Ajax vs Manchester United: Jalan terakhir yang nyaris mustahil

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ajax vs Manchester United: Jalan terakhir yang nyaris mustahil
Sekali saja, berikan fans kemenangan yang berarti.

JAKARTA, Indonesia — Satu per satu jalan menuju Liga Champions terhalang. Manchester United kini hanya punya satu jalan yang tak bisa lagi ditawar-tawar. Tak ada plan B, tak ada jalur alternatif. Hanya satu dan itu adalah dengan menjuarai Liga Europa.

Masalahnya, lawan di final yang akan digelar pada Kamis, 25 Mei pukul 01.45 WIB di Friends Arena, Stockholm, bukan sembarang rival. Mereka adalah raksasa Belanda Ajax Amsterdam.

Grafik pasukan muda di bawah asuhan Peter Bosz itu meningkat di Liga Europa. Dalam 4 laga terakhir di ajang kasta kedua Eropa itu, Ajax mencetak 9 gol. Bandingkan dengan United yang irit gol. Pasukan Jose Mourinho itu hanya bisa membobol gawang lawan sebanyak lima kali. 

Kemenangan Setan Merah hampir selalu tipis-tipis. Melawan wakil Belgia, Anderlecht, mereka seri 1-1 dan hanya menang 2-1 di Old Trafford. Begitu juga ketika menghadapi Celta Vigo. Di Theater of Dreams United justru bermain seri 1-1. 

Kemenangan tipis 1-0 justru diraih di stadion “mungil” Estadio de Balaidos yang kapasitas tempat duduknya hanya sepertiga Old Trafford. 

Situasi itu jelas merupakan tanda bahaya bagi United. Sebab, grafik produktivitas gol mereka terus melorot. Jika kondisi itu tak segera dihentikan Mourinho, harapan kemenangan melawan Ajax bakal jauh panggang dari api. 

Geliat mencetak gol memang menjadi persoalan tersendiri bagi United. Dan itu tak hanya terjadi di kompetisi Eropa. Di 8 laga terakhir Liga Primer, mereka tak pernah mencetak lebih dari 2 gol. Bandingkan dengan Ajax yang bahkan mencatatkan 2 kemenangan besar 5 gol dan 4 gol masing-masing dua kali. 

Kondisi semakin buruk bagi United karena Ajax memiliki masa istirahat lebih panjang. Kurang lebih 10 hari masa persiapan mereka laga puncak Liga Europa ini setelah Eredivisie berakhir. Sedangkan United hanya 4 hari sejak laga terakhir melawan Crystal Palace. 

Masa istirahat yang pendek itu berimbas pada kebugaran dan pemulihan para pemain. Sebanyak 8 punggawa United tak bisa diturunkan. Beberapa di antaranya merupakan nama besar seperti Zlatan Ibrahimovic, Luke Shaw, Marouane Fellaini, dan Marcos Rojo. “Ajax jelas lebih diuntungkan dengan kondisi ini,” kata Mourinho seperti dikutip BBC. 

Skenario deadlock lebih realistis

Harus diakui, runner up Eredivisie itu memang jauh lebih siap dibanding United. Secara teknis mereka jauh lebih impresif. Para pemain muda asuhan Bosz memiliki banyak energi. Permainan mereka cepat, lepas, dan tidak khawatir meninggalkan pertahanannya meski itu membuat mereka lebih mudah kebobolan. Seperti dalam leg kedua melawan Lyon, Ajax kalah 1-3 meski tetap lolos ke final.

Dengan format 4-2-3-1, mereka bisa membanjiri area akhir dengan lima pemain bertipe menyerang (dan meninggalkan satu pemain jangkar untuk bertahan), yakni Bertrand Traore, Amin Younes, Kasper Dolberg, Davy Klaassen, dan Hakim Ziyech yang lebih banyak beroperasi di tengah. 

Lima pemain itu tak hanya cepat, tapi juga kreatif, dan mampu mempertahankan staminanya dalam 90 menit. 

Padahal, Bosz selalu bermain dalam tempo tinggi. Ajax kerap bermain dengan menekan penuh hingga ke daerah lawan. Para pemain jarang menunggu di belakang untuk menyerang balik. Mereka kerap merepotkan lawan karena selalu ingin merebut bola lebih cepat. 

Jika United bermain seperti biasanya—lamban, menahan bola lebih banyak di daerah sendiri, dan kurang kreatif di area akhir—Ajax bakal memangsa mereka hidup-hidup. Apalagi jika Setan Merah lebih banyak menunggu di belakang untuk menyerang balik—di mana Mourinho sangat ahli melakukannya.

Masalahnya, pasukan yang mereka miliki tak bisa memainkan serangan balik cepat. Dari tiga trisula di depan (jika United bermain dalam format 4-3-3), praktis hanya Marcus Rashford dan Jesse Lingard yang bisa mengimbangi kecepatan Younes dan Traore. Sedangkan Henrikh Mkhitaryan kemungkinan akan lebih banyak menyuplai bola daripada beradu lari. 

Begitu juga di lini kedua. United hanya mengandalkan Ander Herrera untuk memainkan transisi cepat dari bertahan ke menyerang. Sebab, baik Michael Carrick maupun Paul Pogba cenderung lebih taktis dan mengandalkan akurasi umpan daripada kecepatan. 

Padahal, Klassen dan ZIyech, meski beroperasi di lini kedua, memiliki kegesitan yang membuat mereka dengan mudah menghukum lawan yang lambat turun dalam satu kilatan serangan balik. 

Namun, bukan berarti United tanpa peluang. Pelatih penuh siasat seperti Mourinho jelas memiliki seribu akal untuk menaklukkan pasukan Bosz. Apalagi, jam terbang manajer asal Portugal itu di kompetisi tingkat tinggi jauh lebih baik dibanding Bosz yang karir kepelatihannya lebih banyak sebagai “jago kandang”. 

Kalaupun Bosz melatih di luar negeri, itupun hanya sekelas klub Israel Maccabi Tel Aviv. 

Membendung pasukan cepat seperti Ajax bukan sesuatu yang sulit dilakukan bagi Mourinho. Mereka bisa “bermain untuk tidak kalah”. Skenario deadlock alias menahan Ajax agar tak bisa mencetak gol. Tapi, pada saat yang sama, United juga bakal kesulitan membobol gawang Ajax yang dikawal Andre Onana.

Skenario deadlock itu lebih realistis bagi United. Tapi mereka harus rela digempur habis-habisan selama 90 menit plus 2 x 15 menit. Setelah itu, biarkan babak adu tos-tosan yang menentukan juara. 

Bagi Mourinho, skenario itu bukan hal baru. Dia pernah melakukannya saat Inter Milan digempur tim super agresif Barcelona di babak semifinal Liga Champions edisi 2009-2010. Dia hanya harus melakukannya sekali lagi. Jika tidak, mereka akan semakin terpuruk di liga Eropa kelas dua—untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.—Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!