisi harapannya. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!