#USVote 2016: Amerika di ujung sejarah

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

#USVote 2016: Amerika di ujung sejarah

AFP

Siapa yang akan terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat? Setelah nyaris 2 tahun melakukan kampanye brutal dan terbelah. Kita akan ketahui dengan segera

JAKARTA, Indonesia – Jutaan warga Amerika Serikat akan mengambil sebuah keputusan bersejarah yang berdampak ke seluruh dunia, yakni siapa yang akan menjadi Presiden Amerika Serikat selanjutnya?

Kampanye brutal, terpecah dan beberapa kali terkesan norak yang dimulai sejak dua tahun lalu, akan berakhir pada Selasa pagi, 8 November waktu Amerika Serikat (Rabu pagi waktu Indonesia) dengan 82 persen warga Negeri Paman Sam mengatakan mereka sudah muak melihat situasi di negaranya yang terpecah seperti sekarang. Padahal, situasi seperti itu belum pernah terjadi.

Jutaan pemilih dimulai dari Maine di timur laut hingga ke Hawaii di barat tercatat sah menggunakan hak suara mereka. Berdasarkan data sensus Pemerintah AS, tahun ini jumlah pemilih mencapai 225,8 juta orang. Sementara, menjelang pemilu, lebih dari 21 juta warga telah menggunakan hak mereka di masing-masing negara bagian yang mengizinkan pemilu awal.

Lembaga riset Pew Research mengatakan pemilih dalam pemilu tahun ini adalah yang paling kontras, di mana setiap 1 dari 3 pemilih berasal dari kelompok minoritas yakni Afrika Amerika, Asia Amerika, dan Latin. Mereka akan memilih di antara kandidat presiden dan wakil presiden.

Suara calon yang paling banyak di tiap negara bagian menentukan beberapa anggota electoral college yang akan memberikan suaranya untuk kandidat itu.

Ada 538 anggota electoral college, beberapa dari mereka berdasarkan jumlah populasi di negara bagian. Jika ingin menang dalam pemilu AS, maka kandidat harus berhasil meraih 270 suara electoral.

Sistem yang meraih suara terbanyak di negara bagian ini membuat sulit bagi kandidat ketiga untuk menang. Walaupun mereka masih memiliki dampak yang penting di beberapa negara bagian dan hasil nasional.

Kandidat

KUAT BERSAMA-SAMA. Kandidat Presiden dari Partai Demokrat yang juga mantan Menlu AS, Hillary Clinton, menyapa para pendukungnya saat tengah berkampanye di Cleveland Public Auditorium pada 6 November. Foto oleh Justin Sullivan/Getty Images/AFP

Ada dua kandidat yang unggul saat ini dari Partai Demorkat dan Republik yaitu Hillary Clinton dan Donald Trump. Keduanya sangat ketat dalam beradu menuju ke Gedung Putih.

Clinton, mantan Menteri Luar Negeri, senator, dan mantan Ibu Negara, kini hampir di ujung pemilu AS. Dia menggunakan pesan persatuan dan keterbukaan dalam kampanyenya.

Sementara, Trump, seorang pengusaha dan bintang program reality show namun belum pernah terjun ke dunia politik sebelumnya. Walaupun belum memiliki pengalaman, tetapi sebagian pihak mengatakan Trump lebih sesuai untuk memimpin AS sebagai Presiden. Dia menggunakan pendekatan kampanye pilres dengan kata-kata yang kasar dan sensasional.

Ada beberapa kandidat lainnya yang ikut dalam pertarungan, khususnya mantan Gubernur New Mexico, Gary Johnson, dokter Jill Stein, dan mantan agen intelijen CIA, Evan McMullin. Tetapi, menurut hasil polling menunjukan mereka hanya memiliki peluang yang kecil untuk dapat meraih 270 suara elektoral.

Selain memilih Presiden dan Wapres, warga Amerika juga akan menggunakan hak suara mereka bagi 435 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang bekerja selama 2 tahun dalam satu periode. Kemudian, ada 34 dari 100 senator (yang bekerja selama 6 tahun). Mereka juga akan memilih gubernur di 12 negara bagian. Pemilu akan dilakukan dalam beberapa referendum dan pemilihan lokal.

Ekonomi, keamanan

Ada beberapa isu penting bagi Presiden AS terpilih selanjutnya yang harus diatasi, baik itu isu nasional dan luar negeri. Di dalam AS, ada beberapa isu seperti perlambatan ekonomi dan sulitnya peluang untuk mencari pekerjaan, meningkatnya jurang antara kaum miskin dan kaya, pajak, ras, kepemilikan senjata, penegakan hukum, imigrasi, kesehatan dan konsentrasi kekuasaan di Washington.

