Chelsea vs Arsenal: Bukan tim sekelebat malam

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Chelsea vs Arsenal: Bukan tim sekelebat malam
Dominasi Chelsea bukan hanya karena ganti formasi.

JAKARTA, Indonesia — Apa yang kita saksikan di televisi, plus situs-situs tentang statistik dan formasi sepak bola, adalah cerita yang kelewat sederhana: Chelsea mengubah formasinya dari sistem empat bek menjadi tiga bek kemudian tiba-tiba mereka berada di puncak klasemen. 

Semuanya terjadi begitu cepat. Seperti hanya dalam satu kelebatan malam. Setelah Chelsea dibantai 0-3 oleh Arsenal dalam malam jahanam di London Utara pada 26 September lalu itu, John Terry dan kawan-kawan berubah menjadi tim dengan konsistensi nyaris sempurna. 

Penyebab utamanya memang Antonio Conte. Tapi bagaimana cara dia melakukannya, banyak yang bersilang pendapat. Ada yang melakukan simplifikasi bahwa semua soal formasi. Padahal, di belakang hingar bingar dan puja puji kejeniusan lelaki mantan kapten Juventus tersebut, tersimpan kisah-kisah ketekunannya membangun hubungan baik dengan para pemain. 

Conte barangkali dalam satu barisan dengan Jose Mourinho dalam hal menuntut tim. Dia bukan Arsene Wenger yang “membebaskan” para pemainnya di lapangan untuk berimprovisasi. Atau seperti Carlo Ancelotti yang percaya bahwa para pemain pasti tahu yang terbaik untuk tim. 

Conte dan Mourinho sama-sama pelatih yang menuntut detail. Nol kesalahan. Semua skema dan karakter permainan adalah buah dari skema rumit, detail, yang diterapkan secara disiplin di atas lapangan. Tidak taat terhadap game play adalah awal dari bencana. 

Mereka berdua juga sama dalam mengambil langkah awal. Keduanya berangkat dari paradigma bahwa sebuah tim harus memiliki pertahanan yang kuat. Tentu Conte lebih bisa memahaminya karena dia tidak mempelajari catenaccio secara “teoritis” seperti Mourinho. Dia ikut mengalami langsung permainan dengan filosofi bertahan kuat yang kondang di Italia tersebut. 

Tak ada lagi hirarki dari Semenanjung Iberia

Jika Mourinho dan Conte memiliki pendekatan yang hampir sama, mengapa mantan allenatore timnas Italia itu sukses menangani John Terry dan kawan-kawan? Sedangkan, Mourinho justru “dikudeta” oleh para pemain? 

Apalagi, Conte juga pernah mengatakan bahwa sejatinya dia adalah pelatih yang “rewel”. “Saya sangat menuntut kepada pemain. Dan tuntutan saya sangat banyak,” katanya. 

Mendengar kalimat itu dalam bahasa Inggris logat Portugal mungkin lebih familiar daripada dalam aksen Italia. Tapi Conte benar-benar mengatakannya seperti dikutip New York Times. Dan dia tak ragu untuk berteriak-teriak dari pinggir lapangan mengarahkan pasukannya. 

Tapi dia memiliki yang tak dipunyai Mourinho. 

Conte pernah menjadi pemain. Tak hanya sekadar pemain di level rendahan seperti ketika Mourinho menekuni karir—jika itu dianggap karir—hingga hanya di usia 23 tahun. Tapi di pentas tertinggi sepak bola. 

Dia tahu bahwa pemain tak hanya membutuhkan pendekatan taktik dan teknis. Tapi juga chemistry. Soliditas tak bisa dibangun dari latihan ke latihan. Tim harus seperti keluarga. Mereka menjaga satu sama lain. Karena masing-masing adalah rekannya di lapangan yang harus saling melindungi.

