Kampung Kuta: Kampung seribu pantangan yang diminati wisatawan

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kampung Kuta: Kampung seribu pantangan yang diminati wisatawan
Nama Kuta berasal dari kata ‘Mahkuta’ atau mahkota dianggap sebagai ratunya perhiasan emas di Leuweung Gede.

BANDUNG, Indonesia – Pria itu berjalan sendiri, menikmati suasana kampung sambil mengabadikan momen menarik dalam setiap jepretan kameranya. Tak sadar, ia jauh melangkah sampai masuk hutan keramat. Karena ketidaktahuannya, ia tetap asyik memainkan kamera fotonya sampai sesosok anjing hitam sebesar sapi berdiri di hadapannya.

Hutan keramat oleh warga Kampung Kuta disebut Leuweung Gede. Ki Warja menyakini di hutan itulah Dayang Sumbi, ibunda Sangkuriang, dibuang. Dalam legenda Gunung Tangkuban Parahu, diceritakan Dayang Sumbi ditemani seekor anjing hitam bernama Si Tumang, yang juga merupakan ayah Sangkuriang.

 “Anjing itulah yang menampakkan diri pada si pemuda yang motret hutan itu,” kata Ki Warja awal bulan ini saat ditemui Rappler di kediamannya.

Cerita lainnya, sekelompok mahasiswa yang sedang melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) di kampung itu, tersesat karena bermain di Sungai Cijolang tanpa ditemani warga setempat. Enam belas orang mahasiswa itu sempat hilang hingga berjam-jam.

Ketika ditemukan Ki Warja, mereka dalam kondisi kebingungan karena jalan yang mereka lalui sebelumnya seolah-olah hilang tak berbekas.

“Padahal mereka sudah dinasehati tidak boleh keliaran di atas jam lima sore, mereka malah main air ke kali, gak ada yang nemani,” kata kakek berusia 67 tahun itu.

KAMPUNG KUTA. Ki Warja, sesepuh Kampung Kuta. Folo oleh Yuli Saputra/Rappler.com

Ki Warja adalah sesepuh Kampung Kuta. Kampung ini berada di Desa Karangpaninggal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dari Kota Bandung jaraknya bisa 177 km dengan jarak tempuh berkendaraan sekira 4 jam. Sedangkan dari pusat Kota Ciamis, kampung itu berjarak sekitar 45 km.

Kampung Kuta dikategorikan sebagai kampung adat yang dipimpin oleh seorang ketua adat. Selain ketua adat, ada kuncen dan sesepuh yang dihormati warganya. Dalam pengambilan keputusan, musyawarah menjadi cara untuk mencapai mufakat, termasuk dalam memilih sesepuh.

“Sesepuh itu yang dianggap paling nyaho (tahu) aman tidaknya masyarakat Kuta, yang tanggung jawab kapan mulainya menanam padi sampai jadi beras. Bahkan sampai beras itu dimasak jadi nasi,” jelas Ki Warja yang telah menjadi sesepuh Kampung Kuta sejak 2002.

Kampung ini memiliki banyak sekali pantangan baik bagi warganya maupun pendatang. Namun hal itulah yang membuat warga kampung masih memegang teguh tradisi leluhurnya.

Di kampung ini, rumah-rumah penduduknya masih berbentuk panggung dengan atap rumbia atau ijuk dan berdinding anyaman bambu. Seluruh bahan bangunan rumah harus terbuat dari bambu dan kayu.

Pantranganna (pantangannya) bikin rumah harus panggung, dindingnya tidak boleh tembok. bentuknya harus persegi panjang, tidak letter U atau bentuk lain. Tempat menyimpan beras harus dekat ke tempat tidur. Kalau rumah diperbaiki, tidak boleh nambah ruangan ke Timur atau Utara, kalau ke Selatan atau Barat bisa,” papar Ki Warja.

Warga Kampung Kuta juga dilarang membuat kamar mandi atau jamban di masing-masing rumah. Untuk kebutuhan mandi cuci kakus, warga menggunakan kamar mandi umum yang ada di tempat tertentu.

