Cafe Jamban, tempat nongkrong berbagi ide peduli sanitasi

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Cafe Jamban, tempat nongkrong berbagi ide peduli sanitasi
"Ini bukan untuk menebar sensasi belaka. Tetapi, juga sebagai tempat diskusi bagi orang-orang yang peduli tentang kesehatan sanitasi masyarakat"

SEMARANG, Indonesia – Apa rasanya menyantap makanan dari toilet yang biasanya digunakan sebagai tempat untuk buang hajat manusia? Itulah konsep yang ditawarkan oleh sebuah kafe di Jalan Untung Suropati, Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah. 

Ketika Rappler datang dan menyambangi kafe tersebut pada Rabu, 29 Juni, terlihat seorang penjaga yang tengah sibuk membersihkan perabotan di dalamnya. 

Total terdapat 8 set closet yang deposing melingkari sebuah meja. Di atas meja itu pun dipasangi 2 buah kloset. 

Supaya tidak terkesan menyerupai kloset, 8 toilet duduk itu diatur sedemikian rupa supaya menyerupai kursi.

Toilet duduk itu juga diberi bantalan busa untuk tempat sandaran kursi. Sementara, di bagian lubangnya diberi tali tambang berwarna kuning.  

“Semuanya sudah disterilkan dari kuman, karena ini beli langsung dari toko seharga Rp 150 ribu-Rp 350 ribu. Jadi, kalau makan di sini tentu sudah bersih dan halal,” ujar si penjaga Cafe Jamban, Sukardi mengawali obrolan. 

Sukardi menjelaskan ada 8 menu yang disajikan di atas lubang kloset. 

“Mulai dari bakso, es buah, makanan kecil, es teh, es sirup hingga aneka rasa kopi. Kami memiliki itu semua,” kata dia. 

Harga menunya pun dibanderol dengan harga cukup murah antara Rp 6.000,00 hingga Rp 10.000,00 per porsinya. 

Sekilas memang terlihat menjijikan dan jorok. Tetapi, Sukardi meyakinkan lubang di meja kloset jongkok itu sudah ditutupi semen sehingga tidak tumpah ke bawah. 

“Lagipula yang datang ke mari rata-rata mahasiswa, dosen Fakultas Kedokteran dan orang-orang tertentu yang sudah siap dengan tempat makan seperti ini,” kata dia lagi. 

Jadi perbincangan

Lalu, apa komentar para pengunjung Cafe Jamban? Tidak kah mereka merasa aneh makan dari jamban jongkok? 

“Awalnya agak risih karena ngambilnya kan di lubang kloset WC. Tapi lama-kelamaan cuek saja lah. Lagipula setelah saya coba, baksonya enak juga kok,” ujar Wulandari, seorang mahasiswi Universitas Negeri Semarang (UNS) yang mampir ke sana. 

Dia mengaku sengaja datang ke kafe tersebut karena penasaran dengan pembicaraan orang mengenai tempat yang dianggap jorok itu. 

Sejak dibuka beberapa bulan lalu, kafe ini memang menjadi perbincangan warga. 

“Bukannya (mereka merasa) jijik, pelanggan kita justru tambah banyak. Pembeli ingin mencoba seperti apa bakso yang disajikan dari dalam kloset WC,” kata Sukardi. 

Gerakan peduli sanitasi

IDE KAMPANYE SANITASI. Menurut pendiri Cafe Jamban, melalui kafe ini dia justru ingin mengkampanyekan kepada publik mengenai pentingnya sanitasi yang baik. Foto oleh Fariz Fardianto/Rappler

Cafe Jamban ini merupakan ide nyeleneh dari Budi Laksono. Budi adalah seorang dokter dan pengajar Pasca Sarjana Jurusan Epidemiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Dia juga aktivis di bidang kesehatan masyarakat. 

Budi mengaku tidak pernah terbesit untuk membuat sesuatu yang mengundang kontroversi di tengah masyarakat. 

“Ini bukan untuk menebar sensasi belaka. Tetapi, juga sebagai tempat diskusi bagi orang-orang yang peduli tentang kesehatan sanitasi masyarakat,” kata Budi. 

Melalui Cafe Jamban, dia ingin mengampanyekan gerakan peduli sanitasi jamban di Indonesia. 

“Apalagi, masih ada 38 persen rakyat kita yang belum punya jamban. Terus terang, saya terenyuh akan hal itu,” ujarnya lagi. 

Dia berharap dengan membuat kafe model serupa di tempat lain, gerakan jambanisasi ini bisa mewabah di seluruh Indonesia. Sehingga, pada akhirnya cita-cita untuk membuat semua warga Indonesia memiliki jamban bisa terwujud. 

“WC for All, jadi tujuan akhir saya. Sajian menunya hanya untuk menarik minat masyarakat datang merasakan nuansanya,” tutur dia.

Cafe Jamban pun bisa terwujud juga karena ada dana yang disumbangkan dari para donatur yang peduli terhadap bidang sanitasi masyarakat. Para donatur merupakan sesama dokter dan perusahaan swasta yang ikut mendukung kegiatannya. 

“Jadi, ini jelas bukan untuk mencari sensasi,” tutur dia. – Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!