Deradikalisasi napi terorisme melalui empati dan kewirausahaan

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Deradikalisasi napi terorisme melalui empati dan kewirausahaan
Mantan napi terorisme yang sudah keluar penjara berharap banyak pada pemerintah. Jika tidak dirangkul, mereka bisa kembali ke jalur radikal

SOLO, Indonesia – Yudi Zulfahri (33 tahun) bercerita bagaimana ia bisa melepaskan diri dari paham radikalisme yang telah membuatnya meringkuk di penjara selama 5,5 tahun.

Lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Bandung itu ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 pada 2010 bersama tiga rekannya di pegunungan Jalin, Jantho, Aceh Besar, karena terlibat dalam pelatihan militer para anggota jaringan Jamaah Islamiyah.

Di kamp pelatihan, ia berperan untuk menyediakan logistik dan menyiapkan fasilitas latihan. Kedua orang tuanya hanya tahu bahwa Yudi sedang belajar mendalami agama, tetapi tidak sadar bahwa anaknya telah bergabung dengan kelompok radikal. 

Selama di tahanan, Yudi bertemu dengan Ali Imron, seorang pelaku Bom Bali —adik dari Ali Ghufron dan Amrozi— yang menjalani hukuman seumur hidup.

Melalui diskusi dengannya, Yudi akhirnya menemukan pemahaman baru dari Ali Imron bahwa jihad dan syariat Islam tidak sama dengan kekerasan dan terorisme. Apa yang diyakininya selama ini keliru.

“Prosesnya panjang, sekitar dua tahun berdiskusi dengan Ali Imron sejak di Polda Metro Jaya,” kata Yudi dalam sebuah workshop media dan radikalisme, di Solo, awal Oktober lalu.

Setelah keluar dari penjara, Yudi kini terlibat aktif untuk melawan radikalisme dan berusaha meyakinkan jaringan lamanya untuk tidak menggunakan kekerasan. Karena, menurut dia, kelompok radikal umumnya hanya mau mendengar dari orang yang pernah berada satu jaringan dengan mereka, bukan orang luar.

Konon, melalui peran Yudi, sejumlah anggota Jamaah Anshorut Tauhid —organisasi bentukan Abu Bakar Baasyir di Solo— mengurungkan niatnya untuk pergi ke Suriah bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pimpinan Al Baghdady.

“Banyak kawan-kawan yang tujuan sebenarnya bukan negara Islam, tetapi hanya ingin syariat Islam. Saya kira doktrin yang mengajarkan memusuhi negara itu yang perlu dinetralkan,” ujar Yudi.

Sayangnya, tidak semua narapidana terorisme bernasib seperti Yudi yang berhasil berbalik arah menolak ekstremisme. Ada sebagian dari mereka yang justru menjadi lebih radikal setelah selesai menjalani masa tahanan.

Sunakim, misalnya, menjadi salah satu pelaku bom Thamrin setelah ia berkenalan dan menjadi tukang urut pemimpin kelompok Tauhid wal-Jihad, Aman Abdurahman, di dalam penjara. Begitu juga dengan amir Mujahiddin Indonesia Timur, Santoso, yang menjadi semakin radikal setelah keluar penjara.

Lapas jadi arena reuni pelaku teror

Lembaga pemasyarakatan (lapas) yang seharusnya mengubah perilaku tahanan menjadi lebih baik, justru malah menjadi arena reuni bagi para terdakwa pelaku teror berbendera agama. Bahkan, penjara juga menjadi tempat menyebarkan paham radikal kepada napi lain.

Pola umumnya, para napi kriminal biasa ikut bergabung dengan kelompok radikal di penjara karena tertarik dengan pasokan logistik para napi terorisme, terutama kiriman makanan. Kemudian, mereka bergaul dan menerima doktrin radikalisme.

“Banyak kawan-kawan yang tujuan sebenarnya bukan negara Islam, tetapi hanya ingin syariat Islam. Doktrin yang mengajarkan memusuhi negara itu yang perlu dinetralkan”

Salah satu faktor yang berpengaruh pada penyebaran radikalisme adalah kapasitas penjara yang melebihi kuota. Bercampurnya napi pidana umum dengan napi terorisme menjadi awal proses perekrutan baru calon pelaku terorisme. 

“Kapasitas lapas sekarang 1.000 orang, tetapi isinya 3.000 tahanan. Padahal, setiap kepala lapas hanya sanggup mengawasi 200-500 tahanan,” kata Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, I Wayan Dusak, usai membuka pelatihan penanganan napi terorisme bagi petugas lapas, di Solo pekan lalu.

Menurut data Kementerian Hukum dan HAM per Oktober 2016, kapasitas seluruh lapas di Indonesia saat ini 118.224 orang, tetapi kenyataannya menampung tahanan 198.687 orang. Artinya, penjara Indonesia berisi sekitar 168 persen dari kapasitasnya.