Biasanya menyatu dengan kolam iklan milik warga. Kamar mandi dan jamban terbuat dari bambu tanpa pintu dan setengah terbuka. Airnya berasal dari mata air yang mengalir melalui pancoran.

“Tidak boleh ada kamar mandi di rumah karena tidak boleh ada kubakan (septictank), jadi ngalir ke kali. Ini untuk mencegah demam berdarah dan penyakit lainnya. Kamar mandi juga tidak boleh ditembok,” jelasnya.

Membangun rumah juga tidak boleh ngompleks atau berkumpul. Harus berderet dengan jumlah maksimal empat rumah. Rata-rata rumah di Kampung Kuta berderet sebanyak dua rumah. Itulah sebabnya, di kampung ini masih banyak ruang terbuka.

KAMPUNG KUTA. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler.com

“Kalau melanggar amanah leluhur, kita kualat. Bisa sakit atau meninggal,” ujar sesepuh yang juga menjabat sebagai wakil ketua adat ini.

Aturan mengenai tata bangunan membuat Kampung Kuta tampak unik. Inilah yang menjadikan Kampung Kuta menjadi tujuan wisata di Jawa Barat.

Selain itu, warga Kampung Kuta juga punya pantangan lain, yaitu tidak boleh menguburkan jenazah di kawasan kampung agar air tanah tidak tercemar. Tidak boleh membuat sumur bor karena tanah di Kampung Kuta labil.

Kampung seribu pantangan ini memiliki wilayah seluas 185.192 hektar. Sebagian sebagian besar lahannya dipergunakan untuk perkebunan dan pesawahan. Tak heran jika suasana di kampung ini masih asri dengan udara yang masih terasa segar.  

Udara yang segar juga dipasok oleh hutan seluas 32.886 hektar. Hutan itu masih terjaga kelestariannya karena dianggap sebagai hutan keramat tempat para leluhur bersemayam. 

Kampung Sejuta Legenda

Hutan keramat oleh warga Kampung Kuta disebut Leuweung Gede. Warga di sini masih meyakini di dalam hutan itulah Dayang Sumbi, ibunda Sangkuriang, dibuang. Dalam legenda Gunung Tangkuban Parahu, diceritakan Dayang Sumbi ditemani seekor anjing hitam bernama Si Tumang, yang juga merupakan ayah Sangkuriang.

Sejarah Kampung Kuta juga lekat dengan legenda Kerajaan Galuh (600-an Masehi). Konon, Kampung Kuta akan dijadikan pusat Kerajaan Galuh oleh Prabu Ajar Sukaresi. Namun rencana itu batal. Kampung Kuta lalu disebut sebagai nagara burung yang berarti daerah yang batal menjadi ibukota Kerajaan Galuh.

KAMPUNG KUTA. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler.com

Leuweung Gede merupakan pusat kerajaan yang dibatalkan. Akan tetapi, perlengkapan dan peralatan untuk membangun sebuah kerajaan sudah disiapkan seperti besi, kayu, semen, batu dan bata. Karena batal, aneka material itu akhirnya tertimbun tanah dan berubah menjadi sebuah bukit kecil.

Bukit-bukit itu oleh warga diberi nama sesuai asal usulnya, Gunung Semen, Gunung Kapur, Gunung Barang, Gunung Wayang, dan Gunung Pandai Domas (pandai besi) yang kini membentengi Kampung Kuta. Leweung Gede dan tempat-tempat penyimpanan bahan bangunan yang gagal digunakan lalu ditetapkan sebagai tempat keramat.

Masyarakat Kuta yakin merupakan keturunan Kerajaan Galuh yang  memliki tugas untuk memelihara dan menjaga kekayaan Raja Galuh.

Tugas tersebut diemban oleh juru kunci (kuncen). Ki Bumi, yang diduga Pangeran Pakpak, adalah kuncen pertama. Ia diutus Raja Cirebon untuk menyebarkan Agama Islam ke daerah Selatan. 

Tempat Wisata yang Unik

Kampung Kuta memiliki potensi wisata yang lain daripada yang lain. Suasana kampung yang masih asli dan asri menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke kampung adat ini.

