Ketika komunikasi negatif Ahok bertemu jurnalisme baper

Camelia Pasandaran

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika komunikasi negatif Ahok bertemu jurnalisme baper

ANTARA FOTO

Tugas jurnalis untuk mencari tahu sebelum bertanya, tapi Ahok juga perlu mengatur gaya komunikasinya dengan baik

Ribut-ribut antara Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dengan wartawan mudah diprediksi akan terjadi. Bukan sekali saja Ahok menjawab pertanyaan wartawan lokal dan asing dengan nada tinggi.

Terakhir, Ahok marah kepada jurnalis Arah.com, bahkan sempat melarangnya liputan di Balai Kota Jakarta.

Mari kembali merunut kejadiannya. Pada Kamis, 16 Juni, beberapa jurnalis diberitakan menanyakan pada Ahok mengenai rumor aliran dana Rp 30 miliar dari pengembang reklamasi kepada Teman Ahok. 

Ahok membela diri. Ia mengatakan bahwa ada yang ingin menghancurkan citranya. Ia lalu mengatakan kalau dia bersih dari korupsi sejak mulai menjabat sebagai Bupati Belitung Timur pada 2005 silam.

“Kamu enggak pernah dengar pejabat sekelas saya ngomong konsisten dari (zaman menjabat) DPRD, sampai bupati, sampai DPR RI, sampai sekarang?” kata Ahok.

Wartawan Arah.com kemudian bertanya, “Berarti tidak ada pejabat yang sehebat Bapak?”

Pertanyaan inilah yang membuat Ahok naik pitam. Kemarahan Ahok pada wartawan Arah.com ini juga melebar menyebut-nyebut media lain. Akibatnya, jurnalis Balai Kota membalasnya dengan memboikot acara buka puasa bersama Sang Gubernur.

Sebagaimana khas negara berbudaya kolektivis seperti Indonesia, konflik yang sejatinya antarpribadi menjadi konflik kelompok. Dari Ahok vs wartawan Arah.com, konfliknya meluas melibatkan pendukung Ahok dan sekelompok wartawan, termasuk organisasi jurnalis, yang merasa Ahok telah melecehkan profesi mereka.

Wartawan Arah.com bertanya, “Berarti tidak ada pejabat yang sehebat Bapak?”

Dan seperti biasa, keributan tersebut mewarnai lini masa di media sosial. Kalau wartawan punya senjata media, plus organisasi kewartawanan yang membela mereka, para pendukung Ahok menggunakan cara lain: status di Facebook, mencuit di Twitter, sampai membuat tulisan di blog dan (yang terlihat seperti) media, mencela si wartawan dan medianya.

Semangat setia kawan membela teman yang dirasa teraniaya kerap membuat orang gagal untuk menilai keadaan dengan obyektif. Banyak pendukung Ahok yang membela “Si Bapak”, tapi kerap lupa bahwa yang dibentengi itu juga manusia yang punya kelemahan.

Jurnalis, dan berbagai asosiasinya, juga kerap membela rekan jurnalis tanpa melihat lagi konteks kejadiannya. Kalau mau melihat secara adil, dua-duanya sama-sama berandil negatif dalam konflik tersebut.

Jurnalisme berbasis data vs berbasis omongan

Tekanan deadline terhadap jurnalis sering membuat wartawan tidak punya waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) mereka: riset. Padahal ini cara ampuh membuat mereka mengembangkan pertanyaan dengan strategis yang tujuan akhirnya adalah mencerahkan masyarakat, alih-alih menyesatkan mereka.

Mencerahkan ini bisa diterjemahkan sebagai memberikan informasi baru yang membuat mereka tahu bagaimana harus bersikap, bukan menyuapi mereka dengan berita yang insinuatif.

Dalam Elements of Journalism, Bill Kovach dan Tom Rosentiel menulis, prinsip jurnalisme adalah menyediakan informasi berkualitas yang dibutuhkan publik untuk membuat keputusannya yang lebih baik untuk kehidupannya. Uniknya, ada penekanan bahwa keputusannya itu haruslah dibuat sendiri oleh publik, bukan diarahkan oleh si pembuat informasi.

Jika jurnalis membuat PR riset ini dengan benar, dia tidak hanya sekadar mengonfirmasi omongan orang “Pak, kata si ini … Benar tidak, ya?”

Sejatinya, bila dihadapkan pada rumor, adalah tugas si jurnalis untuk mencari tahu dulu kebenaran rumor dengan mencari datanya. Bila dia memiliki data sahih, maka data itu baru bisa dibawa ke narasumber untuk mendapatkan klarifikasi.

Di lain pihak, bagaimana pun juga, Ahok juga punya andil dalam konflik ini. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa komunikasi publik Ahok kerap buruk dari segi pilihan kata dan cara penyampaian pesannya.

Acap kali, cara Ahok itu disebut sebagai gayanya, tapi sebagai pejabat publik, seyogyanya dia mengatur komunikasi publiknya dengan baik. Kalau memang sulit untuk berbicara tanpa menjadi emosional, mungkin pilihan terbaik adalah dengan memiliki juru bicara yang piawai berkomunikasi dengan jurnalis.

Saling bergantung, jangan baper 

Pengalaman dimaki Ahok saat bertanya juga dialami Step Vaessen, jurnalis Al-Jazeera English.

Vaessen disemprot Ahok ketika bertanya alasan izin pameran World Tobacco Process and Machinery, padahal di banyak negara acara itu ditolak sehingga diadakan di Indonesia. Tak sekadar menjawab, Ahok juga menyindirnya sebagai “agen farmasi asing”.

Ya, Vaessen memang curhat di Twitter, tapi tak ada boikot dan konflik yang meluas. Kenapa? Vaessen yang asal Belanda tidak datang dari budaya kolektivis dan satu lagi ia tidak “baper”. Ini buktinya: 

Joseph Turow, profesor komunikasi di Pennsylvania, menggunakan Resources Dependence Theory untuk melihat ketergantungan antara jurnalis dengan narasumber. Intinya adalah narasumber dan jurnalis sama-sama saling membutuhkan dalam kerja mereka.

Narasumber akan melancarkan berbagai upaya agar tetap memiliki akses yang baik ke publik, untuk menyampaikan informasi yang menguntungkan dia. Jurnalis juga menjalankan bermacam cara demi mendapatkan akses yang baik ke narasumber sehingga bisa memperoleh bahan berita.

Dalam hubungan saling bergantung seperti ini, tidak perlu menganalisis siapa yang lebih perlu dalam hubungan tersebut. Merasa diperlukan sering membuat orang jadi jumawa. Yang baik adalah menjaga hubungan baik agar ada simbiosis mutualisme.

Nah, kalau sadar sama-sama memerlukan dalam hubungan tersebut, meminjam istilah anak muda masa kini, “baper boleh, tapi ya tidak perlu baper tingkat dewa”. Apalagi kalau dari konflik baper ini kemudian menyeret kelompok lain. Baik narasumber, maupun media, sama-sama perlu melakukan otokritik agar tetap bisa mengemban misi dengan baik. —Rappler.com

Camelia Pasandaran adalah mantan jurnalis Jakarta Globe dan Rappler. Saat ini ia bekerja sebagai dosen komunikasi dan jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!