Periuk nasi itu bernama Pulau G

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Periuk nasi itu bernama Pulau G

ANTARA FOTO

Kisah dua nelayan yang sudah tua renta, di usianya yang semakin uzur mereka masih lantang meneriakkan penolakan terhadap reklamasi Teluk Jakarta.

JAKARTA, Indonesia—Ilyas, warga Muara Angke, menunjukkan dua ekor ikan seukuran lengannya sambil berujar: “Ini kalau dijual laku Rp 10 ribu, karena 1 kg itu Rp 5 ribu,” katanya.  

Sudah beberapa bulan ini, pria paruh baya ini hanya mampu menangkap 2 kilogram ikan. Jauh dari angka sebelumnya yang bisa mencapai 10 kilogram. Bahkan beberapa koleganya mampu menangkap ikan antara 20-25 kilogram per hari. 

Ilyas menatap dua ekor ikan yang diperolehnya tanpa mengeluh.   

Selain menangkap ikan, Ilyas juga menyewakan perahunya. Mungkin karena ia sudah tua renta. Badannya tak kuat lagi menyokong jala dan tarik-menarik dengan ombak di ujung utara pantai Jakarta. 

Penghasilan dari menyewakan perahu cukup lumayan. Ia biasanya menerapkan bagi hasil dengan nelayan yang menyewa perahunya. Semisal hasil tangkapan mencapai Rp 250.000, maka ia mendapat bagian Rp 150.000. 

Tapi pendapatan itu sebenarnya yang terendah sejak beberapa bulan terakhir. Apa penyebabnya? Sebuah tumpukan pasir di tengah lautan, mirip sebuah pulau. 

Sejak pulau itu dibuat, Ilyas mengaku tak bisa lagi mencari ikan di radius 2 kilometer. Ia harus memutar lebih jauh. 

Pulau itu dikenal dengan nama Pulau G yang merupakan satu dari 17 pulau reklamasi di kawasan Jakarta Utara yang luasnya mencapai 160 hektare.

Pulau ini dikelola dan dikembangkan oleh PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan PT Agung Podomoro Land.

Pengelolaan oleh PT Muara Wisesa berdasarkan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama No. 2238 tahun 2014.

Berbeda dengan Ilyas, Sali, warga Muara Angke lainnya, tak berhenti mengeluhkan hasil tangkapannya yang semakin hari semakin berkurang. 

Ia menuturkan beberapa bulan belakangan ini, ia adu mulut dengan seorang petugas di tengah laut. Tepatnya di tepi Pulau G. 

Sali melanjutkan saat itu ia sedang mencari ikan di sekitar Pulau G, tetapi seorang petugas melarangnya. “Jangan mencari ikan di sini!” kata Sali menirukan sang petugas. Pria yang sudah uzur itu pun tak terima. “Saya melawan!” katanya. 

Perlawanannya sebenarnya demi dapur rumahnya yang harus mengepul. Ia harus memberi makan pada istrinya yang sedang menunggunya di rumah. 

Tapi beberapa hari ini, ia mengaku kesulitan mencukupi kebutuhan keluarganya karena pendapatan yang semakin berkurang. Tempatnya untuk menjala ikan sudah menjadi tumpukan pasir yang bernama Pulau G. 

Kisah Ilyas dan Sali bisa anda saksikan selengkapnya di film dokumenter Rayuan Pulau Palsu yang diproduksi oleh Watchdoc Documentary. 

Sutradara yang menggarap film ini, Rudi Purwosaputro, menuturkan pemilihan kedua tokoh nelayan tersebut memerlukan waktu yang cukup panjang. Kru Watchdoc sempat mengganti tokoh utama sebanyak tiga kali, hingga akhirnya mereka terpilih. Belum lagi proses pendekatan. 

Selain proses yang cukup memakan waktu, Rudi menyebut pemilihan tema di film ini juga penuh perdebatan. Awalnya film ini memasukkan semua unsur permasalah dalam reklamasi Teluk Jakarta, mulai dari hukum hingga kemanusian. 

Hingga akhirnya tema kemanusiaan yang dipilih. 

Apa yang ingin disampaikan oleh film ini? “Saya menginginkan pengambil kebijakan bisa melihat sendiri film ini dan berharap ada perubahan dari pola pikir yang serba wah serba developer,” katanya saat ditemui di markas Watchdoc, Rabu malam, 27 April. 

Permasalahan reklamasi ini memang semakin pelik belakangan, apalagi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi sebagai tersangka dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan pada Kamis, 31 Maret, sekitar pukul 19:30 WIB.

Saat ditangkap, Ketua Komisi D DPRD DKI itu tengah menerima uang suap senilai Rp 1,14 miliar.

Uang suap diberikan oleh TTT, karyawan swasta yang bekerja di PT Agung Podomoro Land, pihak pengembang. Menurut KPK, uang suap diberikan oleh PT Agung Podomoro Land sebagai hadiah berkaitan dengan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang berisi rencana zonasi wilayah pesisir dan rencana strategis pantai Jakarta Utara.

Cacatnya proses legal reklamasi Teluk Jakarta ini kemudian dimanfaatkan oleh komunitas nelayan Muara Angke untuk menggugat. Salah satunya dengan menyegel pulau tersebut pada pertengahan April lalu. 

Hiruk-pikuk penyegelan pulau juga bisa dilihat di film ini. 

Menurut penulis, dalam isu reklamasi, film dokumenter ini masih releven ditonton, apalagi setelah Pemerintah memutuskan untuk melanjutkan pembangunan proyek reklamasi di Teluk Jakarta. 

Keputusan diambil setelah rapat terbatas tentang reklamasi digelar oleh Presiden Joko Widodo dan dihadiri Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Film ini juga sangat direkomendasikan bagi anda yang mendalami isu ekonomi dan sosiologi. Ada potret kehidupan nelayan di Muara Angke yang menarik disimak dan mengundang tanda tanya besar seperti, untuk siapa sebenarnya reklamasi Teluk Jakarta? —Rappler.com

BACA JUGA

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!