Setelah telepon berdering di pinggir laut Calabria

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Namanya sudah hampir dicoret dari daftar pelatih-pelatih juara. Tapi satu panggilan membuat cahaya harapan menyala.

Claudio Ranieri memimpin pasukannya dari pinggir lapangan. Foto: Facundo Arrizabalaga/EPA

Suatu hari di musim panas 2015, di tengah rekan-rekannya, telepon Claudio Ranieri berdering. Dia lantas memohon diri. Ketika itu dia memang sedang liburan di pinggir laut Calabria, sebuah wilayah di bagian selatan Italia.

Ranieri sedang mencari “matahari”. Kawasan selatan yang lebih hangat membuatnya lebih betah bersama rekan-rekannya. Kebetulan, dia sedang menggelar acara libur bareng bersama mantan rekan setimnya di Catanzaro, sebuah klub kecil dari selatan negeri pisa itu.

“Presiden klub ingin menemuimu,” kira-kira kurang lebih demikian suara dari seberang telepon, seperti diceritakan penulis James Horncastle di FourFourTwo.

Saat itu Ranieri memang memasukkan namanya sebagai kandidat pelatih anyar salah satu klub Inggris, Leicester City. Klub semenjana yang baru saja mengakhiri musim 2014-2015 dengan selisih tipis dari zona degradasi.

Ranieri menyisihkan 10 kandidat. Dari 10 nama tersebut, pengurus klub mengerucutkannya menjadi empat kemudian tiga hingga akhirnya dia ditunjuk sebagai sang manajer.

Dering telepon dari satu kota di Midlands alias wilayah tengah Inggris itu tentu begitu menggembirakan hati Ranieri. Sebab, pelatih kelahiran Roma itu sudah hampir menutup pintu untuk membesut tim baru.

Kiprah terakhirnya dalam dunia taktik membuat namanya terjun bebas. Timnas Yunani di tangannya tak pernah menang. AS Monaco, klub kaya baru yang berlaga di Ligue 1, tak pernah menjuarai liga.

Dua tim terakhir yang dia poles tak juga mengkilap.

Situasi itu semakin buruk dengan prestasi tim-tim lain yang dibesut Ranieri. AS Roma paling mentok hanya runner-up Serie A 2009-2010. Begitu juga Chelsea di musim 2002-2003.

Ranieri juga kerap menjadi sasaran olok-olok pelatih lain. Jose Mourinho yang menggantikan dia di Chelsea menyebut Ranieri sebagai seorang pecundang. “Chelsea ingin juara. Makanya mereka menunjuk saya,” katanya kala itu.

Mourinho bahkan sama sekali tak menyebut nama Ranieri saat Chelsea merebut juara dua musim beruntun. Padahal, hampir semua pemain yang menjadi pilar Mourinho adalah rekrutan Ranieri.

Karena itu, tak salah jika media dan fans langsung mencibir keputusan manajemen memilih dia. Mereka menganggap nama Ranieri sudah habis. Kiprahnya di sepak bola bahkan sudah hampir tertutup.

Mereka menganggap Ranieri adalah pilihan desperate Leicester. Dan Ranieri dianggap memilih Leicester juga karena desperate.

Lantas, apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang barangkali namanya tak akan pernah masuk bahkan dalam kandidat“hall of fame”manajer legendaris dunia?

Tapi, keberhasilan ternyata tidak menggunakan logika tersebut. Ranieri mengantar Leicester City meraih gelar Liga Primer untuk kali pertama dalam sejarah klub.

Tim yang hampir terperosok ke kasta kedua kini justru menjadi juara.

Tiga jenis manajer

Claudio Ranieri memberi instruksi kepada Christian Fuchs. Foto: Tim Keeton/EPA

Dalam sebuah wawancara dengan majalah FourFourTwo, Mourinho menyebut ada tiga macam pelatih. Pertama, pelatih dengan kemampuan taktik yang luar biasa. Dia bisa membaca permainan, mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan, dan merespons dengan strategi tim.

Pelatih kedua adalah mereka yang tak banyak memiliki pengetahuan teknis. Tapi, mereka adalah motivator. Baik dengan cara-cara keras atau dengan cara pendekatan “halus” dengan pemain.

Pelatih ketiga adalah gabungan kedua sifat tersebut.

Golongan pertama tentu saja adalah para intelektual sepak bola. Nama-nama seperti Josep “Pep” Guardiola dan Manuel Pellegrini bisa dimasukkan di daftar pertama.

Guardiola memang jenius. Tapi dia kurang bisa mengambil hati pemain. Dia justru terlalu pendiam untuk ukuran seorang komunikator dari pinggir lapangan.

Karena itu, jangan heran jika Zlatan Ibrahimovic sangat berhasrat menantangnya duel karena sering dicuekin saat membela Barcelona.

Jenis ketiga, pintar taktik dan memotivasi pemain. Tentu saja mereka adalah Jose Mourinho, Diego Simeone, dan Carlo Ancelotti. Jika Mourinho dan Simeone melakukan pendekatan keras kepada pemain, Ancelotti sebaliknya.

Pelatih yang musim depan menukangi Bayern Muenchen itu lebih kalem. Dia tak pernah menekan pemainnya habis-habisan seperti Mourinho. Prinsip dia, “Pemain bukan kuda. Kamu tidak bisa terus-terusan mencambuknya. Sebab suatu saat mereka akan menendangmu.”

