Membangkitkan semangat belajar di tengah kepungan sampah

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Membangkitkan semangat belajar di tengah kepungan sampah
Di lingkungan TPA Bantar Gebang, murid dan guru mengejar target menjadi pintar seraya berkalang polusi sampah

BEKASI, Jawa Barat — Muhartatik baru selesai mengajar di Kelas I, SDN Sumur Batu 02. Hawa panas menyengat di sekolah yang berdekatan dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang di Bekasi itu.

Teriknya matahari bercampur bau tak sedap tak menyurutkan semangat belasan murid yang tengah bermain sepak bola di halaman sekolah yang bertetangga dengan TPA ini. Setiap harinya, TPA tersebut menerima sebagian 7.000 ton sampah dari provinsi DKI Jakarta dan Kota Bekasi.

“Di bidang olahraga, murid-murid kami lumayan. Masuk lima besar di lingkungan SD di kecamatan,” kata Bu Tatik, salah seorang guru di SDN Sumur Batu 02, kepada Rappler saat dikunjungi di sekolah pada Kamis, 4 Mei lalu

“Mungkin karena murid-murid di sini fisiknya terlatih. Ke sekolah jalan kaki, hidupnya juga susah. Kalau soal akademik, masih tertinggal jauh.” 

Sejak lulus dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Tatik langsung ditempatkan di SDN Sumur Batu 02. Praktis, sudah 35 tahun dia mengajar di sini—menjadi guru paling senior.

Sekolah itu kini memiliki 549 murid yang ditangani oleh 20 guru.

“Banyak murid di sini, orangtuanya pemulung sampah. Mereka tinggal di tenda atau rumah-rumahan yang dibangun di atas tumpukan sampah. Pulang sekolah pun membantu orang tua memulung sampah. Kapan belajarnya?”

“Dari sisi jumlah ruang kelas, ya lumayan. Tapi fasilitas mengajar di sini masih terbatas. Ketrampilan guru dalam mengajar pun masih perlu ditingkatkan,” kata Tatik. Selepas menyelesaikan SPG, ibu dua anak ini sempat melanjutkan kuliah D2 di Universitas Terbuka pada 1995.  

Rappler menemui Tatik setelah mendapat informasi mengenai program Bantu Guru Belajar Lagi yang dipasang di situs urun dana kitabisa.com.

“Bagi saya sebagai pendidik, banyak sekali kekurangan saya. Saya masih perlu sekolah, masih perlu menanamkan kecerdasan, masih perlu ilmu yang lebih, bisa kita menyerap yang lebih banyak lagi untuk menyampaikan kepada anak didik kita,” kata Tatik dalam video singkat yang ditautkan di laman kitabisa.com.

(BACA: Ayo, bantu guru belajar lagi

Rudi Hartono, seorang guru di SDN Sumur Batu 02, mendampingi Tatik dalam wawancara dengan Rappler.

“Memang ada beberapa mahasiswa datang ke sini. Mereka mengatakan akan membantu dengan program Bantu Guru Belajar Lagi. Mereka sempat membuat acara rembuk di sini,” kata Rudi.

Ia menyebut salah satunya bernama Farlianto, yang namanya memang tercantum di informasi laman urun dana itu. Menurut Rudi, setelah pertemuan yang berlangsung pada hari Sabtu, 4 Maret 2017 itu, belum ada kontak dari para mahasiswa itu.

Polusi sampah ganggu konsentrasi belajar

Bagi Tatik dan Rudi, janji membantu yang disampaikan para inisiator program Batu Guru Belajar Lagi itu membawa secercah harapan. Kesempatan mendapatkan pelatihan mengajar tidak banyak. Tahun lalu ada dari guru yang mengikuti pelatihan tentang penggunaan media.

“Kami, kan, masuk dalam program Sekolah Garis Depan yang dicanangkan Kemendikbud. Ada guru yang ikut pelatihan. Tapi sesudah pelatihan, bagaimana mau dipraktikkan? Di sekolah sini kami tidak ada komputer laptop. Tidak ada internet,” kata Tatik.

