Menelusuri jejak aparat di Festival Film Purbalingga

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menelusuri jejak aparat di Festival Film Purbalingga
Meski dibenci aparat dan sebagian ormas, akhirnya film bertema 1965 keluar sebagai pemenang di festival film ini.

 

JAKARTA, Indonesia—Festival Film Pelajar Purbalingga adalah festival tahunan yang diselenggarakan oleh Cinema Lovers Community Purbalingga yang sudah berjalan selama satu dekade. Tapi baru tahun ini, festival film ini mendapat ancaman dari kelompok intoleran, meski sudah mengantongi surat izin dari Kepolisian  Purbalingga. 

Ancaman itu, menurut komunitas Gema Demokrasi, yang memantau acara ini, bermula dari beredarnya pesan berantai di WhatsApp pada 23 Mei lalu.

Isinya mengenai hasil musyawarah bersama yang diikuti oleh Gerakan Pemuda Ansor, Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser), Pemuda Pancasila, Pemuda Muhammadiyah, dan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI). Musyawarah itu disaksikan oleh Komando Distrik Militer Purbalingga. 

Hasil rapat antara lain menolak pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta di festival tersebut dan menugaskan pengurus Ansor dan Banser untuk bertindak bila pemutaran film karya Rahung Nasution dan Wishnu Yonar tersebut tetap digelar. 

Kemudian pada Selasa, 24 Mei, panitia menanggapi isu tersebut lewat akun twitter @festfilmpbg bahwa mereka dipanggil oleh Polres Purbalingga. Pemanggilan itu disampaikan oleh Kepala Satuan Intelijen Polres Purbalingga. 

Panitia kemudian bernegosiasi dengan Kapolres Purbalingga tentang hal ini. Panitia berdalih hingga hari ini belum menerima laporan bahwa penolakan oleh organisasi masyarakat tertentu terkait pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta. 

Sesaat setelah itu, surat penolakan terhadap pemutaran film tersebut yang dikeluarkan oleh Aliansi Pemuda Cinta Pancasila Purbalingga dengan tembusan Korem, Kodam, Komandan Lanud, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, dan Kapolres Purbalingga, beredar. 

Keesokan harinya, pada Rabu, 25 Mei, Hotel Kencana, tempat berlangsungnya Festival Film Purbalingga mengeluarkan surat himbauan kepada panitia agar tidak memutar film Pulau Buru Tanah Air Beta pada Kamis, 26 Mei. 

Surat tersebut ditandatangani oleh Hadiyanto, Asisten Operational Manager Hotel Kencana Purbalingga. Menurut mereka, surat ini keluar atas desakan Kodim kepada manajemen hotel.

Lalu di saat yang sama beredar penolakan di akun twitter @Korem_071 dan Penerangan Kodim Purbalingga. Mereka mengedarkan foto berisi pertemuan ormas FKPPI di Aula Kodim 0702/Pbg. 

Pada Kamis, 26 Mei, hari pemutaran film, ormas yang tidak setuju pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta memasang spanduk di depan hotel Kencana berbunyi Tolak dan Bubarkan! Segala bentuk kegiatan yang bisa menumbuhkan bahaya laten komunis di Indonesia. 

Kemudian pada Jumat, 27 Mei, panitia memutuskan untuk tetap memutar film tersebut dengan segala risikonya. 

Pada hari itu, pukul 14:30, tampak anggota ormas mulai berkumpul di depan Hotel Kencana Purbalingga dan berorasi menolak pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta. Sementara panitia bernegosiasi dengan pihak hotel agar tidak terjadi pembubaran.

Pada pukul 14:51, anggota ormas akhirnya masuk ke dalam festival dan menonton dua film Izinkan Aku Menikahinya dan Saya Hanya Menjalankan Perintah Jenderal. Tapi mereka tak tuntas menonton dua film tersebut, pada pukul 15:15 mereka memilih keluar. 

Lima belas menit kemudian, tepatnya pukul 15:30, panitia yang diwakili oleh Dimas Jayasrana dan Bowo Lekson mengatakan pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta tidak dilanjutkan dan diganti ormas akan menonton dua film lain serta dialog. 

Tapi alih-alih mengikuti diskusi, peserta yang berasal dari ormas memilih untuk pulang dengan alasan “Tidak bisa merokok di ruang pemutaran”.

Modus lama

Asep Komaruddin dari Gema Demokrasi menuturkan bahwa keterlibatan aparat dalam pelarangan pemutaran sejumlah film bukan barang baru. 

Mereka selalu aktif dan reaktif jika terkait dengan isu kebebasan beragama, Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT), serta kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). 

“Kami melihat dari awal, memang aparat mencoba untuk menjembatani pihak yang menolak dengan panitia. Tapi kemudian mereka lebih terkesan mendukung mereka yang menolak pemutaran film,” ujar Asep pada Rappler, Senin, 30 Mei. 

Aparat akhirnya gagal melindungi acara pemutaran film Buru dan memaksa penyelenggara untuk membatalkannya. 

Modus lama ini terus berulang, dan membuat berbagai kalangan mulai gerah. “Padahal kami ingin yang seperti ini enggak terjadi lagi,” ujarnya. 

Karena di masa depan, tidak menutup kemungkinan muncul kasus serupa. “Modusnya sama, cuma membungkusnya dengan isu yang berganti-ganti,” katanya. 

Menang meski dibenci 

Meski ditolak oleh sebagian ormas, pada akhirnya film-film bertema korban 1965 akhirnya memborong penghargaan di festival ini. 

Film bertajuk Izinkan Saya Menikahinya karya sutradara Raeza Raenaldy Sutrimo, misalnya, berhasil menjadi Film Fiksi SMA Terbaik, sekaligus Film Fiksi SMA Favorit Penonton. Film berdurasi 10 menit ini mampu menyisihkan lima film pesaingnya.

Film yang diproduksi Gerilya Pak Dirman Film ini, berkisah tentang kasih asmara seorang tentara bernama Suryono, yang akan menikahi seorang bidan, Suryati. 

Namun karena kakek Suryati seorang mantan tahanan politik (tapol), atasan Suryono tak mengizinkan mereka menikah.

Pada Kategori Kompetisi Dokumenter SMA film Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal! karya sutradara Ilman Nafai, siswa SMA Negeri Rembang Purbalingga menjadi Film Dokumenter SMA Terbaik. Film ini menampilkan kisah tiga mantan pasukan Cakrabirawa semasa hidupnya.

“Sebelum membuat fiksi, kami produksi dokumenter dulu. Dari awal sudah tidak didukung sekolah, karena takut dengan konten film yang kami produksi. Hak kami mendapatkan dana produksi tidak turun. Bahkan, setelah film jadi, kami sempat didatangi pihak Kodim Purbalingga,” terang Ilman yang masih duduk di kelas X itu.

Dewan juri fiksi menilai, film ini mengisi film yang selama ini kurang digali dari sebuah isu sensitif tentang korban 65, yakni dari sisi Cakrabirawa.  

“Film ini menambah teori baru seputar sejarah 65, terutama melihat referensi yang selama ini ada,” ujar dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Soadirman Muhammad Taufiqurrohman.

Lalu setelah Festival Film Purbalingga, akankah pemutaran film tentang 1965 akan dilarang aparat kembali di tahun-tahun yang akan datang? —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!