Usai digusur, apa yang tersisa untuk warga Bukit Duri?

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Usai digusur, apa yang tersisa untuk warga Bukit Duri?

ANTARA FOTO

Gubernur DKI sempat mengakui ada 12 warga Bukit Duri yang memiliki sertifikat rumah, namun tetap kena gusur pada Rabu kemarin

JAKARTA, Indonesia – Rabu pagi, 28 September, area Bukit Duri sudah hiruk pikuk. Ratusan petugas kepolisian dan satuan pamong praja mengepung wilayah yang kerap dilanda banjir tahunan itu sejak pukul 06:00 WIB.

Total sekitar 400 personil gabungan dan dua unit backhoe diturunkan untuk mulai meratakan bangunan yang ada di sepanjang pinggir Sungai Ciliwung. Bahkan, di antara mereka ada yang dilengkapi dengan senjata laras panjang dan peralatan anti huru hara.

Otoritas berwenang khawatir peristiwa penggusuran yang berujung dengan kericuhan di Kampung Pulo kembali terulang.

Menurut Lurah Bukit Duri, Mardi Youce, Pemprov membongkar lebih dulu rumah-rumah yang sudah dikosongkan oleh warga.

“Ini semua sudah kosong,” ujar Mardi kepada media dengan menyebut dari 363 keluarga, sebanyak 313 keluarga sudah pindah ke rumah susun.

Sebagian lagi memilih menolak direlokasi ke tempat yang sudah disiapkan Pemprov DKI di rumah susun sewa Rawa Bebek. Warga yang menolak kemudian melakukan aksi damai sambil memukul alat perkusi yang terbuat dari ember bekas dan kentongan untuk mengganggu petugas Satpol PP yang membongkar bangunan di RW 09-12 itu.

Bahkan, sorakan juga sempat dilontarkan ketika Satpol PP berhasil merobohkan satu demi satu bangunan milik warga. Sementara, bagi warga pemilik bangunan yang digusur, Rabu menjadi hari kelabu bagi mereka. Rappler sempat melihat ada warga yang menitikan air mata, karena hanya bisa pasrah melihat bangunan yang telah dihuni selama puluhan tahun rata dengan tanah.

Ketua RT 08 yang Rappler coba dekati untuk dimintai komentar, bahkan menolak.

“Saya sedang berduka, jadi tidak ingin diwawancarai media,” ujar Ketua RT tanpa mau menyebutkan nama.

Punya sertifikat rumah

Kesedihan dan rasa pasrah terlihat jelas di wajah perempuan yang hanya ingin disapa sebagai Mawar. Dia mengaku sudah tinggal di area Bukit Duri selama puluhan tahun.

“Ayah saya punya sertifikat rumah yang sudah dibongkar ini,” ujar Mawar sambil menunjuk sebuah bangunan di depannya yang sudah rata dengan tanah sebagai rumahnya.

Sambil menyindir Gubernur DKI, Basuki Tjahaja “Ahok” Purnama, Mawar mengaku senang digusur. Dia mengaku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah Pemprov menggusur rumahnya, kendati sudah ikut melakukan class action ke Pengadilan Jakarta Pusat.

Sidang class action belum juga rampung, Pemprov DKI malah sudah mengirimkan surat peringatan ke-3 kepada warga pada Selasa, 20 September. Isi surat itu meminta warga secara tegas untuk membongkar sendiri bangunannya atau akan dibongkar paksa oleh Satpol PP.

“Kita mah ikutin aja lah. Terserah Pemprov mau diapakan. Dulu, saya punya rumah sendiri cukup besar, sekarang mengontrak ke rumah yang lebih kecil. Mana muat barang-barang saya di sana. Jadi, sebagian saya tinggalkan barang-barang untuk diambil Ahok,” kata Mawar.

Dia mengaku Pemprov DKI memang menawarkan untuk pindah ke rumah susun sewa di Rawa Bebek. Tapi, tawaran itu dia tolak.

Pemerintah tidak taat hukum

TERUS BERJUANG. Ketua Komunitas Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi mengatakan warga Bukit Duri akan terus berjuang melalui jalur hukum usai penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI pada Rabu, 28 September. Foto oleh Diego Batara/Rappler

Ketua Komunitas Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi, mengaku heran mengapa Pemprov DKI begitu getol dan ingin segera menggusur bangunan warga di Bukit Duri. Sementara, sidang class action warga di PN Jakpus masih terus bergulir dan telah memasuki sidang ke-9.

“Ketika gugatan hukum warga tengah berproses di pengadilan, mereka malah digusur. Warganya taat hukum, sementara pemerintahnya tidak. Apakah pemerintah bermaksud untuk mengajari warga bertindak anarkis?” ujar Sandyawan yang telah mendampingi warga Bukit Duri selama puluhan tahun.

Sandyawan dan rekan-rekannya juga harus menyaksikan bangunan Sanggar Ciliwung Merdeka termasuk salah satu yang digusur dengan alat backhoe oleh Satpol PP.

“Sekarang, setelah digusur, warga akan ke mana? Apakah Pemprov tidak berpikir ada hak-hak yang telah dilanggar?” katanya lagi.

Menurut Sandyawan, Ahok sudah mengakui ada 12 warga yang memiliki sertifikat rumah di area Bukit Duri, sehingga proses penggusuran akan ditunda sementara. Namun, atas nama proyek normalisasi Sungai Ciliwung, Sandyawan melanjutkan, fakta itu ditepis.

“Bagaimana mungkin kami yang memiliki sertifikat tanah yang sah digusur, sedangkan warga di pulau reklamasi tidak memiliki sertifikat. Dasar hukum berupa Raperda (untuk Pulau G) juga tidak ada. Tapi, mereka tidak digusur, sedangkan kami didorong dan diintimidasi,” ujar pria yang kerap dijuluki “Romo Pemulung” itu.

Sandyawan mengaku sudah berulang kali mengupayakan dialog dengan Pemprov DKI. Tetapi, menurutnya, Ahok lebih mendengarkan kepentingan pembangunan infrastruktur dari pengembang. Lalu, apa yang akan dilakukan oleh warga Bukit Duri selanjutnya?

“Kami akan terus melakukan perjuangan hukum dan tidak akan berhenti. Karena saya yakin Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung kemanusiaan yang adil dan beradab,” kata Sandyawan.

Dia menjelaskan, warga sebenarnya bukan tidak setuju dengan program normalisasi sungai. Tetapi, yang mereka inginkan adalah warga memperoleh ganti rugi dan lahan.

Sandyawan dan warga sebenarnya telah memberikan alternatif kepada Pemprov DKI, daripada digusur, mereka bisa membuat kampung susun manusiawi Bukit Duri.

“Warga bisa berinvestasi 30 persen, Pemprov 50 persen dan investor 20 persen. Solusi ini sempat disetujui Pak Jokowi. Tetapi, kenapa Gubernurnya malah tidak sepakat? Kan aneh,” ujar Sandyawan. – Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!