Ibu guru Tatik, guru paling senior di SDN Sumur Batu 02 Bantar Gebang, saat ditemui Rappler di sekolahnya pada 4 Mei 2017. Foto oleh Uni Lubis/Rappler

Mendapat akses pelatihan satu soal. Menerapkan hasil pelatihan adalah soal lain yang bikin pening.

“Kalau saya yang sudah tua ini lebih sulit, ya, menerima materi pelatihan. Penggunaan media. Pakai InFocus. Boro-boro, ini saya pakai HP untuk telepon dan SMS doang,” kata Tatik.

Dia mendorong kolega guru yang lebih muda untuk terus belajar. “Katanya, kan, kita diminta mengajar pakai film, gambar-gambar, jadi enggak cuma di papan tulis,” kata Tatik.

Masalah lain yang dialami sekolah ini adalah kondisi sosial dan ekonomi murid dan orangtua yang relatif rendah. Polusi udara berbau busuk jelas mengganggu kesehatan dan konsentrasi belajar. 

“Banyak murid di sini, orangtuanya pemulung sampah. Mereka tinggal di tenda atau rumah-rumahan yang dibangun di atas tumpukan sampah. Pulang sekolah pun membantu orang tua memulung sampah. Kapan belajarnya?” kata Tatik.  

Rudi menceritakan kunjungannya ke “rumah” salah satu murid; sebuah bangunan ukuran 3×4 persegi, dikepung tumpukan sampah. Murid tinggal dengan orang tuanya, berdesakkan dalam tenda darurat yang difungsikan sebagai rumah.

“Di sampingnya ada kandang kambing. Sulit membayangkan mereka bisa belajar dengan baik,” kata Rudi.

Suatu ketika, ada 20-an murid yang mengalami sesak nafas gara-gara menghirup asap sampah yang dibakar. Belum lagi soal sanitasi dan air bersih.

Rappler sempat mendatangi sebuah “kumpulan” beberapa tenda darurat di area TPA Sumur Batu. Air yang mengalir di selokan begitu hitam dan kotor. Baunya? mengenakan masker pun sulit bisa bertahan beberapa menit.

Tapi, mereka sudah terbiasa dengan kehidupan keras itu. 24 jam setiap hari. Tampaknya, mereka Ssdah kebal dengan polusi udara dan buruknya sanitasi di daerah tersebut. 

Yolanda Ryan Armindya dari program Bantu Guru Belajar Lagi akhirnya menghubungi Rappler, pada Kamis malam itu. Melalui pesan WhatsApp, Yolanda menceritakan bahwa program Bantu Guru Mengajar Lagi ini dibentuk setelah beberapa bulan dia dan teman-temannya setiap hari Sabtu membantu mengajar ekstra kurikuler bagi murid-murid di SDN Sumur Batu 01.

“Saat itu kami melihat bahwa adik-adik ini agak ketinggalan wawasannya dibandingkan dengan adik-adik lainnya,” kata Yolanda. 

Menurutnya, mereka membandingkan dengan sekolah-sekolah lain di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, karena sebagian mereka pernah mengajar lewat program Kelas Inspirasi.

“Lalu kami juga observasi guru-guru di sana dan memang melihat pelatihan guru yang sebenarnya menjadi hak para guru untuk meningkatkan metode ajar mereka tidak didapatkan,” ujar Yolanda.

Singkat cerita, Yolanda dan teman-temannya merencanakan memberikan hadiah kepada guru-guru berupa pelatihan. Mereka bekerjasama dengan pengawas dari pemerintah daerah dalam satu rayon. Tiga SD, yaitu SDN Sumur Batu 01, SDN Sumur Batu 02, dan SDN Sumur Batu 04 dipilih untuk program ini.

