Belajar Islam dan mengamalkan Pancasila di Pesantren Alpansa

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Belajar Islam dan mengamalkan Pancasila di Pesantren Alpansa
Almarhum pendiri Pesantren Al Muttaqin Pancasila Sakti (Alpansa) yakin, untuk menjadi seorang Muslim tidak perlu mendirikan negara Islam.

SOLO, Indonesia — Menjelang tengah hari, Masjid Jami Al Muttaqien di Desa Troso, Karanganom, Klaten, sudah penuh dengan para santri dan warga desa yang akan menunaikan salat Jumat di minggu pertama bulan Ramadan. Sesaat kemudian, adzan berkumandang dan khatib naik mimbar menyampaikan kutbah singkat dalam bahasa Arab. 

Selesai memimpin salat Jumat, sang imam langsung berdiri, mengajak para santri dan jamaah melakukan salat hajat dua rakaat untuk mendoakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila. Bukan karena memperingati Hari Lahir Pancasila yang diperingati tiap 1 Juni, melainkan meneruskan kebiasaan turun-temurun yang dilakukan oleh pendiri pesantren.

“Ini kebiasaan Mbah Lim sejak dulu sebagai permintaan kepada Allah agar Indonesia aman, damai, makmur. Agar pengacau negara sadar, koruptor sadar,” kata Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Al Muttaqin Pancasila Sakti (Alpansa) KH Saifuddin Zuhri atau Gus Zuhri yang menjadi imam salat siang itu.

“Kalau ada yang mengatakan bid’ah [ibadah yang tidak ada tuntutan dari Nabi], ya terserah, ndak apa-apa. Mbah Lim selalu mengatakan kalau ajaran ini dosa biar beliau sendiri yang menanggung, yang penting Indonesia aman,” kata putra ketiga Mbah Lim itu.

“Keyakinan Mbah Lim yang diajarkan ke kami, Pancasila itu bawaan lahir bangsa Indonesia. Orang mau berteriak-teriak khilafah, NKRI tak akan berubah, karena khilafah tidak punya akar di Indonesia.”

Mbah Lim atau KH Moeslim Rifai Imampuro adalah pendiri pesantren Alpansa. Ia sudah meninggal lima tahun lalu pada usia 91 tahun. Tapi segala tradisi yang berbau nasionalisme tetap dilestarikan di pesantren ini, seperti upacara bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya, berdoa bagi NKRI setiap sebelum memulai salat lima waktu di masjid jami, dan salat hajat berjamaah setiap Jumat.

Mbah Lim merupakan sosok ulama kharismatik dan akrab dengan semua kalangan, dari rakyat kecil sampai para tokoh nasional. Cara berpakaiannya nyentrik, dan jauh dari kesan seorang ulama. Ia terkadang suka memakai kemeja dan topi butut, baju petani, atau seragam tentara. Gayanya spontan dan jenaka.

Ia pernah menjadi tukang parkir mobil kepresidenan Abdurrahman “Gus Dur” Wahid di sebuah acara di Jawa Timur. Saat ditegur Paspampres, ia tak marah dan justru melempar senyum ramahnya.  Gus Dur kemudian menurunkan kaca mobil, menasihati anggota Paspampres, lalu memberi tahu siapa pria tua itu.

Bagi sebagian kalangan nahdliyin – pengikut Nahdlatul Ulama (NU) – Mbah Lim dikenal sebagai salah satu dari sedikit kiai khos. Bahkan, ada yang menganggap Mbah Lim memiliki sifat-sifat seperti wali karena doa dan ucapannya yang kerap menjadi kenyataan, salah satunya ucapan dia pada 1980-an tentang seorang cucu KH Hasyim Asyari yang akan menjadi pemimpin bangsa.

Sudah tak terhitung lagi berapa banyak tokoh nasional sejak Orde Baru yang mendatangi pesantren Alpansa untuk minta didoakan oleh Mbah Lim. Di era Reformasi, kiai nasionalis ini juga menjadi penasihat spiritual Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri semasa menjadi presiden. 

Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar NU, Gus Dur sudah dekat dengan Mbah Lim. Karenanya, sedikit banyak pemikiran Gus Dur tentang pluralisme dan Islam yang mengayomi semua golongan terinspirasi oleh Mbah Lim.

Lima tahun sebelum meninggal, Mbah Lim mendirikan Joglo Perdamaian di dalam komplek pesantren sebagai simbol gagasannya yang ingin menyatukan umat manusia di Indonesia yang berbeda agama dan keyakinan. Di joglo itu, Mbah Lim dimakamkan, dipayungi bendera merah-putih. 

Membela Pancasila dan kebhinekaan

PANCASILA. Doa Mbah Lim, pendiri pesantren, untuk Indonesia. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Warisan Mbah Lim adalah pemikiran tentang Islam dan Pancasila yang paripurna. Pancasila adalah bagian dari pengamalan nilai-nilai Islam dalam masyarakat yang majemuk. Baginya, untuk menjadi seorang Muslim tidak perlu mendirikan negara Islam.

