Pegiat HAM: Aspirasi merdeka bagian dari kebebasan berekspresi

Kanis Dursin

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pegiat HAM: Aspirasi merdeka bagian dari kebebasan berekspresi
DPR Papua akan kirim tim ke Yogyakarta untuk mendapat informasi detail mengenai demonstrasi rasial

JAKARTA, Indonesia – Menyampaikan aspirasi politik di tempat umum, termasuk menuntut kemerdekaan, merupakan hak warga negara yang dilindungi undang-undang, kata pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta pada Senin,18 Juli.

“Demonstrasi adalah bentuk kebebasan berekspresi, apapun tema yang disampaikannya. Aspirasi kemerdekaan Papua juga sah untuk disampaikan dalam sebuah demonstrasi sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang dialami oleh warga Papua,” kata Ismail Hasani, Direktur Riset Setara Institute, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengadvokasi demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia (HAM).

“Selama demonstrasi itu disampaikan secara damai dan tidak ada tindakan permulaan yang menunjukkan makar, polisi, apalagi ormas, tidak boleh membatasi, melarang, dan menghakimi dengan kekerasan,” kata Ismail ketika dimintai komentar mengenai aksi protes oleh ratusan mahasiswa asal Papua di Yogyakarta pada Jumat, 15 Juli, lalu.

Dalam sebuah video yang beredar di media sosial akhir pekan lalu, seorang mahasiswa Papua yang ikut dalam demo tersebut ditangkap dan diikat, bahkan diinjak di kepala, oleh anggota sebuah organisasi masyarakat (ormas) di hadapan beberapa anggota polisi.

“(Kapolri) Tito Karnavian harus menjelaskan peristiwa Yogyakarta secara gamblang agar kepercayaan publik tidak segera luntur di masa kepemimpinannya,” lanjut Ismail.

“Membiarkan tindakan kekerasan terus menerus terhadap warga Papua adalah tindakan pelanggaran HAM dan bertentangan dengan semangat (Presiden) Jokowi yang berkali-kali menegaskan hendak mengatasi persoalan Papua secara holistik.”

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Laurenzus Kadepa mengatakan pihaknya akan mengirim tim pencari fakta ke Yogyakarta untuk mengumpulkan informasi detail mengenai demonstrasi dan tindakan rasial oleh anggota ormas terhdap mahasiswa asal Papua.

“Masih akan diputuskan tetapi kemungkinan (yang dikirim adalah) komisi yang menangani masalah pendidikan dan HAM karena tindakan anggota ormas sudah menjurus ke tindakan rasial,” kata Laurenzus kepada Rappler lewat telepon pada Senin malam, 18 Juli.

Ismail menuduh kepolisian menggunakan modus lama dalam menghadapi aspirasi masyarakat yang berbeda dengan tujuan “membersihkan tangan polisi sebagai aparat keamanan”.

“Polri harus bertindak adil dengan menghukum anggota ormas yang melakukan kekerasan. Apapun argumentasi dari ormas tersebut, rasisme, hate speech, dan kekerasan telah secara nyata diperagakan. Tindakan main hakim sendiri (vigilantisme) adalah pelanggaran hukum,” kata Ismail.

Kekerasan terhadap warga Indonesia asal Papua 

Menurut Ismail, warga negara Indonesia asal Papua telah mengalami kekerasan berlanjut akibat pelarangan menyampaikan aspirasi melalui demonstrasi dan kebebasan berekspresi lainnya di berbagai daerah di Indonesia sejak setahun terakhir.

Tujuh mahasiswa Papua ditangkap dalam demonstrasi di Yogyakarta Jumat lalu. Sementara itu, beberapa mahasiswa Papua di Manado, Sulawesi Utara dikenakan wajib lapor sekali seminggu sejak ditangkap dalam demonstrasi menuntut referendum pada 31 Mei lalu. 

Di Papua sendiri, lebih dari 4.000 aktivis dan simpatisan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) ditangkap aparat kepolisian dalam protes di berbagai kota di Provinsi Papua dan Papua Barat sejak Januari 2016 lalu.

Pada 13 Juli lalu, hampir 300 orang di Merauke dan Timika, Papua diangkut ke kantor polisi setempat saat melakukan demo damai untuk mendukung keanggotan penuh United Liberation Movement for West Papua di Melanesian Spearhead Group (MSG).

Menurut pengacara HAM Hendardi, polisi telah bertindak berlebihan dalam manangani anggota masyarakat Papua yang menyampaikan aspirasi politik mereka.

“Dalam konteks kebebasan berekpresi, tindakan Polri bisa dianggp berlebihan karena tindakan warga Papua hanyalah berdemonstrasi untuk menyampaikan aspirasi,” kata Hendardi, yang juga Ketua Setara Institute ini.

Undang-undang No. 9, 1998 mengatakan setiap warga negara mempunyai hak untuk menyampaikan pikiran “secara bebas dan bertanggung jawab” di muka umum.

“Saya berpendapat sebaiknya Polri hanya menindak mereka yang nyata melakukan tindakan pidana. Sepanjang aspirasi itu disampaikan dengan damai maka tidak ada alasan untuk menangkap,” kata Hendardi.

Tindakan diskriminatif

Laurenzus menuduh Kapolda Papua Irjen Paulu Waterpauw bertindak diskriminatif dalam menangani warga yang ingin mengekspresikan aspirasi mereka di muka umum.

“Kami melihat Kapolda (Paulus Waterpauw) bertindak diskriminatif. Mereka mengizinkan kelompok tertentu untuk melakukan demo ke Kantor DPRP, bahkan mengawal mereka pergi dan pulang. Sementara demonstran dari kelompok tertentu ditangkap bahkan sebelum mereka turun ke jalan,” kata Laurenzius kepada Rappler pada Senin malam.

Menurut politikus dari Partai Nasional Demokrat ini, polisi perlu memberikan ruang yang sama kepada semua kelompok masyarakat, terlepas dari aspirasi yang mereka bawa.

“Saya tidak melihat kelompok asal mereka, juga tidak aspirasi yang mereka sampaikan, tetapi hak mereka untuk menyampaikan aspirasi mereka,” kata Laurenzus.

Sebelumnya, Kapolda Waterpauw mengatakan kepada Rappler bahwa polisi tidak mengizinkan aktivis dan simpatisan KNPB berpawai ke Kantor DPRP karena mereka membawa aspirasi kemerdekaan.

“Mereka separatis…perjuangan mereka jelas mendukung kemerdekaan Papua…sehingga kami tidak izinkan turun di lapangan untuk apapun perjuangannya,” kata Paulus. – Rappler.com

BACA JUGA:

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!