Ia membenarkan adanya acara rembuk di SDN Sumur Batu 02 pada 4 Maret 2017.

“Itu ajang brainstorming para guru agar kami bisa mencatat hopes dan concerns,” ujar Yolanda, yang mengaku sebagai karyawan swasta ini.

Menurut dia, dalam acara rembuk itu kepada para guru djelaskan bahwa pihaknya belum menjanjikan kepastian tanggal pelatihan dan bentuk pelatihan. “Karena kami sadar kami butuh dana untuk melakukan itu semua,” kata Yolanda.  

Selain membuka laman urun dana kitabisa.com, para inisiator Bantu Guru Belajar Lagi menggandeng Komunitas Guru Cikal untuk membuat metode pelatihan bagi guru-guru di tiga SD sekitar TPA Sumur Batu itu. Menurut Yolanda, jika dana terkumpul, pihaknya akan menyiapkan rencana pelatihan. 

“Sehingga pada bulan Juli, saat tahun ajaran baru pelatihan sudah dapat diselenggarakan,” katanya. Saat tulisan ini dibuat, Rappler mengecek ke laman program Bantu Guru Belajar Lagi, sudah terkumpul dana lebih Rp24 dari target Rp200 juta.

Pendidikan tak cuma butuh infrastruktur 

Pemandangan rumah warga di TPA Bantar Gebang. Foto oleh Uni Lubis/Rappler

Najeela Shihab, pendiri Kampus Guru Cikal, membenarkan pihaknya diajak bekerjasama untuk program Bantu Guru Belajar Lagi. 

“Jadi big idea-nya saya dan teman-teman ingin mengajak publik lebih semangat berkontribusi buat pendidikan yang sifatnya bukan infrastruktur,” ujar Najeela ketika dikontak Rappler. Salah satu yang mulai melakukan penggalangan dana publik adalah program Bantu Guru Belajar Lagi itu.

Menurut Najeela, dalam hal pendidikan, selama ini orang menyumbang sekolah roboh, beli buku, dan sebagainya. 

“Penting tapi tidak cukup,” ujar dia. Menurut inisiator Pesta Pendidikan (Pekan) ini, program peningkatan kapasitas lebih sulit dapat dukungan di dunia pendidikan. 

Dalam acara Pesta Pendidikan yang berlangsung pada 2 Mei lalu, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, Najeela mempertemukan antara komunitas dan organisasi yang ada untuk bekerja bersama. 

“Ditambah figur publik yang peduli, kami coba membuat beberapa kampanye untuk pengumpulan dana,” kata Najeela.  

Acara puncak Pesta Pendidikan akan dilakukan pada 21 Mei mendatang. “Akan ada pengumpulan dana dan sumber daya dalam bentuk lagi dari beberapa pemangku kepentingan,” ujar Najeela.

Murid-murid di kelas 6 itu serempak berkata, “Mauuuuuu… Kami mau komputer. Mau laptop,” ketika ditanyai Ibu Guru Tatik.  

“Sejak ada beberapa perumahan di sekitar sini, ada murid-murid yang punya laptop di rumahnya. Tapi sebagian besar tidak punya karena orang tuanya tidak mampu,” kata Tatik. 

Fasilitas fisik yang dijanjikan program Sekolah Garis Depan belum datang. Tatik dan para guru di sekolah ini harus bersabar menunggu bantuan pelatihan mengajar agar guru dan murid menjadi lebih pintar. 

“Selama saya mengajar di sini, setahu saya baru dua orang alumni yang berhasil menjadi PNS [pegawai negeri sipil]. Anaknya Pak Lurah. Memang beda ya, kemampuannya lebih dibanding murid-murid lain. Kami sih berharap murid-murid kami bisa lebih baik kemampuan akademiknya,” kata Tatik.  

Harapan yang sederhana dari seorang guru yang mendekati usia pensiun dan masih memiliki semangat belajar lagi. Maukah Anda mewujudkan harapan Bu Tatik? —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!