Ojek Difa: Ketika penyandang disabilitas ‘unjuk gigi’

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ojek Difa: Ketika penyandang disabilitas ‘unjuk gigi’
Pendiri Difa, Triyono, ingin menunjukkan para difabel seperti dirinya mampu mandiri dan bekerja memenuhi kebutuhan sendiri

JAKARTA, Indonesia –  Dodi Kurniawan sigap naik ketika ojek Difa yang dia pesan melalui SMS 15 menit sebelumnya tiba.

Dodi hendak berangkat ke Alun-Alun Kidul Kota Yogyakarta dari Lapangan Dengung Sleman untuk memenuhi undangan diskusi terkait pemilihan kepala daerah yang ramah untuk kelompok minoritas.

Tempat duduk yang lebar dan pijakan kaki yang rendah memudahkan Dodi, seorang penyandang difabel akibat polio di kaki kirinya, untuk naik ke atas ojek.

“Desain ojeknya sesuai dengan kebutuhan saya. Meskipun sedikit mahal, tak masalah karena untuk pengembangan difabel juga,” kata pria yang juga pengurus Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia di Kecamatan Sleman, pada Selasa, 6 September 2016.

Dodi mengaku telah menjadi pelanggan tetap ojek Difa, ojek yang dirancang ramah terhadap penyandang difable, sejak setahun terakhir.

Menurut Dodi, terdapat sekitar 12 ribu penyandang disabilitas di Kecamatan Sleman yang merasa terbantu dengan adanya Difa.

“Sebab ada banyak kebutuhan mereka yang dipahami dan disediakan oleh sopir dan ojek difa.  Kadang teman difabel butuh waktu sedikit lama untuk mencari cara naik ke motor dan digonceng belakang (ojek biasa).” 

“Terdakadang tukang ojek yang tanggap membantu mereka untuk naik dengan berbagai cara yang malah membuat para difabel risih, misalnya dengan mengangkat atau menggendong mereka. Dengan ojek Difa kami lebih mudah naik dan bisa membawa barang lebih banyak,” katanya.

Semua orang bisa jadi difabel

Ojek difa didirikan oleh Triyono, pemuda difabel berusia 35 tahun, bulan Desember 2015 lalu.

Walau sebagian besar pelangganya adalah difabel, Triyono, yang menderita lumpuh akibat terserang polio, tidak mengususkan jasa ojeknya untuk kelompok difabel saja. 

“Awalnya, Juni 2015 saya mempunyai tiga motor yang saya modifikasi untuk jasa ojek. Setelah jalan mencari kawan driver, baru stabil pada Desember 2015, Difa berasal dari kata difabel karena sopirnya difabel, bukan karena pelangganya yang sebagian besar difabel,” kata Triyono kepada Rappler.

Sarjana lulusan Fakultas Pertanian itu membutuhkan waktu enam bulan untuk mencari sopir dan pelanggan tiga motor modifikasinya. Tabungan pribadi dari hasil usaha ternak dan usaha lain digunakan sebagai modal awal mendirikan jasa ojek motor roda tiga tersebut.

Triyono gigih membuka usaha ojek karena ingin menunjukkan difabel seperti dirinya mampu mandiri dan bekerja memenuhi kebutuhan sendiri. “Mencari sopir dan penumpang itu tak mudah, keduanya sama-sama bermasalah,” katanya.

Menurut Triyono, banyak penyandang difabel mendapat pelatihan ketrampilan dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat tapi gagal memanfaatkan keterampilan mereka untuk mandiri.

“Ada rasa malu, takut dan tak percaya diri karena berbeda dan diremehkan. Mereka juga sering menerima kekerasan verbal dari keluarga terdekat maupun masyarakat. Kekerasan verbal sering terjadi, itu juga saya alami,” katanya.

Tak jarang, kata Triyono, sopir ojek Difa harus menerima perlakuan buruk dari sopir ojek lain yang merasa lahan mereka direbut kaum difable. Meskipun bisa diselesaikan dengan baik oleh Triyono dengan datang ke lokasi, sering sopir Difa berhenti ngojek beberapa saat karena takut dan terpukul.

“Butuh pendampingan lagi untuk membangun semangat mereka. Penumpang juga sama, ada banyak yang tak mau naik ojek Difa karena malu. Itu juga saya alami, karena saya juga supir Difa. Alasan mereka malu kemudian takut karena merasa ojek tak aman,” katanya.

