SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
JAKARTA, Indonesia – Banyak yang menganggap Brasil terjangkit “penyakit” yang juga terjadi di timnas Argentina. Mereka terlalu bergantung pada satu figur. Jika Messi-dependencia terjadi di tim Tango, di Brasil yang ada adalah Neymar-dependencia.
Terlebih lagi di tim U-23 yang berlaga di Olimpiade Rio 2016. Neymar menjadi satu-satunya superstar karena sebagian besar rekan setimnya adalah pemain lokal.
MATCHDAY:#BRA hosts #HON at a fully packed Maracanã in 1/2 final of Olympic #Gold quest, at 13h Br.#ForçaSeleção pic.twitter.com/iktYirCVWK
— Seleção Brasileira (@BrazilStats2) August 17, 2016
Namun, anggapan itu mulai sirna seiring jalan tim berjuluk Selecao itu di Olimpiade menuju final. Mereka memang terseok-seok di awal turnamen. Dua kali main dan dua kali seri melawan Irak dan Afrika Selatan.
Neymar dan kawan-kawan mulai menemukan permainan mereka setelah membekuk Denmark di laga pemungkas grup A. Canarinho—julukan lain Brasil—membabat tim Skandinavia itu empat gol tanpa balas.
Yang menarik, dari 4 gol pasukan Rogerio Micale itu, tak ada nama Neymar. Pemain Barcelona itu baru mencetak gol di laga keempatnya, yakni saat timnya bertemu Kolombia di perempat final.
Absennya Neymar dari papan skor bukan tanpa sebab. Pemain 24 tahun itu memang lebih banyak terlibat dalam build up play dari tengah. Itu membuat Gabriel Jesus lebih bebas di depan.
Selain itu, masih ada Luan yang juga menjadi kunci kebangkitan Brasil. Sebagai pemain yang dipasang di tengah dalam format tiga pemain di belakang satu penyerang, Luan mampu memancing bek lawan untuk keluar dari pertahanan. Itu membuat salah satu dari dua pemain lainnya, Gabigol dan Gabriel Jesus, bisa masuk ke kotak penalti.
Karakter Luan sebagai second striker juga membuat dia lebih bebas bergerak. Dia bisa berada di sayap dan mengirim assist kepada Gabriel Jesus dalam salah satu golnya ke gawang Denmark.
PICTURE:
— Seleção Brasileira (@BrazilStats2) August 16, 2016
Neymar JR taking a selfie with fans.#BRA pic.twitter.com/HkNhJXeiNk
Luan juga bisa membahayakan di dalam kotak penalti saat ikut mencetak satu dari empat gol, juga ke gawang Denmark.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa kekuatan Brasil kini lebih merata. Beban mencetak gol diemban tak hanya satu pemain. Juga tak hanya oleh para penyerang. Tapi juga kedua winger-nya.
Urusan pertahanan, duet Marquinhos dan Rodrigo Caiao sudah teruji. Mereka mampu mengawal pertahanan hingga gawang kiper Weverton sampai laga keempat masih clean-sheet.
Karena itu, dalam partai semi final melawan Honduras pada Rabu 17 Agustus, pukul 23.00 WIB, Canarinho sedang menyiapkan pesta. Dan pesta itu bakal digelar di stadion tua nan keramat Estadio Maracana.
“Besok kami akan berikan segalanya di lapangan,” kata Gabigol seperti dikutip Selecao Brasileira.
Honduras bakal lebih banyak bertahan
Dalam empat laga di Olimpiade, Brasil selalu menghadapi tim dengan tipikal permainan yang sama. Mereka cenderung bertahan dan menunggu lawan membangun serangan. Hasilnya, Brasil mati kutu dan hanya bisa bermain seri melawan Afrika Selatan dan Irak.
Hal yang sama juga dilakukan Denmark. Namun, Brasil sudah belajar dari dua lawannya. Mereka berhasil membongkar pertahanan tim berjuluk Dinamit tersebut.
Bagaimana dengan Honduras?
Pasukan Jorge Luis Pinto tampaknya bakal meniru lawan-lawan Brasil lainnya. Apalagi, performa gol tim berjuluk La Bicolor Olimpica itu tak terlalu impresif.
Dalam tiga laga fase grup, mereka hanya meraih satu kemenangan. Selebihnya, mereka kalah dari Portugal dan seri melawan Argentina.
Saat melawan Korea Selatan di babak perempat final, penampilan mereka juga tidak meyakinkan. Hanya menang tipis 1-0. Padahal, mereka diharapkan menang besar dari wakil Asia tersebut.
Dengan performa bak roller coster tersebut, posisi Honduras dalam perburuan medali emas jelas dalam bahaya. Apalagi, grafik permainan Brasil terus menanjak.
Kalaupun mereka bermain bertahan total, Brasil sudah punya solusi dengan membanjiri kotak penalti lawan dengan para pemain agresifnya. Baik dengan formasi 4-2-3-1 atau 4-2-4.
Kedua formasi tersebut memungkinkan 4 pemain berada di area akhir lawan. Belum termasuk dua fullback yang ikut membantu serangan.
Gabigol: "Playing at full Maracanã will be a special feeling, but if we are all here today, it’s because we know how to deal with pressure."
— Seleção Brasileira (@BrazilStats2) August 17, 2016
Di Estadio Maracana yang pernah menjadi saksi tragedi Piala Dunia 1950, di mana mereka kalah menyakitkan 1-2 atas Uruguay di final, Canarinho harus menghapus memori kelam tersebut. Caranya dengan memberi pesta bagi para Brasileiro.—Rappler.com
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.