Sebanyak 223 orang di antaranya adalah napi terorisme yang tersebar di 69 lapas —paling banyak di Jawa Tengah, 78 orang. Hanya sedikit dari mereka yang ditempatkan di sel khusus, terutama napi berisiko tinggi dan ideolog (perekrut). 

“Idealnya napi terorisme dipisah, jika perlu ada lapas khusus,” kata Wayan.

Pihak lapas sebagai penerima tahanan jarang terlibat dalam profiling napi terorisme sehingga memiliki informasi sangat terbatas dan bahkan tidak bisa mengidentifikasi apakah napi itu termasuk katagori ideolog, militan, atau pengikut. Padahal, seharusnya lapas menjadi ujung tombak deradikalisasi di bagian hilir dari penegakan hukum.

Deradikalisasi dengan pendekatan korban

Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius menyerahkan bantuan lampu penerangan di Pondok Pesantren Ulul Albab Sukoharjo. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Selain daya tampung penjara dan kegagalan profiling napi, ada sejumlah alasan lain yang menyebabkan deradikalisasi di lapas tidak efektif yaitu perilaku para napi terorisme yang tidak kooperatif, tidak mau mengikuti pembinaan, dan bersikap tertutup. 

Di lain pihak, petugas lapas secara umum tidak memiliki kecakapan menangani napi terorisme. Karena itu, upaya deradikalisasi dalam penjara terpaksa harus menggandeng pihak ketiga, seperti Aliansi Indonesia Damai (AIDA), dan Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP). 

AIDA, misalnya, membantu proses deradikalisasi dengan pendekatan korban. Cerita korban terorisme menurut mereka sangat efektif untuk memantik rasa empati dari napi terorisme dan membuat mereka berpikir kritis terhadap perilaku kekerasan yang menyebabkan korban tak berdosa. 

Menurut Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, sensitivitas kemanusiaan para napi tumbuh secara alami jika dihadapkan pada korban terorisme, apalagi jika mereka melihat kondisi fisik korban yang tak lagi sempurna. Banyak dari mereka yang menyesal dan memohon maaf atas perbuatan mereka di masa lalu. 

“Harapannya, para napi akan menyebarkan cerita korban ini ke kelompoknya,” kata Hasibullah.

Deradikalisasi melalui kewirausahaan

Lalu, bagaimana dengan napi terorisme yang sudah keluar? Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berusaha untuk merangkul mereka agar tidak kembali ke jaringan lama.

Di wilayah Solo dan sekitarnya, misalnya, ada sekitar 40 mantan napi terorisme yang sudah selesai menjalani masa tahanan dan kembali ke masyarakat. Mereka tidak bisa memperoleh pekerjaan yang layak karena stigma eks-teroris, dan rawan bergabung kembali dengan kelompoknya, atau justru merekrut pengikut baru.

“Mereka berharap ada perhatian dari pemerintah. Negara [BNPT-red] harus hadir, mereka ini juga bangsa Indonesia, kalau tidak kita rangkul akan kembali ke jaringan lama,” kata Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris kepada Rappler.

Salah satu pendekatan BNPT adalah penyaluran modal usaha. Meskipun demikian, bantuan modal ini tidak serta merta membuat para mantan napi berhasil menjalankan usaha.

Sebagian dari mereka gagal karena kurangnya pembinaan. Karena itu, BNPT menjanjikan akan menggandeng kementerian lain untuk membantu usaha para mantan napi terorisme itu.

Upaya deradikalisasi di lapangan tidak terbatas pada pemulihan mantan napi, melainkan juga mencegah esktremisme dengan jalan merangkul semua kelompok, termasuk pondok pesantren di Indonesia.

Misalnya, BNPT bekerja sama dengan Bank BRI menyalurkan bantuan 1.000 paket lampu LED portable dan genset untuk pesantren yang masih belum teraliri listrik di Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tengah.

Melalui program Listrik Mandiri Rakyat (Limar) itu, BNPT ingin menunjukkan bahwa negara hadir untuk kelompok yang selama ini merasa terpinggirkan. Salah satu sasarannya adalah Pondok Pesantren Ulul Albab di Kecamatan Polokarto, Sukoharjo, yang merupakan tempat menetap sejumlah janda dari para pelaku terorisme, di antaranya istri Imam Samudra, istri Amrozi, istri Ali Ghufron, dan istri Dulmatin.

Selain menerima bantuan, para santri juga akan diajarkan pembuatan lampu itu, sehingga bisa memproduksi sendiri. Konsep kewirausahaan komunal di pesantren ini sudah berhasil dikembangkan pertama kali di Pesantren Darul Hidayah, Bandung.

“BNPT mengedepankan soft approach, bagaimana membangun empati, ekonomi, kewirausahaan, kita ingin merangkul semua, karena semuanya anak bangsa,” kata Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!