Saksi: Gempa Yogyakarta 2006 seperti bumi akan kiamat

Daru Waskita

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Saksi: Gempa Yogyakarta 2006 seperti bumi akan kiamat

ANTARA FOTO

Sepuluh tahun lalu, 27 Mei 2006, gempa bumi tektonik melanda wilayah Yogyakarta hingga Jawa Tengah yang menewaskan lebih dari 6.000 jiwa

 

YOGYAKARTA, Indonesia — Matahari belum muncul sepenuhnya, namun warga sudah lari tunggang langgang menyelamatkan diri keluar dari rumah dan disusul rumah roboh satu per satu akibat gempa bumi tektonik dengan kekuatan 5,9 Skala Richter yang berpusat didarat tepatnya di pertemuan sungai Opak dan Oya di Dusun Potrobayan, Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Tepat sepuluh tahun lalu, yaitu pada Sabtu, 27 Mei 2006, gempa bumi tektonik melanda wilayah Yogyakarta hingga Jawa Tengah yang menimbulkan korban meninggal di atas 6 ribu jiwa. Masih banyak lagi yang luka ringan hingga berat, serta ratusan ribu rumah rusak atau roboh.

“Saya kira kejadian gempa bumi 2006 seperti kiamat. Rumah roboh, warga banyak yang meninggal dan langit gelap akibat debu dari rumah yang roboh membumbung ke langit,” kata Kepala Dusun Pundong, Sarju Sastro Harjo, kepada Rappler, Jumat, 27 Mei 2016.

Panik, bingung, stres, dan putus asa menyelimuti wajah-wajah warga Dusun Pundong yang lokasinya hanya sekitar satu kilometer dari titik episentrum gempa bumi tektonik.

“Hampir 90 persen rumah rusak berat dan roboh. Tak ada warga yang berani tinggal di rumah. Apalagi gempa susulan terus terjadi setiap harinya,” ujarnya.

Ketika warga sudah putus asa, Sarju mengaku langsung mendatangi satu per satu warga yang rumahnya hancur. Ada anggota keluarganya juga yang meninggal dunia.

“Pada saat kejadian gempa, setidaknya ada 18 korban (warga Pundong) meninggal dunia. Semua korban dikumpulkan menjadi satu. Warga berbagi tugas, ada yang membuat lubang makam dan ada yang memandikan jenasah sebelum dikebumikan,” ucapnya.

Warga yang memiliki mobil pun dimintai pertolongan untuk membawa korban yang luka, seperti patah tulang, untuk dilarikan ke rumah sakit.

“Praktis dalam waktu dua pekan pasca kejadian gempa, warga hanya mengurus rumah dan membersihkan puing-puing,” ujarnya.

Untuk tidur, warga membuat tempat berteduh seadanya. Padahal waktu itu hampir setiap malam pasca gempa, hujan lebat selalu mengguyur.

“Kita masih beruntung meski tidak punya makanan, setiap harinya ada saja bantuan nasi bungkus masuk ke kampung. Bantuan itu diberikan oleh warga dari luar Jogja, seperti Magelang dan Temanggung,” katanya. 

“Bahkan warga Temanggung datang dengan peralatan bangunan ikut membantu warga membersihkan puing-puing rumah warga. Mereka juga membawa sayur-sayuran,” katanya, sembari matanya tampak berkaca-kaca.

“Semakin keras suara dentuman, semakin besar gempa yang terjadi. Jadi warga sudah tahu jika ada suara dentuman, pasti akan ada gempa susulan”.

Dalam waktu hampir tiga bulan pasca gempa, warga masih dihantui ketakutan adanya gempa susulan yang diawali dengan suara dentuman keras yang berasal dari titik episentrum gempa bumi.

“Semakin keras suara dentuman, semakin besar gempa yang terjadi. Jadi warga sudah tahu jika ada suara dentuman, pasti akan ada gempa susulan,” katanya.

Meski korban meninggal tak sebanyak daerah lain yang bisa di atas 20 korban meninggal dunia, namun kerusakan rumah paling parah dialami sehingga warga harus tidur di tenda-tenda hampir 6 bulan sebelum adanya bantuan rekontruksi dari pemerintah pusat.

“Meski masih tinggal di tenda, namun dua pekan pasca gempa, aktivitas masyarakat yang sebagian besar sebagai pedagang sudah pulih kembali. Setiap pagi jam lima, masyarakat sudah mulai membuka dagangan di Pasar Pundong,” ucapnya.

Tradisi gotong royong yang kuat dan adanya bantuan relawan, baik dari masyarakat luar Yogyakarta, bahkan bantuan dari luar negeri, mendorong masyarakat bangkit kembali dari keterpurukan akibat gempa bumi.

“Pak Bupati (HM Idham Samawi), Ngarso Dalem Sri Sultan HB X, yang selalu memberikan semangat, dukungan moral, dan material menjadikan masyarakat semakin kuat menghadapi cobaan ini,” ujarnya.

Kejadian gempa 2006 bagi warga Bantul yang mengalaminya merupakan kejadian yang tidak akan pernah dilupakan sampai ajal menjemput. Trauma pun masih akan terus ada di masyarakat Bantul.

“Trauma akan hilang butuh waktu yang panjang. Saat ini jika ada gempa kecil pun masyarakat langsung keluar rumah tunggang langgang meski rumah yang ditempatinya sudah menggunakan kerangka baja tahan gempa,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!