Maka seleksi alam pun terjadi. Semakin lama muncul pola pelanggan Difa yang sebagian besar adalah kelompok difabel sendiri. Mereka yang menggunakan kursi roda pun bisa diangkut masuk oleh motor Difa yang didesain khusus.

Penumpang bule untuk city tour

Seiring dengan berjalannya waktu, ojek Difa semakin dikenal masyarakat, termasuk di antara para wisatawan. Banyak wisatawan asing (baca bule) menggunakan jasa Difa. Dan untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan itu, Triyono menyediakan layanan city tour dengan biaya Rp25 ribu per jam  dengan minimal pemesanan Rp100 ribu untuk empat jam.

Armada Difa juga bertambah dari tiga menjadi 15 motor saat ini. Untuk memodifikasi, Triyono membutuhkan modal sekitar Rp10 juta untuk motor manual, dan Rp14 juta untuk motor jenis matic. Selain dana pribadi, Triyono mengaku menerima dana CSR dari perusahaan dan sedekah dari para donatur. 

 “Target saya tahun ini bisa 100 sopir dan armada,” kata Triyono, sambil menambahkan bahwa saat ini ada 50 nama yang masuk daftar tunggu menjadi sopir.

Difa beroperasi menggunakan sejumlah media sosial, seperti BBM, Whatsapp, Twitter, dan juga hotline. Dan meskipun belum secanggih aplikasi milik GoJek, misalnya, sistem tarif Difa juga menggunakan prinsip jarak.

Ojek penerima layanan akan berkomunikasi dengan operator lewat Whatsapp, dia akan menyebutkan biaya berdasarkan jarak menggunakan Google Maps. Biayanya Rp20 ribu per lima kilometer pertama, setelah itu Rp2500 per kilometer.

“Untuk jasa ini kami hanya mengambil tak lebih dari 10 persen pendapatan ojek setiap harinya. Manajemen nombok tidak masalah. Motor Difa boleh mereka (para sopir) bawa pulang,” katanya.

Triyono mengaku sedang menyiapkan aplikasi khusus yang lebih lengkap untuk memudahkan sopir dan penumpang. Aplikasi yang sedang disiapkan bermacam-macam, termasuk hantar barang, penumpang, city tour, dan hantar makanan.

Pengembangan itu memanfaatkan apresiasi yang diraih Difa lewat sebuah kontes kreativitas yang diselenggaran sebuah perusahaan swasta di tanah air.

“Kelebihan kami bak motor kami lebih luas, sehingga makanan yang dipesan bisa berkotak-kotak banyaknya, dan barang yang masuk pun bisa lebih banyak. Ini berguna misalnya untuk membantu mahasiswa pindahan atau mengantar difabel dengan kursi roda. Aplikasi ini rencananya akan beroperasi bulan depan,” kata Triyono.

Sopir Difa pun berani menikah

Meskipun baru berusia satu tahun, para sopir sudah merasakan banyak manfaat dari ojek Difa. Salah satunya adalah Aris Wahyudi.  

“Sebelumnya saya banyak bekerja di tempat lain, mulai menyablon sampai berjualan salak keliling. Tapi saya baru berani menikah setelah kerja Difa selama dua bulan,” kata Aris Wahyudi.

Pemuda berusia 30 tahun itu mempersunting istrinya pada Mei lalu.

Penghasilan dari Difa membuat pria yang difabel karena cidera dan kecelakaan kerja itu berani melamar buah hatinya.

“Keluarga istri kan juga mempertanyakan pendapatan saya. Alhamdulolah di Difa ini rata-rata saya bisa dapat Rp100 ribu setiap hari. Kantor pun hanya menarik biaya 10 persen untuk ojek dan sekitar 30 persen untuk city tour karena kantor yang mencarikan penumpang,” katanya.

Dia pun optimis masa depannya dengan Difa akan lebih baik setelah aplikasi beroperasi. Menurutnya tempat duduk yang lebar dan penanganan yang tepat menjadi daya tarik dari Difa untuk memikat hati penumpang dari kelompok difabel.

“Tempat duduk kami lebar, jadi bisa ngangkut sampai tiga orang sekaligus. Meskipun banyak ojek lain yang jadi tidak suka itu tidak masalah, namanya persaingan kerja bagi saya sudah biasa. Memang kadang driver Difa lainnya nggak berani masuk kalau diusir oleh ojek lain, tapi saya tidak karena mereka tak pernah menggunakan kekerasan,” katanya. – Rappler.com 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!