Solidaritas korban gusuran di Bukit Duri

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Solidaritas korban gusuran di Bukit Duri
Masih ada banyak kenangan atasnya dan masih ada persoalan hukum yang belum selesai di atas tanah yang kini didaku sebagai tanah steril oleh pejabat-pejabat pemerintahan.

JAKARTA, Indonesia — Kini, memang hanya puing yang tersisa di atas Bukit Duri setelah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meratakannya dengan tanah dua pekan lalu. Namun, bukan berarti tak ada lagi kehidupan berlangsung di area tersebut.

Ratusan orang berkumpul di atas puing-puing, pada Sabtu, 15 Oktober. Ada yang berjualan es doger, pakaian, makanan kecil, hingga anak-anak yang berkerumun mendengarkan cerita.

Pada hari itu, Gerakan Masyarakat Untuk Demokrasi (Gema Demokrasi) dan masyarakat sipil peduli korban gusuran mengadakan acara bertajuk Cahaya Tanah Gusuran.

“Ini adalah bentuk kegiatan yang berusaha menyalakan awan gelap di bekas tanah gusuran. Karena penggusuran paksa telah menghancurkan kehidupan di tempat yang tadinya didiami warga berdaya ini,” kata pendiri Sanggar Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi, di hadapan hadirin.

Juru bicara Gema Demokrasi, Dhyta Caturani, mengatakan kalau acara ini telah disiapkan sejak dua pekan lalu. Tak hanya eks-warga Bukit Duri, ada pula warga dari lokasi gusuran lainnya; bahkan dari Kebon Waru, Bandung.

Terancam batal

Namun acara ini sempat terancam batal sebelumnya. Dhyta mengatakan, sekitar pukul 10 pagi kurang, ada petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang mendatangi pihak penyelenggara untuk menanyakan izin keramaian.

“Kami negosiasi dan akhirnya disepakati untuk menunggu hingga pukul 13:00 untuk dapat izin. Kalau tidak maka akan kami bongkar,” kata Dhyta.

Sandyawan, Jaya Suprana, dan beberapa orang dari Ciliwung Merdeka pun bergegas ke Polres Jakarta Selatan. Namun, bukan hanya Kapolres tidak ada; izin pun tak bisa dikeluarkan lantaran acara tersebut tak mendapatkan rekomendasi dari kelurahan.

Petugas kepolisian yang ada kemudian menyarankan penyelenggara ke Kecamatan Tebet untuk mendapatkan rekomendasi. Di sana, mereka dipertemukan dengan Kasatpol PP Kecamatan Tebet Fahrizal.

“Dibilang lokasi kegiatan banyak paku dan berbahaya. Padahal tiap hari kenyatannya jadi lahan bermain anak-anak,” kata Dhyta, menunjukkan adanya fakta yang bertolak belakang. Izin pun tetap tidak dikeluarkan.

Meski demikian, penyelenggara mendapat perpanjangan waktu hingga pukul 15:00 untuk memperoleh izin acara.

Berbagai upaya dilakukan, Jaya bahkan menghubungi lurah yang bersangkutan. Namun, tetap saja izin tidak diberikan; dengan dalih tempat tersebut merupakan lahan steril. Selama itu pula, kondisi di lokasi tetap steril. Panggung dan tenda dagangan yang ada pun tetap berdiri.

Pada akhirnya, hingga pukul 14:45, datang sebuah mobil polisi. Ternyata, bukan untuk membubarkan acara melainkan mengantarkan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Kepada media, Fadli mengatakan kalau ia mendengar kabar ancaman acara bubar dari Jaya Suprana.

“Saya kira tidak ada masalah masyarakat korban penggusuran membuat acara seperti ini, seharusnya pemerintah membebaskan,” kata Fadli. Akhirnya, acara pun dapat tetap berlangsung.

Meski turut didatangi oleh Fadli Zon, Dhyta menegaskan kalau acara yang digagasnya ini bukanlah partisan. “Ini acara independen atas inisiatif warga dan masyarakat sipil yang pedulu. Kami non-partisan,” katanya.

Masih ada harapan

LILIN HARAPAN. Anak-anak korban gusuran menyalakan lilin. Foto oleh @cahayagusuran

Sandyawan mengatakan kalau penggusuran paksa sangat keliru dari sudut pandang hukum, budaya, dan ekonomi.

“Dari sudut pandang hukum, penggusuran paksa melanggar hak asasi manusia. Dari sudut pandang budaya, penggusuran paksa merupakan bencana bagi kemanusiaan. Serta dari sudut pandang ekonomi, penggusuran paksa merupakan dampak langsung dari kebijakan New Developmentalism yang mengagung-agungkan pembangunan dan bukan pada kemanusiaan,” kata Sandyawan.

Tanah Bukit Duri pun, menurutnya, masih menyisakan banyak persoalan hukum yang belum selesai. Selain gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), masih ada class action yang tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

“Kita adalah warga yang taat hukum. Seharusnya pejabat lurah, camat, wali kota, kepolisian, Satpol PP punya sikap yang sama. Ini bukan persoalan tanah steril atau tidak, tetapi ini soal digusurnya kembali hak-hak warga gusuran,” kata Sandyawan.

Menurutnya, setelah kehilangan hak tinggal; bahkan diperburuk citranya lewat media sosial, sungguh tak masuk akal kalau untuk menghibur diri pun dipersulit.

Bagaimanapun juga, warga menolak mundur. Mereka akan tetap memperjuangkan hak mereka lewat jalan yang masih tersisa.

ANAK BERCERITA. Foto oleh @cahayagusuran

“Sekalipun awan gelap itu datang lagi, kali ini cahaya tetap akan dinyalakan. Sekalipun akan dilenyapkan, cahaya tetap akan memancar bukan saja di sini, tetapi di mana-mana dan berlipat ganda,” kata Sandyawan.

Bila melihat suasana akrab dan riang dari anak-anak yang bercerita dan menggambar; juga keakraban para warga yang dulu hidup bertetangga, memang kisah Bukit Duri belumlah usai.

Sekitar pukul 10 malam acara mencapai puncaknya; di mana para hadirin berkumpul di depan panggung untuk menyalakan lilin. Sebelumnya, paduan suara gabungan anak-anak dari berbagai wilayah gusuran di Jakarta menghibur lewat paduan suara.

“Cahaya sudah dinyalakan. Mari melawan gelap dan murka,” tutup pembawa acara.

Meski malam itu Cahaya Tanah Gusuran sudah selesai, tidak demikian dengan para warga yang masih akan terus memperjuangkan hak mereka.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!