Kami juga ingin minta maaf, tolong izinkan kami mudik

Amir Tedjo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kami juga ingin minta maaf, tolong izinkan kami mudik
Ratusan pengungsi Syiah di Sidoarjo meminta Polda Jawa Timur untuk izinkan mereka mudik ke Sampang untuk bersilaturahmi

SURABAYA, Indonesia – Walau hari raya kemenangan Idulfitri tinggal sehari lagi, suasana di rumah susun Jemundo Sidoarjo, Jawa Timur masih jauh dari hiruk pikuk mudik. Bahkan rumah susun berlantai 6 ini tampak sepi. Ada sekelompok anak bermain di selasar lantai dasar.  Di selasar lantai empat, sekitar 10 pria dewasa sedang duduk bersila di atas karpet. Mereka tampak serius berdiskusi.

“Bukan hal yang rahasia. Kita sedang membicarakan rencana mudik ke Sampang dengan si pemilik kendaraan,” kata Ustadz Tajul Muluk, salah satu tokoh Syiah Sampang, Madura, kepada Rappler.

Pasca penyerangan warga Syiah di Desa Karanggayam, Sampang empat tahun yang lalu, sebanyak 82 kepala keluarga yang terdiri dari 337 jiwa, diungsikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur ke rumah susun Jemundo Sidoarjo. Sejak empat tahun lalu  itu pula, mereka belum pernah sekalipun mudik ke kampung halaman mereka. Baru kali ini mereka merencanakan dengan matang untuk mudik. Itu pun, jika Polda Jawa Timur menyetujui permintaan mereka untuk mengawal.

Menurut Ustadz Tajul, keinginan untuk mudik itu sebenarnya ada tiap menjelang Idulfitri, tetapi baru tahun ini mereka mempersiapkan dengan matang.

“Kita berharap Polda Jawa Timur bisa memfasilitasi keinginan kami ini. Begitu juga dengan Pemerintah Kabupaten Sampang, jangan mengamini keinginan kyai di Sampang yang menolak kedatangan kami. Karena dengan mengamini permintaan para kyai itu, sama saja menanamkan kebencian di antara anak bangsa. Permusuhan sebenarnya hal yang dilarang oleh Allah,” kata Tajul.

Dengan mudik ini, kata Tajul, para penganut Syiah ini ingin menyempurnakan puasa mereka. Karena menurut Tajul, tujuan puasa itu untuk membentuk kepribadian yang bertaqwa. Sedangkan taqwa itu adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Salah satu perintah Allah itu adalah silaturahim. Nabi Muhammad sendiri berkata bahwa orang-orang yang memutuskan tali silaturahim tak akan masuk surga.

“Kami ini berpuasa dan ingin puasa kami diterima, kami ingin mudik ke sana untuk menyambung silahturahim. Meski rumah kami sudah dibakar dan kami diusir, tetap kami tidak mempunyai rasa benci kepada mereka. Apalagi dendam, tak ada sama sekali. Kami tetap menganggap mereka saudara kami,” ujar Tajul.

Tudingan Syiah sesat itu pun, kata Tajul, masih harus dibuktikan dengan argumen atau dialog secara terbuka. Kalau pun dialog dan diskusinya sudah mentok dan tak menemukan jawaban, kata dia, sebenarnya ada cara lain yang diajarkan agama Islam untuk menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Cara itu adalah mubahalah, yaitu minta dihakimi secara langsung oleh Allah.

“Semuanya harus bersumpah, barang siapa mempertahankan ketidakbenarannya, minta diazab secara langsung oleh Allah. Dan saya siap melakukan itu,” kata Tajul.

Rencana mudik ke kampung halaman di Sampang, Madura tak terlalu ditanggapi secara serius oleh Khairul Umam. Lelaki paruh baya dengan empat orang anak ini tidak terlalu berharap dengan rencana mudik. Hingga Senin sore, 4 Juli 2016, dia tidak punya persiapan khusus untuk mudik. “Tak berharap banyak. Takut kecewa kalau batal karena tak disetujui oleh pemerintah,” kata dia.

Namun jika ternyata mereka diizinkan untuk mudik, Khairul sudah mempunyai rencana untuk ziarah ke makam bapaknya dan menemui anak dan ibunya yang tinggal di Desa Karangggayam, Sampang. Khairul sendiri dulunya tinggal di Desa Bluuran yang berbatasan dengan desa Karanggayam.

“Kedatangan kami sebenarnya bukan untuk mencari masalah, tapi hanya ingin minta maaf,” kata Khairul.

Kata Khairul, keluarga dan para tetangganya di desa Bluuran sebenarnya sudah tak mempermasalahkan lagi soal perbedaan keyakinan itu. Itu berbeda dengan dulu yang kuat penolakannya. “Tapi mengapa kami masih belum diperbolehkan pulang,” tanya Khairul.

Salah satu bukti jika warga sudah menerima perbedaan keyakinan itu, menurut Khairul, adalah sudah ada warga yang menggarap ladang miliknya. Sebelumnya, warga non Syiah sangat antipati terhadap mereka.

“Dulu jangankan bersentuhan fisik. Menginjak tanah milik orang Syiah saja, kaki mereka harus dubasuh,” kata Khairul.

Tak ada hiruk pikuk mudik lebaran di penampungan umat Syiah Sampang di Jawa Timur. Foto oleh Amir Tedjo.

Tapi sekarang sudah berbeda. Mereka sudah tak masalah lagi dengan Syiah. Warga bahkan sudah menggarap ladang milik Khairul yang ditinggalkannya sejak empat tahuhn lalu. Ladang milik Khairul ini luasnya sekitar 1 hektar.

“Silahkan ladang saya digarap. Saya ikhlas, tak apa. Itu malah baik. Kalau dulu menginjak tanah milik umat Syiah kakinya harus dibasuh, tapi sekarang makan dari hasil ladang milik orang Syiah tak apa. Itu baik,” ujarnya.

Khairul mengatakan meski sudah tak mempunyai rumah lagi di Bluuran karena dibakar massa, keinginan untuk bisa hidup di kampung halamannnya masih tetap kuat. Selama hidup di pengungsian, Khairul dan para pengungsi Syiah lainnya mendapat tempat tinggal dan uang jatah biaya hidup dari pemerintah sebesar Rp 700.000 setiap bulan.

Tentu saja, jumlah ini terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga Khairul. Untuk menutupi kekurangan penghasilannya, Khairul bekerja sebagai buruh pengupas kelapa di Pasar Induk Puspa Agro. Kebetulan lokasi rumah susun ini berada di dalam kawasan Pasar Induk Puspa Agro di Sidoarjo. Melakoni sebagai buruh pengupas kelapa ini juga dijalankan oleh para pengungsi Syiah lainnya.

Meski kehidupannya di penampungan mulai tertata, namun Khairul masih tetap berkeinginan untuk bisa kembali ke kampung halamannya, walau harus memulai hidup dari nol lagi. – Rappler.com 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!