Mengapa ASEAN diam soal keputusan pengadilan arbitrase internasional?

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa ASEAN diam soal keputusan pengadilan arbitrase internasional?

EPA

Tiongkok diduga berhasil memecah belah ASEAN sehingga tak satu suara dalam menyikapi keputusan PCA

JAKARTA, Indonesia – Organisasi Asia Tenggara (ASEAN) absen mengeluarkan sebuah pernyataan bersama terkait hasil pengadilan arbitrase internasional (PCA) soal Laut Tiongkok Selatan, bahkan setelah hampir 2 minggu berlalu. Bahkan, seorang diplomat di ASEAN pada Kamis, 14 Juli mengatakan organisasi negara tersebut tidak akan pernah mengeluarkan pernyataan bersama.

Apakah itu semua karena ada tekanan dari Beijing kepada negara di Asia Tenggara? Diplomat yang tak ingin disebut namanya itu memilih enggan berkomentar. Menurut diplomat tersebut, ASEAN telah mempertimbangkan apakah akan mengeluarkan pernyataan bersama terkait keputusan PCA di Den Haag, Belanda. Tetapi, sayangnya, mereka tidak memiliki kesamaan sikap.

“Para pejabat di negara-negara Asia Tenggara telah menyiapkan sebuah rancangan teks, tetapi tidak ada kesepakatan untuk mempublikasikan sebuah pernyataan bersama,” ujar diplomat itu lagi.

Dia menduga penolakan itu disampaikan oleh dua negara sekutu Tiongkok di kawasan Asia Tenggara yakni Laos dan Kamboja.

“Beberapa negara-negara anggota ASEAN tentu saja tidak terlihat bahagia. Aksi Beijing ini bisa dianggap sebagai bentuk ikut campur dalam persatuan ASEAN,” kata dia.

Sementara, diplomat senior ASEAN lainnya mengatakan Tiongkok telah sukses memecah ASEAN melalui negara sekutunya terkait isu Laut Tiongkok Selatan. Tekanan serupa juga terjadi pada bulan lalu, ketika negara anggota ASEAN tiba-tiba berubah sikap dengan tak mengakui pernyataan bersama yang dipublikasikan oleh Malaysia usai digelar pertemuan regional ASEAN-Tiongkok di Kunming.

Sikap Indonesia tak tegas

9 GARIS PUTUS-PUTUS. Peta yang menunjukkan klaim dari masing-masing negara yang bersengketa di Laut Cina Selatan, termasuk klaim Tiongkok dengan istilah "Nine Dash-Lines". Ilustrasi oleh Rappler

Dalam keterangan resminya yang dirilis pada tanggal 12 Juli lalu, Pemerintah Indonesia telah meminta agar semua pihak yang terlibat dalam sengketa klaim itu untuk menahan diri da tidak melakukan hal yang dapat memicu ketegangan. Pemerintah juga meminta agar semua pihak menghormati hukum internasional termasuk di dalamnya UNCLOS 1982.

“Indonesia turut menyerukan kiranya bagi semua pihak untuk melanjutkan komitmen bersama untuk menegakkan perdamaian, serta menunjukkan persahabatan dan kerja sama,” ujar Kementerian Luar Negeri mewakili Indonesia.

Bahkan, juru bicara Kemlu, Arrmanatha Nasir meminta kepada publik untuk berpikir lebih jauh dari sengketa lahan di perairan Laut Tiongkok Selatan. Bagi Indonesia, kata Arrmanatha menjaga agar kawasan tetap damai justru lebih penting.

“Karena dengan adanya perdamaian itu yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran kepada negara-negara di ASEAN,” ujar pria yang akrab disapa Tata itu ketika ditemui pada Kamis, 20 Juli di kantor Kemlu.

Tetani, apakah itu akan menyelesaikan akar masalah sengketa lahan di kawasan tersebut? Dalam pandangan pengamat hukum internasional Universitas Indonesia, Melda Kamil Ariadno, sikap Indonesia dalam menyikapi keputusan PCA justru tak mendorong penyelesaian masalah. Sementara, di sisi lain, justru negara lain seperti Australia dan Amerika Serikat yang lebih lantang bersuara.

“Dengan tidak mengeluarkan pernyataan bersama dalam menyikapi keputusan pengadilan arbitrase internasional (PCA), ASEAN is losing the point. Padahal, momentum ini yang seharusnya digunakan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah organisasi nyata dan tak sekedar organisasi internasional yang hanya kongkow-kongkow,” tutur Melda ketika dihubungi Rappler melalui telepon beberapa waktu lalu.

Melda khawatir juga ASEAN yang merasa paling memiliki kepentingan di kawasan tersebut tak lantang bersuara, justru membuka peluang untuk negara asing ikut intervensi.

Guru besar di bidang hukum laut itu pun tak membantah jika ASEAN terbelah dalam menyikapi keputusan PCA karena adanya keterlibatan Tiongkok. Oleh sebab itu, dia menyarankan agar masing-masing negara yang tidak bersekutu dengan Tiongkok untuk mengeluarkan pernyataan dengan isi yang serupa.

“Indonesia bisa mengajak negara-negara seperti Malaysia, Filipina dan Vietnam agar mengeluarkan pernyataan bersama,” kata dia.

Peran Indonesia sebagai negara dengan kawasan terbesar di Asia Tenggara dalam memimpin isu ini, ujar Melda, sangat penting. Dalam berbagai pertemuan internasional, Indonesia harus terus menyuarakan bahwa klaim Tiongkok di kawasan LTS tidak berdasar dan tak sesuai hukum. Indonesia juga bisa menyampaikan agar Tiongkok tidak menggunakan kekuatan militer di area tersebut dan perdamaian harus terus dijaga.

“Tujuannya untuk mengajak masyarakat internasional menekan Tiongkok agar mau mematuhi hasil keputusan PCA,” tuturnya.

Tekan lewat kerjasama ekonomi

Cara lain yang bisa digunakan oleh ASEAN agar Tiongkok mau mematuhi keputusan PCA yakni melalui kerjasama ekonomi. Harus diakui beberapa negara termasuk Indonesia memiliki kerjasama yang erat dengan Tiongkok di bidang ekonomi. Tetapi, kawasan ini hanya dijadikan pangsa pasar bagi Tiongkok.

“Kita harus mau mengorbankan sedikit kepentingan ekonomi, misalnya melalui ASEAN-China Free Trade atau dengan mengurangi konsumsi produk buatan Tiongkok. Jika sebagian besar negara melalukan itu, peluang untuk membuat sikap Tiongkok berubah semakin besar,” kata peraih gelar doktor dari University of Washington itu.

Tetapi, bisakah Indonesia melakukan itu? Melda menyebut demi kedaulatan, maka Indonesia harus mampu melakukan hal tersebut. – dengan laporan AFP/Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!