Jangan sampai generasi muda lupa akan Munir

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jangan sampai generasi muda lupa akan Munir
Upaya memperjuangkan keadilan Hak Asasi Manusia (HAM) membutuhkan regenerasi agar perjuangan tetap hidup dan berlanjut

JAKARTA, Indonesia – Hariwi masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) saat mendengar nama Munir Said Thalib untuk pertama kalinya. Meski tak terlalu ambil pusing, namun nama tersebut tersimpan lekat di memorinya.

Ingatan yang tertidur itu pun bangkit saat ia menyaksikan demo buruh besar-besaran pada tahun 2013. “Dari situ saya mulai cari-cari tentang dia,” kata dia saat ikut diskusi ‘Pekan Merawat Ingatan’ di Kinosaurus Jakarta pada Rabu, 7 September.

Ia pun mulai mengumpulkan bahan tentang sosok Munir. Riset dilakukannya dengan membaca artikel mengenai aktivis asal Batu, Jawa Timur ini; hingga bertemu dengan keluarga maupun kawan-kawan sepergerakannya.

Setelah proses risetnya selesai, Hariwi merasa sayang kalau pengetahun tersebut berhenti hanya pada dirinya. Karena itu ia ingin mendokumentasikannya dalam bentuk film pendek.

Niatannya ini mendapatkan dukungan tak hanya dari kawan sepermainannya, tetapi orang-orang dekat Munir yang pernah ditemuinya pun sangat antusias dengan idenya. “Saya jujur saja belum pernah membuat film sendiri, tetapi mereka sangat support. Akhirnya dengan dana, kru, dan alat seadanya, kita jalan,” kata dia. 

Hariwi menargetkan proses produksi selesai dalam setahun, hingga film berjudul ‘Kisah Tentang Cak Munir’ ini dapat diputar bertepatan dengan perayaan 10 tahun kematiannya. Namun, target itu meleset, karena produksi baru tuntas pada Desember. “Akhirnya pemutaran perdananya di Omah Munir,” kata dia.

Film ini mengisahkan tentang biografi Munir; bagaimana kehidupannya dan kesan Suciwati tentang suaminya yang ‘justru sakit kalau tidak menolong orang.’ Hariwi, yang saat ini masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi ini berhasil menyabet penghargaan khusus untuk kategori film panjang terbaik di Festival Film Indonesia 2015.

Dokumenter sidang

Lain lagi dengan Steve Pillar Setiabudi, sutradara film dokumenter His Story yang menampilkan persidangan terdakwa pembunuh Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto. Ia mengompilasi rekaman tersebut dari dokumentasi media maupun kawan-kawannya.

“Supaya penonton paham siapa yang membunuh Munir, dan mengapa. Masih ada penjelasan yang mengganjal, juga pelaku yang masih bebas,” kata dia.

Film berdurasi hampir 30 menit ini tak hanya memperlihatkan sidang semata; ada juga penghancuran properti aktivis pembela Munir oleh pihak tak dikenal. Ada juga saat Polly melenggang dengan santai di hadapan wartawan dan mengajaknya ke Papua. “Nanti biaya gua yang tanggung,” kata dia sambil tersenyum.

Melenggangnya Polly yang tampak santai seolah menggambarkan kondisi kasus Munir. Aktivis HAM sekaligus Sekretaris Tim Pencari Fakta (TPF) Pembunuhan Munir Usman Hamid mengatakan masih ada pelaku lainnya yang tidak diadili, bahkan dibebaskan.

Mengapa Munir?

Lalu, mengapa keduanya begitu ingin membuat film tentang Munir, dari dua sudut yang berbeda? Bagi Hariwi, ia tak ingin generasinya terputus sama sekali dengan sosok Munir.

“Waktu dia meninggal, saya kelas 4 SD, tidak tahu apa-apa. Waktu 2013 juga saya hanya tahu Munir, tidak tahu nama lengkapnya,” kata dia. Generasinya, atau yang berusia 20 tahunan ke bawah, adalah mereka yang terputus dengan suami Suciwati itu.

Baginya, penting untuk terus menghidupkan sosok Munir, perjuangan dan semangatnya, kepada generasi muda.

“Saya dan teman-teman saya membuat film ini untuk mengenal Munir, karena penting untuk mengetahui sosok beliau,” kata dia.

Sementara Steve, juga berupaya melanjutkan advokasi yang terputus. Seperti hal-hal yang masih kabur maupun fakta yang ditutupi pemerintah, hingga keadilan bagi pelaku yang masih bebas.

Namun, itu bukanlah tujuan yang utama. “Bagaimana kita mengingat keberanian Munir bisa menginspirasi anak-anak muda agar peka dan berani mengemukakan ketidakadilan yang ada di sekitarnya,” kata dia.

Saat ini, mereka yang masih memperjuangkan keadilan HAM dari masa lalu sudah mulai berumur. Bila tak ada regenerasi, maka tak tertutup kemungkinan perjuangan akan berakhir seiring dengan bungkamnya para pejuang oleh umur.

Maria Sumarsih, orang tua dari mahasiswa korban aparat pada peristiwa Semanggi I, mengatakan sudah ada bibit-bibit anak muda yang akan melanjutkan perjuangan. “Ini memang harus dirintis, ketika para aktivis 98 sudah masuk dan tidak berdaya, ada anak muda yang meneruskan perjuangan kami,” kata dia saat ditemui terpisah pada Aksi Kamisan, Kamis, 8 September di seberang Istana Negara, Jakarta. 

Baginya, perjuangan ini bukan saja dilandasi semangat menuntut keadilan. Juga cinta pada mereka yang telah tiada. “Dan cinta kasih itu perlu diperjuangkan,” katanya.

Kematian tidak lantas mengakhiri suatu perjuangan. Munir, juga para pejuang lainnya, tetap ada; dan berlipat ganda. -Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!