Keunggulan lainnya adalah banyaknya ancepan atau situs bersejarah yang bisa dikunjungi. Terdapat 24 ancepan di Kampung Kuta yang semuanya memiliki cerita terkait legenda Kerajaan Galuh.

Untuk mencapai Kampung Kuta, ada dua jalur yang bisa ditempuh, yakni melalui Kecamatan Rancah Kabupaten Ciamis atau Katapang Kota Banjar. Kondisi jalan di kedua jalur tersebut berkelok-kelok dan naik turun dengan pemandangan hutan Jati.

Namun kondisi jalan jalur Rancah lebih mulus dibanding Katapang sehingga jarak tempuh jauh lebih cepat. Bila tidak menggunakan kendaraan pribadi, bisa menyewa ojek atau angkutan umum.

 

Berikut 5 dari 24 ancepan yang sempat dikunjungi Rappler

1.     Leuweung Gede

Hutan yang dianggap keramat itu terjaga kelestariannya dari dahulu hingga kini. Hal itu disebabkan masyarakat sekitar menganggap hutan tersebut dihuni oleh makhluk gaib. Karena terjaga kelestariannya, Leuweung Gede mendapat penghargaan Kalpataru sebagai penyelamat lingkungan pada 2002.

Kekeramatan hutan itu sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang berniat mendapatkan kesuksesan dengan cara melakukan sejumlah ritual. Tapi dilarang keras memohon kekayaan karena itu menunjukkan ketamakan.

“Kalau ingin lulus ujian, terpilih jadi anggota dewan, bisa,” ujar Ki Warja sambil menyebutkan cucu seorang tokoh bangsa yang pernah melakukan ritual di Leuweung Gede.

KAMPUNG KUTA. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler.com

Ada sejumlah pantangan yang harus diikuti oleh seseorang yang ingin memasiuki Leuweung Gede, yakni tidak boleh mengenakan alas kaki, tidak boleh meludah, dilarang memanfaatkan dan merusak sumber hutan.

Selain itu, masuk ke dalam hutan tak boleh pakai baju dinas dengan tanda pangkat, memakai baju hitam-hitam, membawa tas, memakai alas kaki, berbuat gaduh, dan memakai perhiasan emas. Perempuan yang sedang datang bulan pun dilarang masuk ke hutan keramat.

Menurut Ki Warja, banyak yang tidak percaya dan melanggar pantangan. Seperti membawa perhiasan emas ke dalam hutan.

“Akibatnya banyak yang hilang emasnya karena mereka tidak percaya,” katanya.

Ki Warja menjelaskan, nama Kuta berasal dari kata Mahkuta atau mahkota yang dianggap sebagai ratunya perhiasan emas yang ada di Leuweung Gede.

“Jadi kalau ada yang pakai emas, ketarik sama mahkuta, masuk ke dalam tanah, makanya banyak yang hilang,” ujar Kakek yang bernama asli Sanmarno ini.

Leuweung Gede hanya bisa dikunjungi setiap Senin dan Jumat  mulai pukul 08.00 hingga 16,00.

 2.     Gunung Barang

Gunung Barang berada di sebelah Barat Daya kampung, berupa sebuah gundukan tanah yang konon dulunya adalah barang-barang perlengkapan untuk membangun pusat Kerajaan Galuh. Karena urung, barang-barang tersebut disimpan dan ditimbun di dalam sebuah gundukan tanah. Menurut Ki Warja, tempat ini juga sering dijadikan tempat bersemedi.

 3.     Gunung Padaringan

Padaringan adalah kata dari Bahasa Sunda yang berarti tempat menyimpan beras. Benda itulah yang konon menjadi asal mula terbentuknya Gunung Padaringan.  Masyarakat Kuta percaya adanya Gunung Padaringan membuat mereka tidak pernah kekurangan pangan. Bahkan sejak dulu, mereka sudah swasembada beras.

KAMPUNG KUTA. Pandaringan di Kampung Kuta. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler.com

“Di sini tidak ada warung yang jual beras, itu artinya masyarakat sudah menghasilkan beras sendiri,” jelas Ki Warja sambil menyebutkan semua penduduk Kuta bermatapencaharian sebagai petani.