Di luar dari isu dalam negeri, Presiden AS terpilih juga harus menghadapi meningkatnya ancaman terhadap keamanan, krisis pengungsi yang masih berlanjut, kesepakatan perdagangan yang masih tertunda, perubahan iklim, beberapa krisis peperangan yang masih terjadi di Suriah, Yaman, Irak dan Afghanistan. Itu belum termasuk potensi krisis lainnya antara lain meningkatnya tensi di Asia terkait dengan sengketa lahan.

Pemimpin AS selanjutnya juga harus memasukan isu di mana sekutu yang paling lama dan diandalkan di kawasan Asia, Filipina, mulai berbalih arah dari Negeri Paman Sam. Kebijakan itu mulai terlihat jelas sejak Rodrigo Duterte menjabat sebagai Presiden Filipina.

Pemilu ketat

BUAT AMERIKA HEBAT LAGI. Donald Trump berjalan di atas panggung dalam kampanye pada 4 November di Hersey, Pennsylvania. Foto oleh Spencer Platt/Getty Images/AFP

Terlepas dari banyaknya isu yang harus mereka atasi, kampanye Pilpres AS diwarnai hasil polling yang ketat. Kedua kandidat tidak ragu untuk membongkar keburukan masing-masing ketimbang meluangkan waktu menjelaskan visi untuk warga Amerika ke depannya.

Selama kampanye, Trump selalu membuat komentar kontroversial terhadap beberapa orang atau kelompok. Mulai dari imigran Meksiko yang disebut sebagai “pemerkosa” hingga mantan ratu kecantikan yang dijuluki Trump “Miss Piggy”. Pria berusia 71 tahun itu juga menyebut Clinton sebagai “si pincang Hillary”.

Namun, kontroversi paling besar yang dia hadapi yakni ketika ditanya mengenai fakta belum membayar pajak dan terungkapnya video tahun 2005 lalu. Dalam video itu dia terdengar memberikan komentar yang merendahkan kaum perempuan dan menyerang perempuan secara seksual.

Alih-alih meminta maaf secara tulus, Trump justru menyebut semua itu sebagai sebuah konspirasi terhadap dirinya. Konspirasi yang dia sebut dipimpin oleh kaum liberal dan media “bias”.

Di sisi lain, Clinton mencoba untuk tidak terpengaruh dengan semua komentar Trump. Malah, dia tetap konsisten untuk terus menebarkan tema persatuan, keberagaman dan keterbukaan. Walau tentunya komentar negatif tidak pernah hilang dari dirinya.

Berbagai isu miring yang dia alami selama puluhan tahun berada di dunia politik kembali diungkit oleh lawannya, mulai dari persetujuannya dalam perang Irak, bencana Kedutaan AS di Benghazi, skandal surat elektronik, hingga ke isu perselingkuhan Bill Clinton.

Ketidakpastian

APAKAH ANDA SUDAH MEMILIH. Tanda bagi pemilih yang telah menggunakan suaranya dalam pemilu AS tanggal 8 November saat di TPS Chicago, Illionis. Foto oleh Joshua Lott/AFP

Bahkan kurang dari 24 jam sebelum hari pemilu, masih ada banyak ketidakpastian.

Popularitas Clinton terus menurun usai Direktur Biro Federal Investigasi (FBI), James Comey meminta kembali agar penyelidikan terhadap skandal bocornya surat elektronik Clinton untuk dilanjutkan. Polling pun semakin ketat di mana Trump mulai meraih kepercayaan usai angkanya jeblok akibat video komentar penyerangan seksual terhadap kaum perempuan.

Jika Clinton yang menang, maka dia akan melanjutkan kembali warisan progresif Barack Obama, termasuk program kontroversial reformasi program asuransi kesehatan. Sementara, Trump akan menghancurkan semua reformasi. termasuk kesepakatan perdagangan bebas. Dia akan memfokuskan anggaran untuk membangun kembali militer AS dan meninjau kembali hubungan Negeri Paman Sam dengan sekutunya.

Namun, berdasarkan polling terakhir, Clinton sejauh ini masih unggul tipis 3 hingga 5 poin perentase. Namun, dia jika dijumlah secara keseluruhan, maka kedua kandidat akan terpaut angka yang ketat, terlebih Trump berhasil meraih keuntungan di negara-negara bagian yang masih belum menentukan pilihan mereka. – KD Suarez, dengan laporan dari AFP/Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!