Kolumnis Rory Smith menuturkan, Conte menciptakan nuansa kekeluargaan itu di internal tim. Dia kerap mengajak para pemain untuk makan malam bersama. Dia juga tak segan untuk menghadiri pesta ulang tahun anak pemainnya. Biasanya kedatangannya diiringi putrinya, Vittoria, dan istrinya, Elisabetta, juga. 

Di hari-hari sebelum resmi menangani Chelsea, Conte kerap datang ke pusat latihan Chelsea di Cobham. Dia mengajak bicara para pemain satu per satu. Dia bertanya apakah mereka kerasan di klub atau tidak. Dia juga memastikan bahwa setiap pemain akan selalu mendapatkan dukungan penuh dari tim pelatih. 

Sentuhan personal inilah yang membedakan Conte. “Dia meninggalkan pendekatan hirarkis dari rezim sebelumnya dan menggunakan pendekatan kekeluargaan yang lebih akrab,” kata Smith. 

Tapi pendekatan kekeluargaan tersebut tak lantas membuat Conte lemah menghadapi pasukannya. Dia tetap tegas. Bahkan kerap menuntut terlalu keras.

Para pemain selalu menghadapi menu latihan ekstra. Fokusnya pada pembentukan tubuh yang kuat. Fisik yang tangguh menjadi bagian dari cetak biru Chelsea anyar di bawahnya. 

Apalagi, Conte termasuk orang yang percaya bahwa jika kamu tidak punya cukup talenta, paling tidak kamu membayarnya dengan bekerja keras. Seperti yang dia katakan sendiri. 

“Saya bukan Zinedine Zidane atau Alessandro Del Piero. Begitu mereka menerima bola, mereka langsung tahu ke mana mereka akan membawanya. Saya tidak. Saya akan berhenti dulu. Melihat sekeliling. Dan berpikir solusi apa yang bisa dilakukan dari kebuntuan ini,” katanya

Jika melihat komposisi pemain Chelsea, para fantasista—seperti Zidane dan Del Piero yang disebut Conte—tidak ada dalam skuat tim biru. Tim London Barat tersebut paling-paling hanya punya Cesc Fabregas dan Eden Hazard yang flamboyan.

Selebihnya, mereka hanya punya pemain “fungsional” seperti “pemburu bola” N’Golo Kante, pelari cepat Pedro dan Willian, kemudian perusak pertahanan lawan Diego Costa, dan winger yang tak kenal lelah Victor Moses. 

Sebagian besar pemainnya bukan para fantasista.

“Saya ingin para pemain yang secara teknis tidak terlalu istimewa, memiliki kemampuan untuk menawarkan solusi,” katanya.

Conte memang dilahirkan bukan sebagai pemain berbakat. Skill-nya saat masih memperkuat Juventus di era 1990-an juga tidak istimewa. Namanya tenggelam di antara bintang besar seperti Del Piero, Zidane, hingga Roberto Baggio.

Tapi Conte mampu melesat dalam sunyi. 

Etos kerja keras itu terus dia pertahankan hingga ketika mengawali karir kepelatihan. Beberapa kali dia tampak terlihat di pusat latihan Bayern Muenchen. Hanya agar bisa berbincang dengan tim kepelatihan mereka. Salah satunya Carlo Ancelotti yang merupakan mantan pelatih Conte di Juventus.

Sebelum menangani Chelsea, dia bahkan mengundang secara khusus komunitas sepak bola asal Italia di London untuk berdiskusi tentang pekerjaan anyarnya itu. 

Kini, Chelsea dengan paradigma sebagai “tim keluarga” itu akan kembali menghadapi Arsenal pada Sabtu, 4 Februari pukul 19.30 di Stamford Bridge. Bayangan kekalahan 0-3 di putaran pertama jelas sudah menghilang.

Memori para pemain kini bukan lagi didominasi masa silam. Malam jahanam di Emirates Stadium sudah berlalu. Kini pandangan mereka fokus pada piala yang akan segera mereka rengkuh dalam 15 pekan lagi.—Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!