“Keyakinan Mbah Lim yang diajarkan ke kami, Pancasila itu gawan bayi [bawaan lahir] bangsa Indonesia, karakter asli kita. Orang mau berteriak-teriak khilafah, NKRI tak akan berubah, karena khilafah tidak punya akar di Indonesia,” ujar Gus Zuhri.

“Tak perlu menghujat, mereka juga saudara kita, didoakan saja agar yang menginginkan khilafah sadar dari kekilafan.”

Ketika tahun 1980-an muncul ideologi Islam transnasional di Indonesia yang mempertanyakan relevansi bentuk dan dasar negara, Pesantren Alpansa menjadi pembela Pancasila. 

Islam adalah agama damai yang menghargai perbedaan, sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad yang menghormati pamannya, Abu Thalib, meski berbeda keyakinan.

Di saat kelompok radikal menyebut Pancasila, bendera, dan lagu Indonesia Raya sebagai thoghut, Pesantren Alpansa justru melestarikan simbol-simbol nasionalisme itu. Di luar kurikulum agama sebagai dasar pelajaran, para santri juga diajarkan materi tentang ke-Indonesiaan dan kebhinekaan. Karena, Islam mengajarkan cinta tanah air adalah bagian dari iman.

Nafas dakwah pesantren Alpansa adalah Islam rahmatan lil alamin, agama pembawa kebaikan bagi seluruh alam. Sebagai agama dengan pemeluk mayoritas di tanah air, dalam pandangan Mbah Lim, Islam adalah agama yang harus memberikan manfaat bagi sesama dan mendorong persatuan bangsa Indonesia.

“Seperti para pendiri republik yang mayoritas Islam, mereka bisa menyatukan Indonesia dengan rumusan Pancasila yang bisa diterima semua agama,” kata Gus Zuhri.

Tidak dipungkiri bahwa Indonesia adalah bangsa majemuk. Perbedaan adalah fitrah karena merupakan kehendak Tuhan yang menciptakan alam dan manusia. Lalu, bagaimana seharusnya setiap Muslim bersikap di antara masyarakat yang beragam keyakinan?

Mbah Lim mengajarkan bahwa setiap anak Adam itu bersaudara, sebagaimana kata Ali bin Abu Thalib bahwa dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan. 

Soal keyakinan yang dianut seseorang, pesantren ini mengajarkan agama sebagai wilayah personal yang tak bisa dipaksakan, mengutip ayat Al-Quran, “Untukmu agamamu, untukku agamaku”.

“Kalau ada pemimpin yang non-Muslim, Mbah Lim selalu mendoakan semoga bisa memimpin dengan baik, amanah, dan bermanfaat bagai semua agama,” kenang Gus Zuhri.

Menjalin kerukunan antarumat

Pesantren Alpansa juga mengajarkan toleransi antarumat. Mbah Lim mewariskan semangat persaudaraan antarmanusia, sekalipun berbeda agama dan kepercayaan. Karena, hakekatnya setiap manusia adalah ciptaan Allah, sama-sama anak Nabi Adam, dan sama-sama penghuni NKRI – sebagaimana pesan yang tertulis di Joglo Perdamaian.

Salah satu menantu Mbah Lim yang juga pengasuh pondok Alpansa, KH Jazuli Kasmani atau Gus Jaz, adalah penerus cita-cita sang kiai untuk mewujudkan perdamaian. 

Gus Jaz menjadi Ketua Forum Kebersamaan Umat Beragama (FKUB) Klaten, sebuah organisasi yang mempromosikan dialog dan kerja sama antarumat beragama dalam urusan sosial-kemanusiaan di Kabupaten Klaten sejak 1998.

Pesantren Alpansa kemudian menjadi titik temu bagi tokoh agama dan kepercayaan. Sebagaimana Mbah Lim mengajarkan untuk memuliakan tamu tanpa melihat latar belakang sosial dan agama, pesantren di tengah desa ini tak pernah menolak tamu termasuk yang berbeda agama, misalnya kunjungan organisasi pemuda Katolik untuk belajar toleransi dan dialog lintas iman pada April lalu.

Gus Jaz mengajarkan bahwa Islam adalah agama damai yang menghargai perbedaan, sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad yang menghormati pamannya, Abu Thalib, meski berbeda keyakinan. Maka sebagai pesantren moderat, Alpansa selalu berusaha menyebarkan pesan Islam sejuk, yang merangkul semua golongan, bukan yang mengedepankan kekerasan.

Para santri sejak usia belia dikenalkan pada toleransi terhadap keragaman, menanamkan kejujuran dan ketulusan, serta menjauhi prasangka terhadap sesama meski berbeda agama.

“Sejak zaman Nabi Adam, Nabi Muhammad, hingga sekarang ciptaan Allah itu beragam. Sejak kecil kita mengajarkan mereka untuk mencintai semua makhluk dengan mengenal dan menghargai perbedaan,” kata Gus Jaz.

Kapolres Klaten AKBP Muhammad Darwis, yang mengunjungi Pesantren Alpansa pada peringatan Pekan Pancasila, menyebut Pesantren Alpansa telah memberi kontribusi penting dalam menyebarkan pesan-pesan perdamaian, menanamkan nasionalisme, mencegah kriminalitas, dan menangkal bibit radikalisme melalui pendidikan agama. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!