Kita jadi tahu alasan mengapa musim ini Chelsea hancur dan justru Mourinho yang akhirnya terusir dari Stamford Bridge.

Lantas, masuk dalam jenis pelatih yang mana Ranieri?

Saat kali pertama memimpin team talk alias briefing dengan Wes Morgan dan kawan-kawan, Ranieri sadar bahwa dia pelatih asal Italia. Pelatih dari negaranya selalu menekankan pentingnya taktik.

Masalahnya, di Inggris, budaya sepak bolanya berbeda. Sedikit taktik, lebih banyak fisik.

Memaksa pemainnya untuk memahami taktik jelas bakal membuat permainan tim hancur. Mereka akan lebih banyak berpikir daripada mengandalkan insting.

Karena itu, Ranieri berkata, “Saya hanya akan berbicara sedikit soal sepak bola. Selebihnya, kalian tunjukkan permainan terbaik kalian di lapangan,” katanya.

Padahal, sebagian besar pelatih yang datang ke klub baru akan menerapkan visinya di klub tersebut. Tapi, Ranieri tidak.

Selain karena pasukan yang ada memang “pas-pasan”, Ranieri juga tidak terlalu banyak memiliki filosofi yang kuat dalam visi permainan. Padahal, beberapa pelatih besar selalu memiliki “stereotype” tertentu dalam permainan.

Misalnya, Guardiola yang terobsesi dengan sepak bola indah dan possession football, Mourinho dengan parkir bus, dan Simeone parkir bus plus pressing fisik. Kita tidak pernah mendengar apa yang menjadi obsesi permainan Ranieri.

Tapi, meskipun begitu, sebagai manajer yang dilahirkan dengan kultur Italia, Ranieri memiliki versi “default”. Sepak bola Italia adalah permainan dengan dasar pertahanan yang kuat. Dan itulah yang dia tampilkan di Leicester.

Memang, kinerja barisan pertahanan Leicester tak bagus-bagus amat. Musim ini mereka kebobolan 34 gol. Jauh lebih buruk dibanding Manchester United (31 gol) dan Tottenham Hotspur (28 gol). Tapi, itu adalah konsekuensi dari line up yang pas-pasan itu tadi.

Ranieri mampu membuat Leicester memainkan permainannya. Gaya permainan yang mereka bisa. Bertahan total dan menyerang balik.

Skema itu jelas dipilih Ranieri bukan tanpa alasan. Jamie Vardy adalah penyerang dengan karunia kecepatan lari yang luar biasa. Begitu juga winger Riyad Mahrez

Skuat “pas-pasan”, hanya fokus di satu ajang

Suporter Leicester City merayakan gelar di Haymarket Memorial Clock Tower setelah timnya memastikan gelar. Foto: Facundo Arrizabalaga/EPA

Dengan performa yang luar biasa di awal musim, target Ranieri jelas. Dia harus memilih di antara semua ajang yang diikuti Leicester. Dan dia langsung mematok mimpinya tinggi: Liga Primer.

Dia selalu memainkan pemain utama di Liga Primer. Piala FA, Piala Liga, ditepikan. Vardy beberapa kali dicadangkan di Piala FA saat dua kali melawan Tottenham Hotspur.

Saat mereka akhirnya tersingkir dari Piala FA di tangan Spurs, Leicester justru semakin fokus. Mereka hanya memikirkan satu laga dalam satu minggu. Bandingkan dengan klub-klub mapan yang harus membagi prioritas dengan Liga Champions atau Europa League.

Dalam kisah David versus Goliath, tubuh David mungkin sangat kecil dibandingkan musuh raksasanya itu. Tapi justru karena itulah dia bisa lincah bergerak dan mengalahkannya.

Kelemahan Leicester dengan pemain yang itu-itu saja justru menjadi kekuatannya. Mereka tak perlu banyak beradaptasi. Dan mereka tak perlu banyak punya obsesi gelar di banyak kompetisi.

Begitu juga dengan profil kepelatihan seperti Ranieri. Dia bukan sosok pelatih yang kompleks. Pendekatannya juga sangat manusiawi. Kata Frank Lampard, mantan anak asuhnya di Chelsea, “Mourinho adalah pelatih hebat, tapi Ranieri adalah orang yang baik.”

Ranieri berhasil membuktikan bahwa kehebatan mungkin memberimu gelar. Tapi kebaikan dalam melatih memberimu gelar sekaligus makna.

Ranieri mampu menyatukan emosi jutaan orang di dunia dalam hanya satu gelar yang diraihnya. Satu-satunya gelar liga dalam karir kepelatihannya.

Sesuatu yang tak bisa dilakukan pelatih-pelatih hebat itu. Dengan rentetan gelar mereka.

Ranieri kini menjadi simbol bahwa harapan memang harus terus dijaga. Meskipun ia hampir saja padam. Menyusuri satu kegagalan ke kegagalan lainnya.

Seperti pengembara yang terus berjalan dengan harapan di balik bukit akan ada rumah yang menerimanya. Hingga kemudian telepon berdering di pinggir laut Calabria.—Rappler.com

BACA JUGA:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!