Gunung Padaringan dianggap sebagai tempat beras sedunia yang menghidupi masyarakat di dunia. Tak jauh dari Gunung Padaringan ada sebuah pohon besar dengan  lubang di tengahnya. Warga percaya di pohon itu hidup seekor tokek berukuran besar.

“Seperti tokek di rumah-rumah yang biasanya diam di  dekat padaringan untuk menghalau tikus,” jelasnya.

 4.     Batu Goong

Batu Goong awalnya adalah Go’ong (Gong), sebuah alat Kesenian Sunda, yang berukuran besar. Alat musik ini juga peninggalan Kerajaan Galuh yang disebut Go’ong Sadunya. Lokasinya berada di sebelah Timur Laut. Menurut riwayat,  Gong aslinya disimpan di Masjid Agung Cirebon.

 5.     Ciasihan

Ciasihan adalah sebuah tempat pemandian yang konon airnya bisa membuat seseorang dikasihi. Letaknya berada di tengah kampung. Ciasihan berasal dari kata cai (air) dan asih (kasih) yang berarti airnya dipercaya bisa menimbulkan kasih sayang. Tempat ini sering didatangi orang yang mengharapkan mendapat jodoh dengan mandi di sana. Airnya berasal dari sebuah mata air yang juga menjadi sumber air warga setempat.

KAMPUNG KUTA. Ciasihan di Kampung Kuta. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler.com

Kampung Kuta mulai didatangi wisatawan pada 2002, setelah kampung tersebut mendapat penghargaan Kalpataru. Sejak dikenal sebagai tempat wisata, kampung yang penduduknya tak pernah lebih dari 400 jiwa ini berubah suasananya menjadi lebih ramai. Wisatawan tidak hanya datang dari dalam negeri, tapi juga mancanegara.

“Di mana-mana darongkap (datang). Dari Jakarta, Bandung, Bogor. Dari luar negeri juga datang, dari Perancis, Korea, Selandia Baru,” kata Saryaman (60) yang warungnya jadi laris manis.

 

Fasilitas untuk wisatawan juga disediakan seperti penginapan yang bayarannya berdasarkan kesepakatan. Ada pula panggung kesenian yang biasanya dipergunakan untuk mempertontonkan kesenian warga Kuta.

Walau ada pantangan untuk mempertunjukkan wayang dan cerita lakon lainnya, namun warga Kuta sendiri memiliki sejumlah kelompok kesenian. Jenis kesenian yang mereka pertontonkan adalah Calung, Tari Jaipong, dan musik Dangdut.

Setiap tanggal 25 Safar, warga Kuta memiliki tradisi untuk menggelar Upacara Adat Nyuguh. Tradisi ini sebagai tanda syukur kepada Tuhan dan Bumi yang telah menganugerahkan pangan bagi warga kampung. Pelaksanaan upacara ini diminati oleh wisatawan sebagai tontonan budaya.

Beragam tujuan orang datang ke Kampung Kuta. Ada yang berniat ziarah dengan maksud tertentu atau murni untuk berwisata alam dan budaya. Banyak juga mahasiswa yang menjadikan Kampung Kuta sebagai pilihan untuk melaksanakan kuliah kerja nyata.

Namun tidak banyak yang tahu jika Kampung Kuta memiliki kekayaan tanaman obat. Beragam tanaman dengan fungsi menyembuhkan aneka penyakit, tumbuh subur di tanah Kuta.

Kacapiring untuk mengobati penyakit lambung (maag), Handeuleum untuk obat Wasir, Pisang Kidang menyembuhkan diare berdarah, Tangkalak untuk penyakit bisulan, Daun Pecah Beling untuk obat kencing batu, Daun Sadagori untuk menurunkan tekanan darah tinggi, dan aneka bahan obat herbal lainnya.

“Rombongan mahasiswa keperawatan pernah datang ke sini khusus untuk belajar soal tanaman obat,” ungkap Ki Warja.

Berwisata ke Kampung Kuta adalah seperti sebuah paket lengkap. Pengalaman bertambah, wawasan pun meningkat.—Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!